Oleh: Pater Darmin Mbula, OFM
Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK)
Guru umat manusia adalah pelita nilai, yang menyalakan api Pancasila dalam hati generasi demi menjunjung martabat kemanusiaan.
Ia bukan sekadar pengajar, tetapi penjaga nurani bangsa yang menabur benih cinta kasih dan persaudaraan di tengah keberagaman.
Melalui keteladanan dan kebijaksanaan, guru membimbing umat manusia menuju peradaban yang berakar pada kasih, keadilan, dan kesatuan semesta.
Nilai-nilai Pancasila adalah cahaya abadi yang membimbing setiap insan terpelajar, terdidik, tercinta, dan terhormat dalam menapaki jalan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan semangat gotong royong, kemanusiaan, dan cinta tanah air, generasi penerus diarahkan untuk mewujudkan cita-cita Indonesia yang merdeka, damai abadi, adil, bahagia, dan sejahtera.
Pancasila bukan sekadar dasar negara, melainkan napas perjuangan berkelanjutan untuk menciptakan peradaban yang holistik, humanis, ekologis, inklusif, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Di Bawah Pohon Sukun
Bung Karno, dalam masa pengasingannya di Ende, Flores, NTT, merenung dan menggali secara mendalam nilai-nilai luhur yang hidup dalam kebudayaan dan jiwa bangsa Nusantara.
Dari kedalaman batin dan kontemplasi terhadap kehidupan masyarakat serta warisan kearifan lokal, ia menyaripatikan pusaka nilai-nilai tersebut menjadi dasar filosofis negara yang kelak dikenal sebagai Pancasila.
Di bawah pohon sukun yang rindang, Bung Karno merefleksikan keragaman suku, budaya, adat isitidat dan agama serta aliran kepercayaan yang hidup berdampingan secara harmonis sebagai cerminan dari persatuan dalam keberagaman.
Pancasila lahir bukan sebagai ide asing, melainkan sebagai kristalisasi nilai-nilai asli Indonesia—ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial—yang telah lama mengakar di tanah ibu pertiwi.
Dengan demikian, Ende menjadi tempat sakral perenungan ideologis yang melahirkan dasar negara Indonesia merdeka.
Gotong Royong
Gotong royong penuh cinta adalah intisari terdalam dari Pancasila yang melampaui sekadar kolaborasi teknis, kerjasama bilateral, atau jargon globalisasi modern yang kerap menindas rakyat kecil demi kepentingan segelintir elit.
Dalam semangat gotong royong yang bersumber dari jiwa bangsa Nusantara, terkandung rasa cinta tanah air yang tulus, kepedulian antarsesama, dan kesediaan untuk berbagi beban dan kebahagiaan demi kebaikan bersama.
Ia bukan hanya strategi sosial, melainkan peradaban cinta yang menjalin persaudaraan sejati antar manusia tanpa sekat status, suku, maupun agama.
Gotong royong inilah roh hidup bangsa yang menolak eksploitasi dan menegakkan keadilan sosial, memperkuat persatuan, serta membangun kehidupan yang harmonis di bumi pertiwi—sebuah etos kemanusiaan universal yang tumbuh dari akar budaya Nusantara.
Etos Kemanusiaan Universal
Etos kemanusiaan universal yang tumbuh dari dalam jiwa bangsa Indonesia berakar kuat pada nilai-nilai kearifan lokal yang menjunjung tinggi martabat manusia, gotong royong, dan rasa hormat terhadap perbedaan.
Dalam budaya Nusantara, manusia dipandang bukan hanya sebagai individu, tetapi sebagai bagian utuh dari komunitas dan alam semesta.
Prinsip-prinsip seperti “saling asah, asih, dan asuh”, serta semangat kekeluargaan dan musyawarah mufakat, menjadi fondasi moral yang membentuk karakter bangsa yang welas asih, terbuka, dan inklusif.
Dari Sabang sampai Merauke, keberagaman suku, agama, dan budaya tidak menjadi penghalang, tetapi justru menjadi kekayaan yang dirawat dalam semangat persatuan dan toleransi.
Inilah yang menjadikan etos kemanusiaan bangsa Indonesia tidak eksklusif, melainkan universal, menyentuh nilai-nilai kemanusiaan yang melampaui batas geografis dan ideologis.
Dengan etos kemanusiaan yang luhur ini, bangsa Indonesia tidak hanya mampu bertahan dalam berbagai ujian sejarah, tetapi juga tumbuh menjadi bangsa yang flourishing, sejahtera, dan bahagia di manapun warganya berada di seluruh dunia.
Kearifan lokal yang terinternalisasi menjadi sikap hidup membentuk masyarakat yang resilien, adaptif, dan berjiwa besar, menjadikan diaspora Indonesia diterima dan dihormati dalam berbagai budaya.
Ketika nilai-nilai Pancasila dijalani bukan hanya sebagai semboyan, tetapi sebagai panduan hidup sehari-hari, maka terciptalah harmoni antara manusia, masyarakat, dan alam.
Bangsa Indonesia pun memberi kontribusi positif bagi peradaban global, tidak dengan kekuasaan atau dominasi, melainkan dengan teladan kemanusiaan yang penuh cinta, perdamaian, dan solidaritas semesta.
Wajah Kerayatan yang adil
Gotong royong sebagai etos kemanusiaan universal merupakan pengejawantahan nilai luhur bangsa Indonesia yang menempatkan kebersamaan dan kepentingan bersama di atas ego individual atau golongan.
Dalam konteks demokrasi Pancasila, gotong royong tidak hanya hadir dalam tindakan fisik, tetapi juga dalam cara berpikir dan mengambil keputusan secara kolektif melalui musyawarah mufakat.
Inilah yang membedakan kerakyatan dalam Pancasila dari praktik demokrasi liberal yang kerap terjebak dalam voting dangkal tanpa landasan etis dan moral.
Musyawarah bukan sekadar prosedur, tetapi proses yang mengandung nilai-nilai kebijaksanaan, empati, dan tanggung jawab kolektif demi menghasilkan keputusan terbaik bagi seluruh rakyat.
Dengan demikian, gotong royong menjadi
dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, bukan oleh ambisi kekuasaan atau kepentingan sesaat.
Etos ini menegaskan bahwa demokrasi sejati bukanlah adu suara, melainkan upaya bersama untuk menemukan kebenaran dan keadilan melalui dialog yang tulus dan berpijak pada nilai moral yang luhur.
Dalam sistem yang demikian, setiap warga negara dipandang sebagai bagian penting dari keseluruhan tubuh bangsa yang harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan, bukan sebagai angka statistik semata.
Dengan gotong royong sebagai roh demokrasi, kehidupan politik bangsa menjadi ruang etis untuk membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Inilah wajah kerakyatan yang sesungguhnya: adil, beradab, dan berorientasi pada kesejahteraan bersama, bukan dominasi mayoritas atas minoritas atau transaksi politik tanpa nurani.
Gotong royong dalam musyawarah mencerminkan jiwa bangsa yang beradab dan matang secara spiritual serta moral, sehingga mampu menghadirkan kehidupan berbangsa yang adil, makmur, dan bermartabat.
Gerakan Pendidikan Kebudayaan
Proyek Pelajar Pancasila adalah inisiatif strategis dalam dunia pendidikan Indonesia yang bertujuan menciptakan generasi masa depan yang sejahtera dan bahagia secara holistik, humanis, dan ekologis.
Melalui pendekatan berbasis nilai-nilai Pancasila, proyek ini menanamkan karakter kuat dalam diri peserta didik agar mampu berpikir kritis, berempati, serta menghargai keberagaman budaya dan lingkungan hidup.
Pendidikan tidak lagi semata-mata mengejar nilai akademik, tetapi juga membentuk insan yang utuh—yang cerdas secara intelektual, emosional, sosial, dan spiritual.
Generasi ini diproyeksikan mampu hidup selaras dengan sesama manusia dan alam, mengedepankan keberlanjutan dalam segala aspek kehidupan, serta membawa perubahan positif dalam masyarakat melalui aksi nyata.
Dengan jiwa gotong royong dan cinta damai yang menjadi inti dari pendidikan karakter, pelajar Pancasila dibentuk menjadi individu yang berdaya, penuh kasih, serta mampu berkontribusi bagi kemajuan bangsa dan dunia.
Bahasa cinta Indonesia menjadi medium utama dalam menyampaikan nilai-nilai tersebut—yakni bahasa yang tidak sekadar komunikatif, tetapi juga mengandung rasa hormat, empati, dan penghargaan terhadap perbedaan.
Melalui narasi positif dan praktik keseharian yang berlandaskan kasih, pelajar diarahkan untuk membangun relasi sosial yang inklusif dan damai, serta menjadi agen perubahan yang menjunjung tinggi keadilan dan keberlanjutan.
Dengan demikian, Proyek Pelajar Pancasila bukan hanya proyek pendidikan, tetapi gerakan kebudayaan yang menanamkan harapan akan lahirnya generasi penerus bangsa yang berakar kuat pada nilai-nilai luhur Nusantara dan mampu merajut masa depan dunia yang lebih manusiawi dan harmonis, merdeka, adil dan damai abadi.
Guru Umat Manusia
Guru sebagai “umat manusia” adalah sosok yang memikul tanggung jawab luhur sebagai komunikator nilai-nilai Pancasila dalam rangka membangun peradaban cinta dan persaudaraan manusia semesta.
Dalam konteks ini, guru tidak hanya berperan sebagai pengajar mata pelajaran, tetapi sebagai penuntun moral dan pemelihara kebijaksanaan hidup yang berakar pada nilai-nilai kemanusiaan universal.
Nilai-nilai Pancasila—ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan—bukan hanya dasar negara, tetapi juga sumber etika hidup bersama yang jika dihayati secara mendalam, mengarah pada pembentukan karakter bangsa yang cinta damai, adil, dan penuh kasih.
Guru sebagai komunikator nilai harus mampu menerjemahkan nilai-nilai ini dalam laku harian pendidikan: dalam relasi dengan siswa, pengambilan keputusan, serta dalam membangun budaya sekolah yang inklusif dan saling menghormati.
Dengan membumikan Pancasila melalui praktik pedagogis yang bernapaskan cinta, guru menjadi agen peradaban yang menanamkan benih kasih sayang lintas identitas, agama, ras, dan bangsa.
Dalam dunia yang sering kali terpecah oleh konflik dan kepentingan sempit, guru memikul tanggung jawab spiritual dan sosial untuk menyalakan semangat persaudaraan semesta. Peradaban cinta bukanlah utopia jika nilai-nilai Pancasila benar-benar dihidupi sebagai sumber inspirasi pendidikan yang membebaskan dan memanusiakan.
Oleh karena itu, pendidikan bukan sekadar proses kognitif, tetapi juga tindakan moral dan kultural yang diarahkan untuk menciptakan masyarakat yang berbelarasa, adil, dan menyatu dalam kemajemukan.
Guru umat manusia, dalam peran ini, adalah jembatan antara visi luhur Pancasila dan realitas kehidupan bersama yang damai serta penuh kasih.
Tinggalkan Balasan