Oleh: Pater Darmin Mbula, OFM
Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK)
Premanisme adalah luka sosial yang tumbuh dari tanah subur ketimpangan dan keterasingan.
Ia lahir dari ruang-ruang yang kehilangan harapan, tempat hukum kehilangan wibawa dan kemanusiaan kehilangan makna.
Dalam kekerasan yang dibungkus keberanian palsu, premanisme bukan hanya masalah kriminalitas, tapi juga cerminan kehausan jiwa yang tak pernah disentuh oleh empati dan keadilan sosial-ekologis holistik -integral.
Ia menggigil dalam kegelapan, menunggu cahaya yang bukan hanya menertibkan, melainkan menyembuhkan dan membahagiaan berkelanjutn.
Humanisasi sebagai pembangunan yang menempatkan manusia sebagai pusat – bukan sekadar objek statisti- adalah jalan panjang menuju peradaban cinta kasih persaudaraan manusia semesta.
Dalam perspektif holistik dan humanis, setiap individu, bahkan mereka yang terjerumus dalam kekerasan, dipandang sebagai jiwa yang bisa disembuhkan, diberdayakan, dan dicintai.
Bukan melalui stigma, tetapi melalui pendekatan yang memadukan psikologi, budaya, dan spiritualitas, kita dapat menumbuhkan kembali martabat manusia yang tercerabut oleh sistem pembangunan yang timpang.
Dari sana, kebahagiaan berkelanjutan bukanlah euforia sesaat, melainkan hasil dari harmoni antara manusia, alam, dan nilai-nilai luhur.
Ekologi holistik-integral melihat pembangunan bukan sekadar soal pertumbuhan ekonomi, tapi tentang relasi yang seimbang antara manusia dengan bumi dan sesama.
Dalam dunia yang sadar akan keberlanjutan, tak ada ruang bagi premanisme, karena sistem telah berubah menjadi taman yang memelihara (natas labar), bukan rimba yang menyingkirkan.
Maka, dalam cinta yang menyatu antara struktur dan jiwa, kita membangun bukan hanya kota, tapi peradaban yang bahagia secara lestari, humanis, ekologis dan bahagia berkelanjutan.
Memelihara Kucing
Seorang pemimpin sejati, sebelum menggenggam palu kekuasaan, harus belajar menggenggam kelembutan.
Ia harus memelihara seekor kucing, bukan sekadar binatang peliharaan, tetapi sebagai simbol kearifan yang tenang, pengamatan yang tajam, dan keberanian yang hening.
Kucing tak memburu dengan gegabah, ia menanti, membaca gerak, menghidu tipu daya. Dalam memelihara kucing, sang pemimpin belajar menyingkap wajah-wajah premanisme dan koruptor yang bersembunyi di balik jas rapi dan senyum manis.
Kucingnya bukan hanya penjaga istana, tapi penjaga nurani: penanda bahwa kekuasaan yang arif harus menyentuh yang lemah, bukan menindas.
Namun angan bisa remuk bila tikus dan kucing nusantara berkolaborasi—sebuah ironi getir dari negeri yang kehilangan arah.
Kucing yang dulu setia menjaga kini berdamai dengan tikus yang rakus; mereka bersatu dalam simfoni keserakahan.
Premanisme pun berubah rupa—tak lagi di jalan gelap, melainkan di ruang rapat dan layar digital; wajah-wajahnya tersenyum dalam baliho, tapi mencuri dari meja rakyat.
Korupsi jadi bisnis, kekerasan jadi kebijakan, dan rakyat dibiarkan menggigil dalam sunyi yang penuh kelaparan dan kesengsaraan.
Pemimpin harus kembali ke pelukan kucing yang sejati—ia yang setia berburu karena cinta pada rumah, bukan karena persekongkolan.
Ia harus membasuh kekuasaannya dengan kelembutan, welas asih dengan kepekaan pada jeritan rakyat kecil, dan keberanian melawan pengkhianat yang menyaru sahabat demi kesetiaan menjaga rumah bersama: tanah air tempat setiap jiwa bisa bermimpi tanpa takut dirampas dirampok.
Kucing Sejati
Langkah pertama yang harus ditempuh seorang
pemimpin untuk kembali memeluk kucing kesayangannya adalah merendahkan hatinya di hadapan keheningan.
Di sana, ia akan menemukan kembali makna kepemimpinan sebagai pengasuhan, bukan penguasaan, sebagai Bapak dan Ibu Pembangunan yang rakyat bisa tersenum bahahia berkelanjutan.
Kucing sejati bukan sekadar makhluk berbulu lembut, melainkan metafora dari nurani yang terjaga: sang pemimpin belajar kembali mencium bau tanah rakyat, mendengar bisik penderitaan yang tak terdengar di ruang-ruang rapat.
Langkah kedua adalah menajamkan penglihatan dan pendengaran bersama si kucing, yang mengajarkan seni membaca gerak sunyi, jeli membaca gejala alam pikiran premanisme, penjilat dan perampok.
Pemimpin harus membangun sistem yang setajam penciuman kucing, Ia harus mereformasi aparat, menanamkan keteladanan, dan menghidupkan budaya malu pada setiap pembantu kebijakannya.
Seperti kucing yang menyelinap diam-diam namun tepat dalam menyergap, pemimpin tak boleh ragu bertindak terhadap para perusak bangsa yang bersarang dalam tubuh negara.
Setiap kebijakan harus menjadi perangkap lembut yang tak melukai, tapi tak bisa dielakkan oleh para pembelot nurani.
Langkah terakhir, dan yang paling suci, adalah menciptakan taman bersama—sebuah bonum communae—tempat rakyat, pemimpin, dan si kucing sejati hidup dalam simfoni yang harmonis.
Ini adalah dunia di mana keadilan tak hanya ditegakkan, tetapi dirasakan; di mana keberlanjutan bukan slogan, tapi napas kehidupan sehari-hari.
Pemimpin dan kucingnya tak lagi berlari memburu kejahatan karena akar premanisme dan korupsi telah tercabut oleh cinta, ketegasan, dan kehadiran yang penuh welas.
Di taman ini, kebahagiaan berkelanjutan bukan mimpi, tetapi bunga yang mekar dari tanah yang jujur, disiram oleh kepekaan, dan dijaga oleh tangan yang lembut namun tegas.
Natas Labar
Natas Labar, taman bersama itu, bukan sekadar ruang hijau yang dirancang indah—ia adalah ruang batin kolektif tempat rakyat dan pemimpinnya berolahhati dalam kedalaman dialog dan kepekaan.
Di sana, tak ada jarak antara kekuasaan dan kehidupan sehari-hari; pemimpin duduk bersila bersama anak-anak, mendengar cerita mereka tanpa birokrasi, hanya dengan hati yang terbuka.
Rakyat datang bukan hanya membawa tubuh, tetapi membawa harapan, membawa luka, membawa mimpi.
Di bawah pohon beringin yang rindang, mereka merawat semangat bersama, menyulam cita tentang negeri yang tak lagi memburu kekuasaan, tapi merawat kebersamaan.
Kucing kesayangan pemimpin pun ikut serta, berjalan perlahan di antara kaki anak-anak, menjadi saksi kecil bahwa cinta yang sederhana bisa menjadi akar perubahan besar.
Di Natas Labar pula otak diberdayakan tanpa kesombongan, tubuh digerakkan tanpa kekerasan—sebuah ruang tempat pendidikan, kebudayaan, dan kesehatan berpadu menjadi perayaan hidup.
Warga membaca puisi dan buku di bawah sinar matahari pagi, sementara pemimpin berolahraga bersama petani dan pelajar, menandai bahwa tubuh negara ini sehat hanya jika semua bagian turut bergerak.
Kucing itu duduk tenang di pangkuan pemimpin yang tak lagi bersembunyi di balik podium, tapi hadir sebagai manusia di antara manusia.
Di taman ini, semua makhluk ciptaan mendapat tempat: pohon didengar, air dijaga, udara dihormati.
Natas Labar menjadi simbol: bahwa kebahagiaan berkelanjutan tidak dibangun dari kekuasaan yang tinggi, melainkan dari cinta yang rendah hati, yang menyapa bumi, sesama, dan seluruh makhluk dengan kasih yang menyeluruh.
Tinggalkan Balasan