Oleh: Atel Lewokeda
I
Di Kantor Wakil Rakyat
Di sana, suara kami disimpan
Hingga karat dan perlahan hangus
Di sana, aspirasi kami dipenjara
Sampai lumut dan berbau
Di sana, wajah kami ditopengi
Lalu dicekik hingga kehilangan suara
Di sana, wakil rakyat berpangku tangan
Mencuri keringat dari suara yang tak berdaya
II
Sebuah Tanya Untuk Pak Bupati
Koalisi
Aliansi
Kampanye
Janji visi
Dan deklamasi misi
Untuk kepentingan siapa?
Untuk rakyat?
Atau untuk partai?
III
Wakil Rakyat Menjawab
Yang jelas untuk rakyat
Tapi…
Juga untuk saya
Maksudnya partai saya
Rakyat atau partai
Katanya partai rakyat
Partai dan rakyat
Ditengah-tengah ada saya
Untuk rakyat, demi partai, buat saya
Tiganya beda tipis
Karena…
Akh…aku juga rakyat
IV
Negaraku Lagi Bangkrut
Mafia senayan tak melunasi utang
Berdiri di hadapan MA
Bicara dan menjual diri
Penguasa negeri sulit membagi
Member apa lagi
Wakil rakyat cemas membayar tagihan
Bingkisan dank ado
Hanya kata tanpa aksi
Janji dan rayuan
Hilang di atas tumpukan empuk
Semua lagi berutang
Penguasa, pedagang, dermawan
Tentang manusia dan doa
Sementara rakyat menagih janji
Maaf…!
Lalu ada suara membisik
Negara kita lagi bangkrut
Atel Lewokeda, penyuka puisi dan seorang petualang. Antologi puisinya yang telah terbit, Cerita di Kamar Pastor, Penerbit Carol Maumere, 2017
Wakil Rakyat dan Harapan-Harapan Kepadanya
Oleh: Hengky Ola Sura Redaksi Seni Budaya Voxntt.com
Satu puisi berantai dari Atel Lewokeda pekan ini adalah karya yang daripadanya pembaca/penikmat/penyuka puisi paham bahwa puisi ini bicara soal realitas sosial-politik yang karut-marut. Buah dari karut-marut itu adalah situasi yang disebut Atel, sang penyair kita minggu ini dengan situasi khaos dimana negara bangkrut.
Puisi Wakil Rakyat, adalah tipikal puisi yang tanpa bungkusan penuh metafora. Ia bicara blak-blakan tentang kebutaan nurani dari para wakil rakyat yang memenjarakan aspirasi. Tentunya banyak juga wakil rakyat yang punya misi mulia toh tetap saja dalam puisi ini mengalir sebuah desakan bahwa kalau jadi wakil rakyat hal yang harus terus diperjuangkan adalah nasib rakyat itu sendiri. Menjadi wakil rakyat atau apa pun jabatan yang menyangkut kemaslatan hidup banyak orang adalah jabatan yang didalamnya selalu terdapat harapan-harapan.
Puisi berantai kali ini, hemat saya tetap merupakan sebuah bahan penunjang yang bermakna reflektif kepada segenap wakil rakyat dan semua yang berkecimpung dalam pengambilan kebijakan untuk paham akan tugas dan tanggung jawab yang diembannya. Semoga saja puisi Atel pekan ini ikut dibaca oleh semua wakil rakyat kita juga oleh kita semua yang dengan keberanian dan sikap peduli untuk berkabar bahwa identitas sebagai wakil rakyat adalah amanah, adalah peran yang harus diembankan dengan rasa tanggung jawab yang penuh. Bahwa menjadi wakil rakyat bukanlah para pelakon sandiwara yang penuh intrik untuk tujuan yang seenak maunya saja.
Akhirnya puisi ini tetap merupakan sebuah harapan yang penuh. Pengharapan pada para wakil rakyat dan semua yang ikut dalam pengambilan kebijakan untuk berjuang, terus bekerja, tentunya dalam semangat tanpa pretensi dan tendensi untuk dapat ini atau itu. Puisi Wakil Rakyat adalah model puisi yang dari maknanya saja kita menemukan hubungan dialektis antara karya sastra sebagai teks dan situasi hidup berbangsan dan bernegara sebagai konteks. Bahwa yang dikemukakan oleh Atel dalam puisinya adalah situasi yang betul/benar terjadi.
Yang masih harus terus digali untuk model puisi macam ini adalah kekhasannya untuk menampakan aspek puitis. Saya kira yang masih harus didalami untuk puisi berantai macam ini adalah ketaksaan untuk membangun larik-larik yang mengalir dan ritmikal. ***