Jakarta, Vox NTT- Kali ini VoxNtt.com kembali membagikan tiga isu penting yang diramu harian Kompas, Media Indonesia (MI) dan Tempo.
Tiga isu itu yakni, Masalah Narkotika, WNI yang diduga bergabung dengan kelompok militan Islamic Sate (IS) dan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang akhir-akhir ini kembali jadi tranding topic karena mendapat perlakukan kekerasan hingga mati di tangan majikan.
VoxNtt.com menilai, ketiga isu ini sangat penting untuk dibahas. Sebab, masalah Narkoba, ancaman IS dan kekerasan terhadap TKI di luar negeri masih rentan mengancam keutuhan dan kewibawaan NKRI kini dan di masa depan.
Harian Kompas, mengulas khusus isu Narkoba yang dikupas dalam empat judul. Namun VoxNtt.com memilih dua judul yang menggelitik saja, yakni “Simpan Sabu, Pasangan Suami Istri Ditangkap” dan “Juru Parkir Edarkan 3.000 Pil Penenang”.
Dalam laporannya harian Kompas menyampaikan, aparat kepolisian dari Direktorat Reserse Narkoba Kepolisian Daerah Lampung, menangkap pasangan suami istri (Pasutri), Su (32) dan No (34), warga Kelurahan Sususnan Baru, Kecamatan Tanjung Karang Barat, Bandar Lampung.
Kedua tersangka ditangkap di rumahnya pada Senin (26/2) sekitar pukul 02.00 dini hari karena menyimpan 37 paket sabu seberat 1 kilogram yang dikirim dari Aceh untuk diedarkan di Lampung.
Direktur Reserse Narkoba Polda Lampung, Komisaris Besar (Kombes) M. Abrar Tuntalanai mengungkapkan, pasangan suami istri ini diduga merupakan jaringan narkoba Aceh.
“Narkoba ini diantar oleh kurir ke rumah tersangka. Sabu lalu diedarkan di wilayah Lampung,” kata Abrar saat di Markas Besar Direktorat Reserse Narkoba di Bandar Lampung, Senin (26/2/2018).
Menurut Abrar, tersangka No yang merupakan istri dari Su ikut ditangkap karena diduga mengetahui bisnis narkoba yang dijalani suaminya. Dia juga diduga turut membantu suaminya menjual sabu.
Dari hasil penyelidikan petugas, sabu tersebut diketahui dipasok oleh rekannya berinisial U, warga Aceh, yang saat ini masih dalam pencarian aparat.
Su mengaku mengenal U saat sama-sama menjalani hukuman penjara atas kasus penyalahgunaan narkoba di Lembaga Permasayarakan Way Huwi pada 2013.
Untuk mengelabui petugas, tersangka U menugaskan kurir yang berbeda-beda saat mengantar narkoba ke Lampung.
Su juga mengaku tidak mengenal siapa kurir tersebut. Atas kejahatan itu, kedua tersangka diancam hukuman penjara seumur hidup.
Sementara Kepala Subdit III Direktorat Narkoba Polda Lampung, Ajun Kombes Ahmad Zulfikar menambahkan, pengungkapan kasus ini berawal saat polisi mendapat informasi dari masyarakat tentang adanya aktivitas jual beli narkoba di sekitar Pasar Induk Tamin, Bandar Lampung.
Dari informasi itu, aparat melakukan pengintaian terhadap tersangka. “Kami langsung melakukan penggerebekan dan mendapatkan dua orang pasangan suami istri dengan barang bukti sabu dan timbangan digital yang disembunyikan di dalam lemari,” katanya.
Juru Parkir jadi Juru Narkoba
Selain Pasutri di Lampung, di Magelang, Jawa Tengah juga polisi meringkus seorang Juru Parkir bernama RAS (24) karena diketahui mengedarkan pil penenang jenis Trihexiphedidyl.
Ras yang beroperasi sejak Januari 2016 itu, telah mengedarkan lebih dari 3.000 butir pil ini ke kalangan pengamen dan gelandangan.
Kepala Kepolisian Resor Magelang Kota, Ajun Kombes Kristanto Yoga Darmawan, dalam jumpa pers yang digelar di Kota Magelang, Senin (26/2/2018) mengatakan, tersangka mendapatkan obat tersebut dengan membeli secara online.
“Obat tersebut dibeli dari seseorang yang diketahuinya lewat media sosial facebook,” ujarnya.
Sejak Januari lalu hingga sekarang, dia sudah membeli empat botol besar pil ini, masing-masing berisi 1.000 butir. Saat dibekuk, dia masih memiliki 991 butir pil yang belum sempat dijual.
Pil ini dikirim dari Jakarta, menggunakan jasa pengiriman paket. Satu boltol besar pil, dibelinya dengan harga Rp 750.000.
Minggu lalu, pelaku dibekuk saat sedang mengemas pil dalam kemasan di belakang gedung bekas Tidar Theatre di dekat Alun-alun Magelang. Saat ditangkap, dia masih memiliki 991 butir pil yang belum sempat dijual.
Awalnya, sekitar dua tahun lalu, dia mencoba-coba membeli, sekedar untuk dikonsumsi sendiri.
Namun, karena kebiasaan mengonsumsi obat ini diketahui oleh rekan-rekannya dari kalangan pengamen, terbersit niat untuk mulai menjual.
Pil tersebut dijual tersangka dalam kemasan-kemasan plastik kecil, tiap plastik berisi 10 butir dijual dengan harga Rp 20.000.
Kristanto mengatakan, transaksi penjualan pil ini dilakukan pelaku secara sembunyi-sembunyi.
“Agar tidak terlihat mencolok diketahui oleh orang lain, biasanya kemasan pil didistribusikan secara tersembunyi dalam bungkus rokok,” ujarnya.
Atas perbuatannya, pelaku dinyatakan melanggar Pasal 196 juncto pasal 98 Undang-undang RI Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, dengan ancaman hukuman penjara paling lama 10 tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar.
Pelaku mengatakan, dari satu botol pil yang dibeli Rp 750.000, dia bisa mendapatkan keuntungan Rp 1.250.000 per botol.
Pelaku mengaku, semua dilakukannya sendiri, tanpa melibatkan orang lain sebagai pedagang perantara.
Dia mengaku tidak kesulitan untuk memasarkannya seorang diri, langsung ke pelanggan, karena obat ini cukup diminati.
“Setiap hari, saya bisa menjual sekitar 10 kemasan,” ujarnya. Trihexiphenidyl adalah jenis obat keras yang harus dikonsumsi berdasar resep dokter.
Obat ini biasanya digunakan untuk mengatasi gangguan gerakan yang tidak normal atau gerakan yang tidak terkendali akibat penyakit Parkinson atau akibat efek samping obat.
Jika dikonsumsi secara sembarangan, pengguna obat ini akan merasa tenang, dan menimbulkan efek halusinasi.
WNI jadi Militan IS
Jika Kompas mengulas tentang peredaran Narkoba yang kian massif hingga menyeret Ibu Rumah Tangga dan Juru Parkir, MI mencoba mengangkat fenomena Warga Negara Indonesia (WNI) yang saat ini bergabung dengan Islamic State (IS).
WNI terkait IS tentu saja bukan informasi baru bagi Indonesia, karena memang informasi tentang sejumlah WNI yang terkait IS sudah terjadi sejak tahun 2014 dan masih ada hingga saat ini.
Dalam laporannya hari ini, MI menyampaikan sedikitnya 15 WNI yang diduga terkait dengan IS ditahan pasukan Kurdi di Suriah bersama 1 perempuan dari Malaysia.
Informasi itu disampaikan oleh Direktur Program Terorisme dan Kontra Terorisme Human Rights Watch, Nadim Houry. Menurutnya, banyak dari mereka yang ditahan Bersama dengan anak-anak mereka.
Harian Jerman Die Welt melaporkan, pada awal bulan Februari sekitar 800 wanita asing dengan anak mereka yang bergabung dengan kelompok militant IS ditahan tantara kurdi yang didukaung oleh Amerika Serikat dan Suriah Utara.
Die Welt kemudian mewawancarai Houry, yang sebelumnya berbicara banyak dengan wanita itu saat melakukan kunjungan ke kamp penahanan, di daerah yang dikuasai Kurdi beberapa bulan lalu.
“Saya tahu ada orang Indonesia, setidaknya 15 orang,” kata Houry kepada FMT melalui e-mail. Demikian dilaporkan MI.
Di situ Hory mengatakan, Indonesia merupakan satu dari beberapa negara yang mengambil beberapa warganya dari Suriah pada tahun 2017.
“Negara lain yang mengambil beberapa warganya ialah Rusia, tetapi masih ada beberapa (sisa),” katanya.
Surat kabar Jerman yang mengutipnya itu juga mengatakan, 800 wanita dan anak-anaknya itu berada dalam empat kamp.
“mereka berasal dari 40 negara. Ada wanita dari Kanada, Prancis, Inggris, Tunisa, Yaman, Turki dan Australia,” kata Houry.
Dia menambahkan ada juga 15 orang dari Jerman. Menurut Houry, mereka ditahan terpisah dengan pejuang IS yang tertangkap.
Kepada Houry, sejumlah wanita itu mengatakan, mereka dipukuli dan dipermalukan saat proses interogasi dan dipaksa tinggal di tempat yang tidak higenis dengan bayi mereka.
“Wanita-wanita ini berada dalam situasi yang sangat sulit. Bagi anak-anak kecil terutama, keadaannya sama sekali tidak baik,” kata Houry.
Menurut Pakar Terorisme itu, para wanita itu ingin kembali ke rumah dan bersedia menghadapi tuntuan pidana di negara asal mereka.
Dia juga menyampaikan, anak-anak mereka tidak berbuat kejahatan apapun di sana.
“Mereka adalah korban perang dan sering kali karena orang tua mereka yang radikal,” tukasnya.
Masih Rawan
Namun, apa yang ditemukan Houry ini dibantah oleh pemerintah Indonesia. Menurut pemerintah, 15 WNI yang ada di Suriah dan jadi tahanan pasukan Kurdi itu bukan kelompok IS.
Menurut Dierektur perlindungan WNI dan Badan Hukum Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhamad Ikbal, mereka sebenarnya WNI yang tinggal di Raqqa.
Raqqa adalah sebuah kota yang dulunya jadi markas IS, namun direbut Siryan Demokratic Forces (SDF) yang merupakan gabungan pasukan Kurdi dan Arab Saudi pada bulan oktober tahun lalu.
Raqqa dikuasai IS sejak tahun 2014. “Identifikasi terhadap 15 orang itu belum bisa dilakukan karena situasi keamanan masih rawan. Jadi kami belum bias tentukan langkah-langkah konkret,” Kata Ikbal kepada MI.
Apa lagi kata Ikbal, meski wilayah itu ada di Suriah. Namun yang menguasai wilayah tersebut bukanlah pemerintah, sehingga KBRI yang ada di Damskus belum biasa menjangkau ke-15 orang tersebut.
Sementara Pengamat Terorisme lainnya, Smith Al-Hadar, menilai penahanan terhadap sejumlah orang Indonesia dan Malaysia karena berafiliasi dengan kelompok militan IS itu sangat mungkin benar.
Pasalnya, lanjut Smith ada sekitar 500 WNI yang bergabung dengan IS sejak tahun 2014.
“Sebagian sudah pulang ke negara asal, sebagian ada yang tewas. Sementara sisahnya masih tertahan di Suriah,” kata Smith.
Pembunuhan TKI
Sementara Tempo, kali ini dia mengulas tentang kasus perdagangan masusia (Human Trafficking) yang akhir-akhir ini menggegerkan, terutama yang menimpa salah seorang TKW asal NTT, Adelina Sau yang diketahui dierangkatkan ke luar negeri secara illegal lalu meninggal dunia karena dianiaya sang majikan.
Dengan judul ”Adelina Dibawa Diam-diam ke Malaysia Saat Ibu Bekerja di Ladang” melaporkan keterangan Ibu Adelina Sau, Yohana Banunaek, yang diberikan uang Rp 200 ribu oleh calo yang menjemput Adelina di rumahnya, sebelum akhirnya Adelina dikirim bekerja ke Malaysia.
“Kami diberi Rp 200 ribu. Padahal kami sudah menolak untuk Adelina dibawa ke Malaysia,” kata Yohana kepada Tempo, Senin, 26 Februari 2018.
Menurut Yohana, Adelina diajak seorang calo untuk bekerja di Malaysia. Namun ajakan tersebut selalu ditolak ibu Adelina.
Karena terus ditolak, calo tersebut akhirnya menjemput Adelina secara diam-diam saat Yohana sedang bekerja di kebun. “Saya tidak setuju,” katanya.
Yohana mengatakan, Adelina pernah bekerja di Malaysia pada 2014-2015, dan sempat pulang ke kampung halamannya.
Namun, dia tidak tahu berapa gaji yang diterima Adelina selama bekerja di Malaysia.
“Dia (Adelina) tidak pernah beritahu berapa gajinya selama di Malaysia,” katanya.
Adelina punya keinginan kuat untuk bekerja di Malaysia. Akibatnya, dia kembali diberangkatkan ke Malaysia, namun dipulangkan dalam keadaan tidak bernyawa.
“Kami tidak pernah tahu, berapa gajinya,” kata Yohana.
Adelina, TKI asal Desa Abi, Kecamatan Oenino, Timor Tengah Selatan (TTS) meninggal di Malaysia, karena disiksa majikannya dengan cara tidak diberi makan dan tidur bersama anjing peliharaan.
Adelina kini telah dimakamkan di kampung halamannya.
Penulis: Bonefasius Jehadin
Diolah dari: Kompas, MI, Tempo