Kupang, VoxNTT.com – Proses hukum terhadap mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma, yang terjerat kasus kekerasan seksual terhadap empat perempuan—termasuk tiga anak di bawah umur—memasuki babak baru.

Setelah sebelumnya ditahan di Bareskrim Mabes Polri, Fajar kini resmi berada di tahanan Polda NTT, menyusul pelimpahan dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTT ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Kupang, Selasa, 10 Juni 2025.

Pelimpahan ini dilakukan sebagai tindak lanjut setelah Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) terhadap Fajar dinyatakan lengkap (P21) oleh Kejati NTT pada 21 Mei lalu. Dengan demikian, proses menuju persidangan kini tinggal menunggu waktu.

Meski demikian, perkembangan ini belum cukup memuaskan bagi publik dan pihak korban.

Kasus ini dinilai berjalan lambat dan sempat tertutup dari sorotan publik. Bahkan hingga saat ini, Fajar belum dikenai jerat UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), meski perbuatannya dinilai telah memenuhi unsur-unsur kejahatan tersebut.

Kemarahan dan luka mendalam dirasakan keluarga korban. Salah satu orang tua korban mengatakan, “Kami hanya ingin dia dihukum seberat-beratnya, atau bila perlu hukuman mati. Pelaku adalah seorang aparat, Kapolres pula, tapi tega merusak masa depan anak kami yang baru berusia 5 tahun.”

Veronika Ata, selaku pendamping hukum korban, menambahkan bahwa keluarga korban mengalami tekanan psikis berat.

“Negara harus hadir, bukan hanya menghukum pelaku, tapi juga memastikan perlindungan dan pemulihan menyeluruh bagi korban,” ujarnya.

Aliansi Perlindungan Perempuan dan Anak (APPA) NTT, melalui Koordinatornya Asti Laka Lena yang juga Ketua Tim PKK NTT, mengecam keras tindak kekerasan seksual yang dilakukan oleh aparat.

“Ini menunjukkan betapa rentannya perempuan dan anak di NTT dari kejahatan seksual, bahkan oleh mereka yang seharusnya menjadi pelindung,” tegas Asti.

APPA NTT juga menyampaikan sejumlah pernyataan sikap terkait penanganan kasus ini: Pertama, mendukung langkah Polda dan Kejati NTT dalam penanganan kasus secara independen, termasuk pelimpahan berkas dan penambahan pasal yang memberatkan terdakwa, sesuai dengan rekomendasi Komisi III DPR RI dalam RDPU 22 Mei lalu.

Kedua, menuntut proses peradilan yang transparan dan berpihak pada korban, dengan penerapan pasal berlapis, termasuk: Pasal 81 ayat (2) dan Pasal 82 ayat (1) jo Pasal 76E UU No. 17 Tahun 2016 (Perlindungan Anak). Pasal 6 huruf c jo Pasal 15 ayat (1) huruf g UU No. 12 Tahun 2022 (TPKS). Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (1) UU ITE. Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 10 dan Pasal 17 UU No. 21 Tahun 2007 (TPPO)

Ketiga, mendesak Kejati NTT dan LPSK menghitung serta mencantumkan restitusi dalam tuntutan jaksa dan menyita aset milik Fajar sebagai jaminan ganti rugi bagi korban.

Keempat, mendorong pengadilan membuka akses pemantauan publik, termasuk media dan organisasi masyarakat sipil, demi memastikan transparansi proses hukum.

Kelima, meminta negara hadir memberi layanan pemulihan psikosial dan hukum bagi korban dan keluarga, serta melindungi mereka dari segala bentuk tekanan dan intimidasi selama proses hukum berlangsung. [VoN]