Oleh: Mikael Wora

SIAPASIAPAAKU?

Aku bukan Tuhan

Bukan malaikat

Bukan mereka

Bukan kamu

Bukan pula aku

Lalu, siapa?

Di bawah lembah cinta

Ia pecah dalam gema:

A  k  u    a  d  a  l  a  h     k  e  p  i  n  g  a  n      s  u  n  y  i

S  a  a  t     d  i     m  a  n  a    k  a  u    t  e  m  u  k  a  n

S  i a  p  a     a  k  u     d  i     d  a  l  a  m     r  i  n  d  u

Puncak Scalabrini, 4/6/2017

 

MENG(AKU)

-kepada kata

Dosaku paling besar ialah:

Melucuti pakaianmu

dan menyalibkan engkau

tanpa celana dan baju di dalam buku

Puncak Scalabrini, 12/6/2017

FIRMAN

 Manusia hidup bukan dari roti saja

melainkan juga dari setiap puisi yang ia kunyah

Padang Buku, 10/6/2017


KLIMAKS

 Luciana…

malam ini kau sengaja tinggalkan gincu pada bibirku

agar aku tidak kaku saat belajar mengecup hatinya

-Malam terakhir di puncak tubuhmu, 18/6/2017

 *Mikhael Wora. Mahasiswa STFK Ledalero. Penyair kelahiran Ende, 7 Maret 1993. Buku antologi puisi karya perdananya berjudul: “Surat Cinta Untuk Adonai”. Dapat dihubungi melalui akun Facebook: Mikhael W.

Catatan atas Puisi-puisi Mikhael Wora

Oleh Hengky Ola Sura-Redaksi Seni Budaya voxntt.com

Membaca puisi-puisi Mikhael Wora pada edisi voxntt.com  pekan ini membawa kita semua yang mendalaminya untuk sejenak terhenyak pada lihainya barisan diksi juga makna yang ada di dalamnya.

Mulai dari puisi Siapasiapa Aku sampai dengan puisi Klimaks, Mikhael menyajikan satu runutan yang bisa dinamakan sebagai bagian integral dari perasaan dan pengalaman religiusnya.

Saya pribadi pernah meng(kurasi) buku puisinya Surat Cinta untuk Adonai. Kesan saya adalah Mikhael sebagai seorang calon imam Katolik punya semacam kekhasan dari sejarah panggilan rohaninya. Kesan yang sama dapat dijumpai dalam empat puisinya kali ini. Pada puisi Siapasiapa Aku terburailah aneka tanya tentang keakuannya.

Aku adalah

kepingan sunyi

saat di mana kau temukan

siapa aku di dalam rindu

Pada deret kata dari puisi Siapasiapa Aku di atas tampak bahwa Mikhael bisa saja sedang dalam semacam pergumulan akan jalan hidup yang dipilihnya. Dan ia dalam penyerahan yang sempurna hanya bilang aku adalah kepingan sunyi saat kau temukan siapa aku di dalam rindu. Bisa saja puisi ini semacam tegangan juga tarik ulur perihal memaknai ziarah menuju imamat suci.

Pada puisi Meng(aku) hemat saya adalah puisi liar dengan kelebatan imajinasi yang tersembunyi berlapis-lapis, tak terbayangkan, tak terduga dan hanya ada dalam buku. Puisi ini seolah sebuah perihal memaknai hidup dengan atau tanpa melihat sesuatu yang tampak atau hadir di sekeliling Mikhael. Puisi ini bisa juga jadi semacam alarm/peringatan tentang bagaimana seharusnya menghidupi perasaan juga pengalaman religius itu.

Selanjutnya pada puisi Firman dan Klimaks, Mikhael dengan sangat taktis mengurai jalan panggilannya yang semula abstrak menjadi sesuatu yang konkret. Tokoh semisal Luciana yang hadir dalam puisi terasa seperti sosok yang ikut memurnikan perasaan dan pengalaman religius Mikhael. Yang khas dari empat puisinya kali ini adalah bahwa Mikhael menghadirka citraan-citraan visual yang dibangun dengan padu.

Perasaan dan pengalaman religiusnya adalah seumpama pengalaman sosial dalam sejarah. Puisi-puisinya adalah dimensi-dimensi imaginatif yang ikut membawa kesan tersendiri bagi pembaca yang beriman untuk ikut menghubungkan setiap perasaan dan pengalaman religiusnya.***