Oleh: Pater Darmin Mbula, OFM
Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK)
Pagi ini, Jumat, 11 April 2025, mentari menyibak tirai langit dengan sinar lembut yang menyentuh hati nurani Nusantara.
Di sebuah pelataran SMP Negeri 41, Jakarta yang berprestasi, berkarakter dan bersahaja namun sarat makna, Abdul Mu’kti meluncurkan buku tujuh cahaya kebiasaan yang ditujukan untuk anak-anak Indonesia—permata bangsa yang sedang ditempa.
Seperti embun yang jatuh ke bumi, tujuh kebiasaan ini mengalir perlahan ke dalam jiwa muda: bangun pagi dengan semangat fajar, beribadah menenangkan batin, berolahraga menyegarkan raga, makan sehat yang menumbuhkan, belajar tanpa henti, berbaur dalam cinta peduli masyarakat, dan akhirnya tidur cepat agar esok tetap bertenaga.
Inilah pagi yang berbeda—pagi yang tidak sekadar permulaan hari, tapi awal dari peradaban baru demi kebahagiaan berkelanjutan (sustainable happiness).
Anak-anak itu kini tak sekadar tumbuh, mereka mekar. Seperti bunga yang disiram dengan tujuh air suci, mereka sehat tubuhnya, cerdas pikirannya, dan berakar kuat pada karakter.
Tiap kebiasaan menjadi langkah tarian menuju masa depan: mereka menyapa dunia dengan mata berbinar setelah tidur cukup, melangkah ringan dengan tubuh yang aktif, dan menjalin kasih dengan sesama tanpa pamrih.
Dalam gemar belajar, mereka menenun masa depan; dalam beribadah, mereka mendekap harapan.
Dan ketika malam datang, bukan gawai yang jadi peluk terakhir, tapi mimpi-mimpi yang lembut, lahir dari tidur penuh berkah.
Di balik tujuh kebiasaan ini, terpatri harapan sejuta ibu dan ayah, yang ingin anak-anaknya tak hanya pandai, tapi juga berhati.
Abdul Mu’kti, di pagi ini, tidak hanya meresmikan kebiasaan—ia menanamkan semangat. Sebab bangsa besar bukan dibangun oleh gedung tinggi atau jalan raya, tapi oleh anak-anak yang kuat raga dan jiwanya.
Maka hari ini bukan hanya tanggal di kalender. Hari ini adalah puisi yang dibacakan oleh waktu untuk Indonesia.
Sebuah janji diam-diam, bahwa di bawah langit merah putih, anak-anak hebat sedang bertumbuh dalam cahaya tujuh kebiasaan itu.
Buah Cinta Orang Tua
Anak adalah buah cinta yang bersemi dari pelukan dua hati—ayah dan ibu—yang menyatu dalam harapan dan doa. Mereka bukan sekadar penerus, tapi titipan cahaya yang harus dijaga, disiram, dan ditumbuhkan dalam taman kasih sayang.
Dalam belaian lembut dan tatapan penuh makna, orang tua menanamkan tujuh kebiasaan mulia: bangun pagi menyambut mentari, beribadah menyucikan jiwa, berolahraga menguatkan raga, makan bergizi menyuburkan tubuh, gemar belajar menajamkan pikir, bermasyarakat menumbuhkan empati, dan tidur cepat menjaga irama kehidupan.
Tujuh langkah kecil yang ditanam setiap hari secara konsisten dan berkelanjutan, menjadi akar dari pohon kehidupan yang akan tumbuh tinggi ke langit cita-cita.
Di setiap langkah yang mereka ambil, anak-anak pun menyerap nilai-nilai yang tak kasat mata namun abadi: disiplin yang lembut, kasih yang membimbing, dan kebiasaan yang menjadi karakter.
Kebiasaan itu bukan sekadar rutinitas, melainkan lantunan kasih dalam bentuk tindakan—yang ditanam dengan sabar, disiram dengan teladan, dan dipanen dalam bentuk pribadi yang sehat, suci, cerdas, serta teguh dalam nilai-nilai kebaikan.
Anak yang tumbuh dalam irama kebiasaan penuh makna ini bukan hanya mampu menjawab soal di kelas, tapi juga tantangan di dunia yang terus berubah.
Ia tak hanya pandai dalam ilmu, tapi bijak dalam rasa. Tak hanya kuat berdiri, tapi tahu kapan harus menggenggam tangan orang lain.
Dari cinta yang dirawat dalam tujuh kebiasaan itulah tumbuh kebahagiaan yang tak lekas layu—sustainable happiness, kebahagiaan berkelanjutan yang lahir dari keseimbangan tubuh, pikiran, dan jiwa.
Bukan euforia sesaat, melainkan damai yang tumbuh perlahan namun dalam, seperti embun yang tak pernah absen menyentuh dedaunan setiap pagi.
Anak-anak Indonesia yang dibesarkan dengan cinta dan disiplin dalam kebiasaan baik akan menjadi penjaga masa depan—mereka menyalakan obor peradaban yang menyinari dunia dengan kasih, keadilan, dan kebaikan yang tak pernah habis.
Karena sejatinya, setiap anak adalah puisi hidup, dan tujuh kebiasaan itulah bait-bait yang membuat mereka tumbuh menjadi indah dan berarti bagi semesta.
Bangunlah Jiwanya
Di bawah kibar Sang Merah Putih yang menari di pelataran pagi, angin membawa gema yang tak asing di hati: Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya.
Sebait lagu yang tak sekadar nyanyian, tapi sumpah suci yang ditanam di setiap dada anak negeri. Di bawah langit yang masih biru, di antara doa-doa yang tak pernah usai dari para guru dan orang tua, pendidikan menjelma menjadi lentera—menyala untuk membimbing jiwa yang bertanya, menuntun badan yang melangkah.
Inilah tanah tempat mimpi-mimpi ditanam, di mana setiap anak belajar mencintai Indonesia lewat buku, bakti, dan budi pekerti.
Jiwa itu dibangun dari harapan dan keberanian. Ia bukan sekadar tahu, tapi juga peduli.
Maka pendidikan yang sejati bukan hanya mengisi kepala, tapi menghidupkan hati—agar anak-anak kita tumbuh menjadi manusia seutuhnya: cerdas dalam berpikir, halus dalam rasa, tangguh dalam bertindak.
Badan mereka bergerak tak hanya untuk dirinya, tapi untuk sesama, untuk bangsa. Karena di balik setiap pelajaran matematika, tersimpan logika untuk menata negeri.
Di balik puisi-puisi bahasa, tersimpan kemampuan menyentuh nurani. Itulah kekuatan pendidikan: menggerakkan dari dalam, menumbuhkan dari dasar.
Lalu dari jiwa dan badan yang terbangun itu, lahirlah peradaban. Indonesia tidak dibangun dari batu bata dan baja, tapi dari anak-anak yang diajarkan berpikir kritis, berempati, dan bercita-cita.
Maka ketika kita mencerdaskan kehidupan bangsa, kita tengah memahat masa depan yang lebih baik—bukan hanya untuk satu generasi, tapi untuk banyak generasi yang akan datang.
Mereka akan tahu bahwa pendidikan bukan sekadar masuk sekolah, tapi proses mencintai pengetahuan dan kebenaran. Di ruang-ruang kelas yang mungkin sempit, tumbuh pemimpin yang hatinya luas.
Mensejahterakan bukanlah tentang memberi banyak, tapi tentang memastikan tak ada yang tertinggal.
Pendidikan yang adil dan merata adalah jembatan bagi semua anak bangsa agar bisa berjalan bersama, bukan saling mendahului. Ia memberi alat, tapi juga harapan.
Memberi ilmu, tapi juga nilai. Dengan pendidikan, senyum anak-anak tak hanya datang dari kenyang perutnya, tapi dari rasa aman akan masa depannya. Itulah sejatinya kesejahteraan: ketika seorang anak bisa bermimpi tanpa takut besoknya putus sekolah.
Tujuan kita bukan sekadar mencetak lulusan, tapi menciptakan kebahagiaan yang berkelanjutan.
Bahagia yang lahir dari kesadaran, dari makna, dari rasa punya tempat di dunia ini.
Itulah hak setiap anak Indonesia di bawah kibaran Sang Merah Putih: untuk tumbuh, belajar, tertawa, dan bermimpi dalam damai. Maka mari kita rawat pendidikan seperti kita merawat cahaya lilin di tengah malam: kecil, tapi bisa menyalakan dunia. Karena kebahagiaan sejati tak datang tiba-tiba—ia dibangun pelan-pelan, lewat pendidikan yang berakar dan berjiwa.
Untuk Indonesia Raya, yang terus bangkit… dari jiwa, dari badan, dan dari mimpi-mimpi yang tak pernah padam.
Cepat Tidur atau Tidur Cepat
Tidur cepat bukan hanya kebiasaan baik, tetapi sebuah kebutuhan biologis yang sangat penting bagi tumbuh kembang otak anak-anak.
Dalam ranah neuroscience, tidur—khususnya tidur malam yang cukup dan berkualitas—berperan vital dalam proses konsolidasi memori, regenerasi sel otak, dan penguatan koneksi neuron yang berkaitan dengan pembelajaran.
Ketika anak-anak tidur lebih awal dan cukup durasinya, otak mereka memproses ulang informasi yang didapat sepanjang hari, menyimpannya dalam memori jangka panjang, serta membersihkan racun-racun metabolik yang menumpuk selama aktivitas. Inilah saat emas bagi perkembangan kognitif dan emosional mereka.
Anak-anak yang tidur tepat waktu memiliki keseimbangan hormon yang lebih stabil, termasuk hormon pertumbuhan (growth hormone) yang dilepaskan secara optimal saat tidur malam.
Selain itu, tidur yang cukup membantu mengatur emosi, mengurangi stres, dan meningkatkan kemampuan fokus serta pengendalian diri—fondasi penting dalam pembentukan karakter yang sehat.
Neuroscience juga menunjukkan bahwa kurang tidur secara kronis bisa menghambat perkembangan prefrontal cortex, bagian otak yang berperan dalam pengambilan keputusan, empati, dan moralitas.
Maka tidur cepat bukan sekadar kebiasaan, tapi adalah pondasi biologis untuk mencetak anak yang berakhlak, berempati, dan bertanggung jawab.
Dalam konteks membangun generasi Indonesia yang sehat, cerdas, dan berkarakter, kebiasaan tidur cepat harus ditanamkan sejak dini, baik di rumah maupun didukung oleh kebijakan pendidikan di sekolah.
Orang tua berperan sebagai penjaga ritme kehidupan anak, menciptakan suasana malam yang tenang, hangat, dan bebas distraksi.
Sekolah pun dapat mengedukasi pentingnya tidur dalam kurikulum kesehatan atau pelatihan perilaku hidup sehat.
Jika tidur dipahami sebagai kebutuhan otak, bukan sekadar istirahat, maka kita sedang meletakkan batu pertama menuju bangsa yang bukan hanya berilmu, tapi juga bijaksana
Bangun Pagi
Bangun pagi dalam keadaan sehat dan segar bukan sekadar rutinitas, melainkan fondasi penting yang menopang kesiapan otak dan tubuh untuk belajar.
Dalam ilmu neuroscience, waktu pagi adalah saat otak—terutama bagian prefrontal cortex yang berperan dalam berpikir kritis, merencanakan, dan mengambil keputusan—berada dalam kondisi optimal setelah istirahat malam yang cukup.
Sirkadian rhythm atau ritme biologis manusia memang dirancang untuk mulai aktif sejak pagi hari.
Ketika anak bangun pagi dengan cukup tidur dan suasana yang menyenangkan, neurotransmitter seperti serotonin dan dopamin mulai mengalir, membangkitkan semangat, memperbaiki suasana hati, dan meningkatkan fokus. Inilah saat terbaik bagi otak untuk menyerap informasi baru dengan maksimal.
Ilmu kognitif menunjukkan bahwa kesiapan belajar sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik dan emosi anak saat memulai hari.
Anak yang terbiasa bangun pagi dengan ritme yang teratur menunjukkan performa kognitif yang lebih stabil, daya ingat yang lebih baik, dan kemampuan menyelesaikan masalah yang lebih tinggi.
Sebaliknya, anak yang bangun tergesa, terlambat, atau dalam keadaan lelah sering kali mengalami penurunan fungsi atensi dan kecepatan proses berpikir.
Dengan kata lain, pagi hari yang baik adalah “jendela emas” bagi otak untuk menyambut pelajaran dan pengalaman baru. Kebiasaan ini bukan hanya membentuk jadwal harian, tapi menciptakan kestabilan mental dan emosional yang sangat dibutuhkan dalam proses belajar.
Dari sudut pandang ilmu perilaku, membiasakan bangun pagi secara konsisten akan memperkuat pola hidup sehat yang terinternalisasi secara otomatis.
Anak-anak yang sejak dini dikenalkan pada ritme pagi yang penuh ketenangan dan makna, akan belajar memulai hari dengan kesiapan, bukan keterpaksaan.
Hal ini menumbuhkan rasa tanggung jawab, kemandirian, dan disiplin, yang semuanya adalah bagian dari karakter unggul. Ketika kebiasaan bangun pagi dikaitkan dengan kegiatan positif—seperti sarapan sehat, beribadah, atau olahraga ringan—maka setiap pagi menjadi titik awal kebahagiaan dan kesuksesan berkelanjutan.
Inilah harmoni antara tubuh, pikiran, dan jiwa yang membuat anak-anak Indonesia siap tumbuh menjadi pribadi yang sehat, cerdas, dan berkarakter.
Gemar Belajar
Gemar belajar bukan hanya soal rajin membaca atau mendapat nilai tinggi—dalam pandangan neuroscience, ini adalah wujud otak yang aktif, sehat, dan ingin terus berkembang.
Otak manusia dirancang dengan keajaiban yang disebut neuroplasticity—kemampuan untuk berubah dan membentuk koneksi baru setiap kali kita belajar sesuatu.
Ketika anak-anak merasa senang belajar, otak mereka melepaskan dopamin, hormon kebahagiaan yang memperkuat jalur-jalur saraf pembelajaran.
Ini menciptakan lingkaran positif: belajar menumbuhkan rasa senang, dan rasa senang mendorong anak untuk terus belajar. Maka gemar belajar sejatinya adalah investasi neurologis untuk masa depan.
Lebih dari itu, ketika proses belajar disertai rasa ingin tahu dan suasana emosional yang positif—seperti merasa aman, dihargai, dan dipahami—otak bagian limbik (yang mengatur emosi) dan prefrontal cortex (yang mengatur logika, fokus, dan pengambilan keputusan) akan bekerja selaras.
Inilah mengapa pendekatan belajar yang ramah anak dan penuh kasih sayang bukan hanya menyenangkan secara psikologis, tapi juga sangat efektif secara biologis.
Anak yang belajar dalam suasana yang mendukung tidak hanya lebih cepat menyerap informasi, tapi juga membangun rasa percaya diri dan daya tahan mental, dua hal penting dalam membentuk karakter dan ketangguhan hidup.
Gemar belajar yang tumbuh dari rasa ingin tahu dan rasa bahagia inilah yang akan menciptakan kebahagiaan berkelanjutan. Belajar tak lagi menjadi beban, tetapi jalan hidup yang penuh makna.
Dalam jangka panjang, anak-anak yang mencintai proses belajar akan tumbuh menjadi individu yang terus mencari kebaikan, mampu beradaptasi, dan bijak menghadapi tantangan hidup.
Neuroscience menunjukkan bahwa otak yang aktif dan terus belajar hingga dewasa akan lebih tahan terhadap penurunan fungsi kognitif. Maka, dengan menanamkan semangat gemar belajar sejak dini, kita bukan hanya membentuk generasi cerdas, tapi juga menciptakan kehidupan yang bahagia, berkelanjutan, dan bermakna.
Bermasyarakat
Di tengah desir angin yang menyusup lembut ke sela-sela kehidupan, manusia sesungguhnya diciptakan untuk hadir bagi yang lain. Bermasyarakat bukan sekadar hidup berdampingan, tapi saling menggenggam dalam suka dan duka.
Dalam setiap tatap mata, sentuhan tangan, atau senyum tulus yang diberikan, otak kita melepaskan oksitosin—hormon cinta dan kepercayaan—yang mengikat jiwa-jiwa dalam simpul empati dan solidaritas.
Neuroscience menegaskan: otak manusia dirancang untuk peduli. Ketika kita berbagi, otak tak hanya memberi makna pada tindakan, tapi juga merasakan kebahagiaan yang dalam. Inilah belarasa yang bukan dibuat-buat, tapi tumbuh alami dari struktur terdalam nurani kita.
Empati, dalam cahaya ilmu otak, bukan hanya perasaan. Ia adalah kerja harmonis antara sistem limbik yang merasakan dan prefrontal cortex yang memutuskan untuk bertindak.
Ketika seorang anak menolong temannya yang terjatuh, atau ketika remaja menyisihkan waktu untuk membantu tetangga yang kesusahan, di saat itulah jembatan-jembatan syaraf saling terhubung, memperkuat kemampuan sosial dan membangun karakter luhur.
Inilah pelajaran yang tak tertulis di buku teks, tapi terekam abadi dalam ingatan batin: bahwa hidup akan selalu lebih indah saat dijalani bersama, dalam kepedulian yang ikhlas dan kasih sayang yang nyata.
Dan dari empati yang menyatu dengan perilaku, tumbuhlah masyarakat yang bahagia—bukan karena harta melimpah, tapi karena jiwa-jiwa yang saling menjaga.
Kebahagiaan berkelanjutan lahir dari komunitas yang saling menguatkan, dari anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang memahami pentingnya berbagi rasa dan tanggung jawab.
Neuroscience telah menunjukkan bahwa manusia yang hidup dalam hubungan sosial yang sehat akan lebih tahan terhadap stres, lebih optimis, dan lebih sehat secara fisik maupun mental.
Maka bermasyarakat bukan hanya pilihan moral, tapi kebutuhan biologis. Dan di sanalah, dalam pelukan rasa peduli dan kasih sesama, kita temukan makna terdalam menjadi manusia—untuk bahagia, bersama.
Pagi Ceria
Pagi hari adalah gerbang menuju kehidupan yang bermakna. Di sanalah cahaya pertama menyentuh jiwa anak-anak, dan dari sana pula pembiasaan dimulai—pagi ceria yang penuh semangat, kasih sayang, dan harapan.
Peran orang tua menjadi yang pertama dan utama: membangunkan anak dengan kelembutan, menyambutnya dengan sarapan penuh cinta, serta memulai hari dengan doa atau pelukan hangat.
Saat anak memulai pagi tanpa bentakan, tanpa tergesa, dan tanpa ketakutan, maka jiwanya tumbuh dalam kedamaian. Pagi ceria yang dibentuk di rumah bukan hanya menciptakan tubuh yang siap beraktivitas, tapi jiwa yang suci dan siap mencintai kehidupan.
Di sekolah, guru menyambut pagi bukan sekadar dengan presensi, tapi dengan kehadiran hati.
Mereka menciptakan suasana kelas yang menyala oleh senyum, sapaan hangat, dan kegiatan pembuka yang membangkitkan semangat belajar.
Anak-anak diajak menyanyikan lagu, menari ringan, berbagi cerita kecil—semua hal sederhana yang menanamkan rasa bahwa belajar itu menyenangkan, bukan tekanan.
Pembiasaan pagi ceria di sekolah memperkuat kebiasaan dari rumah, membentuk kontinuitas antara keluarga dan pendidikan formal.
Di sinilah kecerdasan emosional dan spiritual anak mulai dibentuk, menjadi dasar karakter yang tangguh namun lembut.
Dan masyarakat pun memegang peran besar: menciptakan lingkungan yang aman, bersih, dan bersahabat bagi anak-anak untuk melangkah ke hari-harinya.
Ketika tetangga menyapa ramah, ketika jalanan dipenuhi senyum dan bukan ancaman, maka anak-anak belajar bahwa dunia ini adalah rumah bersama. Dalam sinergi antara orang tua, guru, dan masyarakat, pagi ceria menjadi budaya, bukan sekadar rutinitas.
Dari pagi-pagi yang penuh cinta inilah akan lahir generasi yang sehat raganya, suci jiwanya, cerdas pikirannya, dan kuat karakternya—anak-anak Indonesia yang kelak membangun peradaban kasih, di mana persaudaraan manusia tidak dibatasi suku, agama, atau bangsa, tapi disatukan oleh cinta semesta.
Senam Otak (brain gym)
Senam dan olahraga merupakan bentuk aktivitas fisik yang tidak hanya bermanfaat bagi kebugaran jasmani, tetapi juga memiliki dampak signifikan terhadap kesehatan mental dan emosional. Gerakan tubuh yang teratur, seperti dalam senam aerobik, yoga, maupun olahraga kardio, mampu meningkatkan aliran darah dan oksigen ke otak.
Proses ini merangsang produksi neurotransmiter seperti endorfin, dopamin, dan serotonin yang berperan dalam menciptakan perasaan bahagia, mengurangi stres, serta meningkatkan suasana hati secara keseluruhan.
Dengan kata lain, aktivitas fisik menjadi salah satu kunci utama untuk menjaga keseimbangan antara tubuh dan pikiran.
Dari perspektif neuroscience, olahraga memiliki dampak neuroplastisitas yang besar—yaitu kemampuan otak untuk membentuk koneksi baru dan beradaptasi terhadap pengalaman.
Penelitian menunjukkan bahwa olahraga rutin dapat meningkatkan volume hippocampus, bagian otak yang berperan penting dalam pembelajaran dan memori.
Selain itu, aktivitas fisik juga menurunkan risiko gangguan kognitif seperti Alzheimer dan demensia. Mekanisme ini menjadikan olahraga sebagai intervensi alami yang tidak hanya meningkatkan kecerdasan emosional dan fokus, tetapi juga memperkuat resiliensi mental dalam menghadapi tekanan hidup.
Dalam konteks kebahagiaan berkelanjutan, olahraga dan olah tubuh bukan hanya soal fisik yang sehat, tetapi juga tentang membentuk pola hidup yang selaras antara tubuh, pikiran, dan jiwa.
Dengan konsistensi, tubuh menjadi lebih bugar, otak lebih tajam, dan emosi lebih stabil—semua ini menjadi pondasi bagi kualitas hidup yang lebih tinggi.
Praktik seperti mindfulness dalam yoga atau kebiasaan berjalan kaki di alam terbuka juga mempererat hubungan dengan diri sendiri dan lingkungan sekitar, yang turut memperkuat rasa syukur dan makna hidup.
Maka, senam dan olahraga dapat menjadi praktik harian sederhana yang menyumbang besar pada kebahagiaan yang mendalam dan berkelanjutan.
Senam dan olah tubuh, ketika dikaitkan dengan senam otak, menjadi sinergi yang kuat dalam mengoptimalkan fungsi fisik dan kognitif secara bersamaan.
Senam otak, atau dikenal juga dengan brain gym, merupakan rangkaian gerakan tubuh sederhana namun terstruktur yang dirancang untuk merangsang kerja otak, meningkatkan koordinasi, konsentrasi, memori, dan kemampuan belajar.
Gerakan seperti menyilangkan tangan dan kaki, menyentuh telinga secara bergantian, atau menyeimbangkan tubuh di satu kaki, secara ilmiah terbukti dapat mengaktifkan koneksi antar belahan otak kiri dan kanan.
Dalam konteks ini, aktivitas fisik tidak hanya memperkuat otot, tetapi juga memperkuat sinapsis otak dan meningkatkan neuroplastisitas.
Dengan menggabungkan senam biasa dan senam otak, seseorang tidak hanya memperoleh kebugaran jasmani, tetapi juga kejernihan mental dan kestabilan emosi, yang sangat penting dalam menunjang produktivitas dan kebahagiaan jangka panjang.
Kebiasan itu Berakar dari Rumah
Di tengah denyut kehidupan yang kian cepat dan deras, keluarga menjadi pelabuhan pertama tempat anak belajar makna kebiasaan.
Di rumah sederhana namun penuh cinta, Ayah dan Ibu memulai harinya sebelum fajar—bukan hanya untuk bekerja, tapi memberi teladan.
Mereka membangunkan anak-anaknya dengan bisikan lembut dan pelukan hangat, menuntun mereka menuju ruang doa, mengajarkan bahwa hidup bukan hanya tentang bergerak, tapi juga tentang bersujud syukur.
Di sana, di tengah keheningan pagi, kebiasaan pertama dipupuk: bangun cepat, menyapa cahaya dengan hati yang sadar, bukan sekadar terjaga.
Namun perjalanan tak selalu mudah. Tantangan datang dalam bentuk lelah, rutinitas, dan godaan layar yang mengalihkan perhatian.
Ayah sering pulang larut, Ibu pun kadang kewalahan—namun keduanya tahu, bahwa mencetak kebiasaan bukanlah pekerjaan semalam. Maka mereka mengajarkan lewat contoh, bukan hanya kata.
Ketika anak melihat Ayah lari kecil setiap pagi, atau Ibu menyiapkan sarapan sehat penuh warna, mereka mulai meniru, bukan karena disuruh, tapi karena dicintai.
Inilah seni membiasakan: bukan dengan paksaan, tapi dengan kasih yang tak henti.
Sekolah pun menjadi ladang kedua, tempat benih yang ditanam di rumah mulai tumbuh daun-daun kecil.
Iklim belajar yang ramah, guru-guru yang memeluk jiwa anak, serta lingkungan yang membiarkan mereka berbuat salah lalu belajar darinya, adalah kunci agar kebiasaan itu hidup tak hanya saat dinilai.
Anak-anak diajak untuk gemar belajar, bukan karena ujian, tapi karena haus akan tahu. Mereka diberi ruang untuk bertanya, berekspresi, dan terlibat dalam kegiatan yang membaurkan ilmu dengan cinta. Di sekolah yang penuh kehangatan, anak belajar untuk hidup, bukan sekadar lulus.
Dan di luar kelas, kebiasaan bermasyarakat dilatih lewat hal-hal sederhana—berbagi bekal, menolong teman, menyapa petugas sekolah. Anak diajak untuk tak hanya cerdas, tapi juga peka.
Mereka mulai paham bahwa menjadi manusia bukan hanya tentang prestasi, tapi tentang hadir untuk sesama. Di sinilah kebiasaan menjadi karakter, dan karakter menjadi cahaya yang menerangi jalan mereka kelak.
Sementara itu, tidur tepat waktu menjadi penutup hari yang damai, bukan hukuman. Ia menjadi hadiah setelah hari yang dijalani dengan baik—sebuah jeda untuk menyimpan energi dan mimpi.
Begitulah, perlahan namun pasti, tujuh kebiasaan itu tumbuh di dalam jiwa anak-anak keluarga Zekinah—keluarga yang tak sempurna, tapi setia berusaha.
Di rumah yang hangat dan di sekolah yang bersahabat, anak-anak dibesarkan bukan hanya untuk sukses, tapi untuk bahagia.
Karena sejatinya, pendidikan yang terbaik bukan yang tercepat, tapi yang paling dalam—yang menyentuh, memeluk, dan menumbuhkan.
Kebiasaan yang dirawat dengan cinta akan menjadi akar kuat yang menopang hidup mereka hingga dewasa. Dan dari sana, akan lahir kebahagiaan yang tak lekas pudar—kebahagiaan yang berkelanjutan.