Mbay, Vox NTT- Frumensius Wegu, tokoh muda asal Labolewa menyatakan, wacana pembangunan waduk Lambo di Desa Labolewa, Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo melahirkan banyak konflik sosial.
Konflik tersebut, baik yang sedang dialami saat ini maupun pada masa mendatang.
Menurut Frumen, konflik bisa saja terjadi jika Pemerintah Kabupaten Nagekeo gegabah dalam menyelesaikannya.
“Apalah arti sebuah pembangunan jika masyarakat mengalami ketidaknyamanan dalam kehidupan sosial? Kehadiran waduk Lambo bom waktu untuk perpecahan,” ujar Frumen kepada VoxNtt.com melalui pesan WhatsApp-nya, Kamis (17/1/2019).
Ia mengatakan, kehadiran Pemkab Nagekeo melalui Camat Aesesa Pius Dhari dan Kabag Tatapem Oskar Sina pada Selasa, 15 Januari 2019 lalu di Boazea, Desa Labolewa melahirkan pilu yang mendalam bagi warga setempat.
Bupati Nagekeo, kata Frumen, menugaskan Camat Pius dan Kabag Oskar antara lain;
Pertama, memastikan luas lahan yang terkena dampak pembangunan waduk. Lalu, memastikan status kepemilikan baik perorangan maupun secara komunal, perumahan, kubur dan tanaman yang masuk dalam areal pembangunan waduk.
Kedua, kepastian dilaksanakan melalui tim Pemkab bersama Kepala Pertanahan Nagekeo dalam waktu secepatnya untuk mengukur areal genangan air.
Ketiga, tidak ada lagi soal diskusi berkaitan dengan rencana pembangunan waduk. Sebab pembangunan ini adalah program pusat yang harus dilakukan.
Sebagai generasi muda Labolewa, Frumen meminta Bupati Nagekeo agar tidak terburu-buru dan gegabah dalam merespon program pusat.
Ia berlasan; pertama, fungsionaris Suku Lambo bersama masyarakat Desa Labolewa pada tanggal 25 Juli 2016 lalu, tidak pernah menyatakan sikap untuk membangun waduk Lambo.
Masyarakat Desa Labolewa menyatakan, sikap menyetujui izin survey dan kajian bila semua prosesnya dilakukan melalui sosialisasi kepada masyarakat.
Kedua, permintaan masyarakat Labolewa kepada pemerintah survey dan kajian harus selesai. Selanjutnya, saat sosialisasi harus hadirkan tim survey dan kajian untuk menjelaskan secara detail.
“Kenapa hal ini tidak dilakukan?” ujar Frumen.
Ketiga, berdasarkan data yang diajukan Pemkab Nagekeo untuk pembangunan waduk Lambo lahan yang disiapkan 431 hektare. Nyatanya yang terjadi saat presentasi lewat layar lebar mencapai 700 hektare.
Karena itu, Frumen kembali meminta agar Pemkab Nagekeo tidak boleh gegabah dalam menyelesaikan persoalan-persoalan ini.
Menurut dia, ada banyak hal yang perlu diperhatikan oleh Pemkab Nagekeo agar menekan konflik sosial yang akan terjadi.
Ia juga meminta agar Pemkab Nagekeo harus memenuhi apa yang sudah pernah disepakati bersama.
”Pemerintah Nagekeo jangan mengingkari janji- janji manis,” ujar Frumen.
“Bagaimana mungkin gedung sekolah perumahan warga dan kubur leluhur harus direlokasi, sementara Pemerintah Nagekeo sebelumnya sudah meyakinkan bahwa menekan dampak air batas jembatan Kagawae,” sambung dia.
Dari hasil presentasi, kata dia, genangan air mencapai jembatan Lambo. “Kira-kira kami masyarakat mau ikut yang mana?” tandasnya.
Tak hanya itu, Frumen juga meminta Pemkab Nagekeo segera menghadirkan tim survey dan kajian untuk turun ke tiga desa.
Ketiganya yakni Desa Labolewa, Ulupulu, dan Rendubutowe. Mereka harus memberi informasi secara detail, sehingga warga tidak menjadi bingung.
“Saya mohon Pemda Nagekeo untuk segera bertemu masyarakat adat Labolewa sebagai lokus dari pembangunan waduk, jika pemerintah Nagekeo dalam hal ini Bupati Nagekeo tidak meresponnya, saya pastikan konflik sosial akan terjadi di Labolewa dan Rendubutowe. sebagai generasi muda saya tidak mau konflik sosial terjadi,” tegasnya.
Penulis: Arkadius Togo
Editor: Ardy Abba