Vox NTT-Asa Firda Inayah mendadak terkenal baik di media sosial maupun di media massa. Tulisan bertajuk ‘Warisan’ di akun Facebook-nya adalah penyebabnya.
Tulisan itu berisi pesan damai bagi seluruh umat beragama. Namun siapa sangka, pesan damai itu ditangkap negatif oleh sejumlah pihak.
Dia pernah diancam akan dibunuh. Dalam acara ‘Rosi Spesial’ yang ditayangkan Kompas TV pada Selasa (30/5/2017) malam, pemilik akun Facebook Afi Nihaya Faradisa itu menceritakan pengalaman buruknya.
“Pernah saya ditelepon jam 03.00 WIB oleh nomor pribadi. Seorang pria di ujung sana berkata bahwa kami tidak hanya bisa membunuh akun mu, kami juga bisa membunuh pemiliknya,” ujar Afi seperti dilansir Kompas.com, (31/05/2017)
Meskipun dihantui rasa khawatir, namun siswi Kelas III SMA Negeri I Gambiran, Banyuwangi, Jawa Timur, tersebut tetap bersikap sewajarnya. Bahkan, ia sempat tersenyum.
Afi berkeyakinan bahwa membunuh orang tidaklah semudah itu. Apalagi belakangan ini, sejumlah sayap organisasi Nahdlatul Ulama (NU) telah menyatakan diri mendukung langkah Afi menyebarkan pesan damai.
“I’m not afraid. Di belakang saya, ada Banser, GP Ansor NU. Waktu itu dari pusat mengutus cabang mereka di Banyuwangi untuk melindungi saya. Tuhan juga melindungi saya,” ujar Afi.
Tidak hanya diancam dibunuh, tulisan ‘Warisan’ Afi juga tak lepas dari ‘bully’ serta tudingan miring.
Ada netizen yang mencaci maki Afi dengan kata-kata kasar hingga menuduh Afi sebagai misionaris Kristen.
Menyakitkan bagi Afi, namun ia menghadapinya dengan kepala dingin.
“(Jika saya membalasnya), apa bedanya saya dengan mereka?” kata Afi.
Jika memang sudah tak tahan atas bully dan tudingan miring itu, paling-paling Afi memblokir akun tersebut.
Afi berpendapat, netizen yang berkata-kata kasar, mempunyai persoalan sendiri di kehidupannya. Kata-kata kasar tersebut pun merupakan pelampiasan semata.
“Jadi kalau sudah sangat menyerang personal, misalnya dia menumpahkan sampah ke saya, ya mungkin dia punya masalah di kehidupan lain lalu menumpahkannya di status saya, ya saya akan blokir,” ujar Afi.
“Kalau niatnya mengkritik dan dia kritiknya pakai nalar atau dalam artian kita bisa sama-sama diajak berpikir, ya sudah saya terima kritikannya dengan senang hati,” lanjut dia.
Namun yang pasti, bullying, tudingan miring hingga ancaman pembunuhan tidak akan membuat Afi berhenti menyebarkan pesan perdamaian bagi umat beragama.
“Kita harus mengasihani. Semua agama dan aliran kepercayaan menyuruh kita berbuat demikian,” ujar Afi.
Berikut tulisan lengkap Afi yang ia tuangkan di akun Facebook pribadinya tersebut.
WARISAN
Ditulis oleh Afi Nihaya Faradisa
Kebetulan saya lahir di Indonesia dari pasangan muslim, maka saya beragama Islam. Seandainya saja saya lahir di Swedia atau Israel dari keluarga Kristen atau Yahudi, apakah ada jaminan bahwa hari ini saya memeluk Islam sebagai agama saya? Tidak.
Saya tidak bisa memilih dari mana saya akan lahir dan di mana saya akan tinggal setelah dilahirkan.
Kewarganegaraan saya warisan, nama saya warisan, dan agama saya juga warisan.
Untungnya, saya belum pernah bersitegang dengan orang-orang yang memiliki warisan berbeda-beda karena saya tahu bahwa mereka juga tidak bisa memilih apa yang akan mereka terima sebagai warisan dari orangtua dan negara.
Setelah beberapa menit kita lahir, lingkungan menentukan agama, ras, suku, dan kebangsaan kita.
Setelah itu, kita membela sampai mati segala hal yang bahkan tidak pernah kita putuskan sendiri.
Sejak masih bayi saya didoktrin bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar.
Saya mengasihani mereka yang bukan muslim, sebab mereka kafir dan matinya masuk neraka.
Ternyata, teman saya yang Kristen juga punya anggapan yang sama terhadap agamanya.
Mereka mengasihani orang yang tidak mengimani Yesus sebagai Tuhan, karena orang-orang ini akan masuk neraka, begitulah ajaran agama mereka berkata.
Maka, Bayangkan jika kita tak henti menarik satu sama lainnya agar berpindah agama, bayangkan jika masing-masing umat agama tak henti saling beradu superioritas seperti itu, padahal tak akan ada titik temu.
Jalaluddin Rumi mengatakan, “Kebenaran adalah selembar cermin di tangan Tuhan; jatuh dan pecah berkeping-keping. Setiap orang memungut kepingan itu, memperhatikannya, lalu berpikir telah memiliki kebenaran secara utuh.”
Salah satu karakteristik umat beragama memang saling mengklaim kebenaran agamanya.
Mereka juga tidak butuh pembuktian, namanya saja “iman”.
Manusia memang berhak menyampaikan ayat-ayat Tuhan, tapi jangan sesekali mencoba jadi Tuhan.
Usah melabeli orang masuk surga atau neraka sebab kita pun masih menghamba.
Latar belakang dari semua perselisihan adalah karena masing-masing warisan mengklaim, “Golonganku adalah yang terbaik karena Tuhan sendiri yang mengatakannya”.
Lantas, pertanyaan saya adalah kalau bukan Tuhan, siapa lagi yang menciptakan para Muslim, Yahudi, Nasrani, Buddha, Hindu, bahkan ateis dan memelihara mereka semua sampai hari ini?
Tidak ada yang meragukan kekuasaan Tuhan. Jika Dia mau, Dia bisa saja menjadikan kita semua sama. Serupa. Seagama. Sebangsa.
Tapi tidak, kan?
Apakah jika suatu negara dihuni oleh rakyat dengan agama yang sama, hal itu akan menjamin kerukunan?
Tidak!
Nyatanya, beberapa negara masih rusuh juga padahal agama rakyatnya sama.
Sebab, jangan heran ketika sentimen mayoritas vs. minoritas masih berkuasa, maka sisi kemanusiaan kita mendadak hilang entah kemana.
Bayangkan juga seandainya masing-masing agama menuntut agar kitab sucinya digunakan sebagai dasar negara. Maka, tinggal tunggu saja kehancuran Indonesia kita.
Karena itulah yang digunakan negara dalam mengambil kebijakan dalam bidang politik, hukum, atau kemanusiaan bukanlah Alquran, Injil, Tripitaka, Weda, atau kitab suci sebuah agama, melainkan Pancasila, Undang-Undang Dasar ’45, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Dalam perspektif Pancasila, setiap pemeluk agama bebas meyakini dan menjalankan ajaran agamanya, tapi mereka tak berhak memaksakan sudut pandang dan ajaran agamanya untuk ditempatkan sebagai tolok ukur penilaian terhadap pemeluk agama lain.
Hanya karena merasa paling benar, umat agama A tidak berhak mengintervensi kebijakan suatu negara yang terdiri dari bermacam keyakinan.
Suatu hari di masa depan, kita akan menceritakan pada anak cucu kita betapa negara ini nyaris tercerai-berai bukan karena bom, senjata, peluru, atau rudal, tapi karena orang-orangnya saling mengunggulkan bahkan meributkan warisan masing-masing di media sosial.
Ketika negara lain sudah pergi ke bulan atau merancang teknologi yang memajukan peradaban, kita masih sibuk meributkan soal warisan.
Kita tidak harus berpikiran sama, tapi marilah kita sama-sama berpikir
Pada bagian kolom komentar, Afi sempat menuliskan lagi pendapatnya soal tulisan yang ia buat tersebut
“Ini adalah tulisan untuk membenahi landasan berpikir kita, jangan apa-apa dihubungan ke Pilkada Jakarta.
Mengutip perkataan John Dewer, “Pikiran itu seperti parasut; hanya berfungsi ketika terbuka.” (VoN)
Sumber: Kompas.com