Oleh: Pater Darmin Mbula, OFM
Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK)
Dalam kokok itu dan air mata itu, terselip permohonan yang paling manusiawi: Love me deeper, meski aku telah jatuh—cintailah aku sampai bagian terdalam yang tak mampu kusembunyikan dari salib kasih-Mu.
Petrus bertobat bukan semata karena kokok ayam, melainkan karena hatinya tersentak oleh cinta kasih Yesus yang tetap memandangnya dengan belas kasih meski dikhianati.
Dalam kisah sengsara Jumat Agung, Petrus menemukan bahwa cinta sejati tidak menghukum kegagalan, tetapi mengundang pertobatan lewat tatapan mata hati kelembutan yang mengalahkan rasa malu.
Ayam berkokok memecah sunyi fajar, seperti janji baru yang diukir langit pada cakrawala—sementara itu, Petrus menangis dalam lirih angin subuh jelang fajar, air matanya adalah puisi yang jatuh dari hati yang mengerti bahwa cinta sejati bukanlah milik yang stagnan, melainkan keberanian untuk bertumbuh bersama luka dan harapan.
Kokok ayam adalah pertanda dimulainya perjalanan iman, harapan dan kasih, dan tangis Petrus bukan ratapan, melainkan pemahaman: bahwa kasih sejati tak menuntut sempurna, hanya kesediaan untuk berubah dan saling menumbuhkan.
Dalam logika cinta kasih berbasis growth mindset, kehilangan pun bisa menjadi musim semi bagi jiwa yang belajar mencinta dengan lebih bijak.
Kokok Ayam
Ayam berkokok—suara yang membelah fajar, adalah kidung purba yang meresonansi dalam jiwa manusia lintas benua.
Di Timur, kokok ayam bukan sekadar penanda pagi, melainkan isyarat spiritual: panggilan untuk bangkit, membersihkan diri, dan menyambut cahaya baru dalam laku hidup yang tertib dan harmoni.
Dalam budaya Jawa, ia menjadi simbol keteguhan dan kewaspadaan, penjaga antara alam mimpi dan kenyataan.
Sementara dalam tradisi Tiongkok, ayam jantan adalah lambang keberanian, yang mengusir roh jahat dengan suaranya yang nyaring—sebuah penjaga gerbang antara kegelapan dan terang.
Ia tidak hanya menandai waktu, tetapi menyuarakan transisi: dari yang lama menuju yang baru, dari diam menuju gerak.
Di Barat, ayam berkokok menjelma lambang moralitas dan kesadaran diri. Dalam narasi Kristen, ia menjadi saksi bisu dari rapuhnya iman dan lembutnya pengampunan—kokoknya menyayat malam batin Petrus, mengingatkannya pada janji yang terpatahkan dan kasih yang tak lekang.
Di Eropa abad pertengahan, patung ayam jantan menghiasi menara gereja, bukan karena kemegahan, melainkan sebagai penjaga iman yang terus-menerus mengingatkan umat untuk berjaga-jaga, agar tak tertidur dalam kelalaian rohani.
Maka, ayam berkokok adalah bahasa universal yang melintasi Timur dan Barat, sebuah suara kecil yang membangunkan kesadaran besar: bahwa setiap pagi adalah kesempatan kedua yang lahir dari cinta dan harapan.
Love Me Deeper
Ayam berkokok memecah sunyi malam seperti bisikan kasih yang mengingatkan tanpa menghakimi, dan di sanalah hati Petrus retak oleh cinta yang tak menyerah.
Tangisannya bukan sekadar penyesalan, melainkan jeritan jiwa yang merindu dicintai lebih dalam, meski telah gagal mencinta dengan setia.
Dalam kokok itu dan air mata itu, terselip permohonan yang paling manusiawi: Love me deeper, meski aku telah jatuh—cintailah aku sampai bagian terdalam yang tak mampu kusembunyikan dari salib kasih-Mu.
Ayam berkokok bukan sekadar gema fajar yang membelah gelap, melainkan suara cinta yang pertama kali menyentuh hati yang gagal.
Dalam kisah Petrus yang menyangkal Yesus tiga kali sebelum ayam berkokok, terdapat bisikan ilahi yang begitu lembut namun menggetarkan—sebuah logika cinta kasih yang tidak mencatat kesalahan, melainkan menawarkan jalan pulang.
Ketika suara itu menggema di udara malam yang dingin, Petrus menangis, bukan karena ketakutan, tapi karena hatinya disentuh oleh kerahiman yang tak menghakimi.
Kokok ayam menjadi saksi bahwa kasih Allah tidak datang dengan kemarahan, melainkan dengan mata yang memandang penuh pengertian.
Di atas salib, Yesus tidak berbicara tentang balas dendam, tetapi tentang pengampunan: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (Luk 23:34).
Ini adalah puncak dari logika cinta kasih yang sudah dimulai jauh sebelum kayu salib ditegakkan—sebuah kasih yang bersedia memeluk kehinaan, yang tak luntur meski dikhianati.
Ayam berkokok hanyalah permulaan, pertanda bahwa bahkan dalam pengkhianatan, Allah tetap setia. Dalam derita Kristus, suara cinta itu semakin nyata: tidak dalam teriakan, tapi dalam keheningan yang menebus, dalam darah yang mengalir tanpa syarat, dalam luka yang terbuka untuk menyembuhkan.
Maka, ayam berkokok menjadi simbol kasih Allah yang penuh kerahiman, mengajak manusia untuk tidak tenggelam dalam rasa bersalah, tetapi bangkit dalam pengharapan.
Ia tidak berbicara tentang kesempurnaan manusia, melainkan tentang kesetiaan ilahi yang tak pernah surut. Dalam terang Sabda dan peristiwa salib, suara ayam itu menjadi suara kasih yang tak lelah memanggil, “Kembalilah, Aku menantimu.”
Di sanalah cinta bertemu dengan luka, dan rahmat melahirkan pertobatan. Sebab dalam logika kasih Allah, setiap pagi—setelah kegagalan malam—adalah awal baru yang ditulis dengan darah dan diucapkan dengan belas kasih.
Ayam Berkokok di Fajar Abad ke–21
Ayam berkokok di fajar abad ke-21 tidak lagi sekadar pertanda pagi, tetapi sebuah seruan jiwa yang nyaring memanggil kesadaran manusia yang tertidur dalam gemerlap semu dunia.
Ia berkokok di tengah hiruk pikuk teknologi dan kegaduhan ambisi, mengingatkan kita akan kebenaran yang telah lama kita tinggalkan: bahwa hidup bukan hanya soal kuasa dan kelimpahan, tetapi soal kesetiaan kepada nurani, kepada cinta yang menyelamatkan.
Suaranya kini nyaris tertelan bisingnya keserakahan, namun tetap teguh, seperti cinta yang tak pernah lelah memanggil anak-anaknya pulang.
Petrus menangis bukan hanya karena ia menyangkal Tuhan, tetapi karena ia menyadari bahwa cinta yang tulus tetap memandangnya dengan kasih meski ia gagal.
Tangisan itu adalah air mata kemanusiaan, yang masih relevan hari ini ketika para pemimpin lupa menangis.
Dunia kini haus akan pemimpin yang tahu malu, yang berani menangis bukan karena tersingkir dari kuasa, tetapi karena sadar telah mengkhianati kepercayaan rakyatnya, merusak bumi yang dititipkan, dan menukar kasih dengan keuntungan sesaat.
Tangisan Petrus adalah suara hati yang kita butuhkan—tangisan yang lahir bukan dari kelemahan, tetapi dari kekuatan untuk kembali kepada cinta sejati.
Logika cinta dalam abad ini bukan sekadar perasaan manis dalam puisi, melainkan keberanian untuk memilih yang benar di tengah sistem yang membenarkan yang salah.
Ia adalah logika yang menolak menjadi apatis di hadapan penderitaan, logika yang memilih merawat bumi meski dunia memilih mengeksploitasinya.
Dalam dunia yang semakin rusak—hutan yang habis, sungai yang mati, dan udara yang beracun—logika cinta mengajak kita untuk tidak hanya melihat, tetapi merasakan, dan dari rasa itu, bertindak.
Sebab cinta yang sejati tidak hanya tinggal di hati, tapi turun ke tangan yang bekerja, kaki yang melangkah, dan suara yang bersaksi.
Ayam berkokok kembali tiap pagi, mengingatkan bahwa selalu ada harapan meski malam kelam begitu pekat.
Ia memanggil para Petrus masa kini—kita semua—untuk berhenti sejenak, mendengar, menangis, dan bertobat.
Di tengah dunia yang semakin kehilangan makna manusiawi, cinta menjadi satu-satunya logika yang mampu melahirkan kembali keberanian, empati, dan solidaritas.
Bukan cinta yang lemah lembut tanpa arah, tetapi cinta yang teguh, yang menghidupi, yang memerdekakan, dan yang tak takut menegur demi kebaikan bersama.
Maka dalam dunia yang dipimpin oleh rakus yang ramah, oleh senyum palsu yang menyembunyikan penindasan, suara ayam dan air mata Petrus menjadi panggilan ilahi yang romantis dan revolusioner.
Relevansi mereka adalah relevansi hati nurani—bahwa kasih sejati masih mungkin terjadi, jika kita berani menangis, berani mencinta lebih dalam, dan berani hidup seturut logika cinta salib: mencintai tanpa pamrih, merangkul tanpa syarat, dan berharap tanpa akhir.
Di tengah dunia yang nyaris kehilangan arah, cinta tetap menjadi satu-satunya kompas yang menunjuk pulang. Salam Love Me Deeper. Pace e Bene. Cintailah Aku Semakin Dalam, Maka ada Damai dan Kebaikan.