Ruteng, Vox NTT- Yayasan Ayo Indonesia menggelar pelatihan public speaking kader posyandu Komunikatif, Edukatif, Caring, dan Empati (KECE) di Aula Efata Ruteng, Selasa (04/06/2019).
Dalam kegiatan ini, Ayo Indonesia menggandeng trainer dan fasilitator dari Yayasan Mariamoe Peduli.
Pada training ini peserta dibantu untuk belajar tentang teknik bicara di depan publik. Menariknya, peserta dibantu untuk mengatasi hambatan psikologisnya untuk bisa berbicara di depan publik.
Salah satu pemateri, Jefry Harianto mengaku hampir semua kader posyandu sudah memahami masalah stunting.
Namun, keberanian untuk bebicara di depan umum merupakan masalah yang sering dihadapi oleh kader posyandu saat melakukan penyuluhan kepada masyarakat.
Pelatihan public speaking juga mengajarkan strategi penyuluhan agar bisa diterima dan dipahami oleh masyarakat.
Sebab, para kader posyandu akan menjelaskan bagaimana cara mengatasi masalah stunting.
Sehingga dengan pelatihan public speaking para kader posyandu mampu menjelaskan dengan baik kepada masyarakat tentang pola hidup sehat.
“Kalau materi stuntingnya mereka sudah kuasai, namun kendala di teknik penyampaian kepada publik. Kadang apa yang menjadi tujuan penyuluhan tidak bisa dipahami oleh masyarakat karena salah pada teknik penyampainnya. Sehingga saya mengajarkan mereka bagaimana metode penyampain kontekstual yang mudah diterima dan dipahami oleh masyarakat,” ungkap praktisi psikologi itu kepada VoxNtt.com setelah memaparkan materi kepada peserta pelatihan.
Jefrin Haryanto menjelaskan, yang sering dilupakan dalam pembelajaran tentang public speaking untuk pemula seperti kader adalah bagaimana mereka mengalahkan ketakutannya sendiri dan menyingkirkan hambatan psikologis pada diri sendiri.
Praktisi komunikasi publik alumnus Universitas Gadjah Mada ini, menerangkan training yang dikembangkan oleh Yayasan Mariamoe Peduli merupakan pendekatan dan strateginya sangat psikologis.
“Aspek psikologis peserta dan kebutuhan psikologis yang diterjemahkan dengan baik dalam metode training kami, membuat training yang kami buat selalu menarik dan mendapat respon yang sangat positif dari klien-klien kami,” jelasnya.
Pemateri lain yang terlibat dalam training ini di antaranya Albina Redempta Umen.
Trainer dan praktisi psikologi ini menjelaskan tentang pentingnya mengembalikan model komunikasi publik kepada konteks lokalnya. Model tersebut, baik bahasa, metode maupun sarana dan prasarananya.
“Jangan memaksa para kader untuk mengadopsi gaya atau teknik bicara dari luar. Masyarakat kita memiliki kekayaan dan kebiasaanya sendiri. Potensi ini saja yang didorong dengan merapikan tekniknya saja,” kata Albina.
Pemateri lain Tira Bilo. Trainer dan praktisi psikologi ini menjelaskan perubahan dan perluasan fungsi kader sebagai konselor yang baik dan bagaiamana komunikasi persuasif atau seni merayu pendengar itu diterapkan.
“Kader harus rutin dan pandai melihat momentum sosial untuk dimanfaatkan sebagai ruang untuk membagi kebaikan tentang kesehatan. Banyak sekali kesempatan yang bisa dipakai, misalnya pada saat arisan, pada saat santai-santai di sore hari, pada saat ada perkumpulan keluarga dan lain-lain. Kunjungan rumah juga harus dijadwalkan, tentu dengan teknik dan cara yang membuat sasaran nyaman,” kata Tira.
Koordinator Program Kesehatan Ayo Indonesia Eni Nur Setyowati mengatakan, kemampuan public speaking dari para kader posyandu merupakan salah satu kendala dalam melakukan penyuluhan kepada masyarakat terkait masalah stunting.
Ia menyebut, kader posyandu merupakan corong dalam memerangi masalah stunting. Sebab, mereka yang akan bersentuhan langsung dengan masyarakat.
Kegiatan itu, kata Eni, merupakan serangkaian pelatihan yang harus diberikan kepada kader posyandu setelah sebelumnya mengikuti pelatihan tentang masalah stunting.
“Kegiatan ini (pelatihan public speaking) untuk melatih para kader bagaimana cara berbicara di depan umum dengan baik dan membangun kepercayaan diri pada saat melakukan penyuluhan, karena itu sangat penting,” ungkapnya.
Mengenal Masalah Stunting
Eni Nur Setyowati menjelaskan, stunting adalah masalah kurang gizi kronis. Ini disebabkan oleh kurangnya asupan gizi. Akibatnya, anak mengalami gangguan pertumbuhan yakni tinggi badan anak lebih rendah atau pendek dari standar usianya.
Biasanya, anak yang mengalami kondisi stunting kurang mendapatkan asupan makanan yang sesuai dengan asupan gizi yang dibutuhkan pada usianya. Sehingga pertumbuhannya pun jadi kurang optimal.
Tidak hanya pertumbuhan yang terhambat, stunting juga berkaitan dengan perkembangan otak yang kurang maksimal. Hal ini menyebabkan kemampuan mental dan belajar yang di bawah rata-rata dan bisa berakibat pada prestasi sekolah yang buruk.
Selain itu stunting dan kondisi lainnya yang terkait dengan kurang gizi juga dianggap sebagai salah satu faktor beberapa penyakit, seperti obesitas, hipertensi, kematian akibat infeksi, dan diabetes.
Kata Eni, bayi tergolong stunting apabila saat lahir panjangnya kurang dari 46 cm untuk bayi perempuan dan untuk bayi laki – laki apabila kurang dari 48 cm.
Pertumbuhan anak terhambat, di mana tinggi dan berat badannya tidak sesuai atau di bawah angka rata-rata pertumbuhan anak seusianya. Ukuran lingkar kepala anak lebih kecil dibanding ukuran normal anak seusianya.
Hal ini menandakan otaknya tidak berkembang dengan baik. Bila otaknya kurang berkembang, maka daya tangkapnya pun kurang maksimal. Prestasi anak di bidang akademik kurang baik.
Badan anak terlalu kurus atau bisa menjadi malah kegemukan akibat terlalu banyak mengonsumsi makanan yang tinggi gula. Anak mudah terserang penyakit.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, jelas Eni, kasus stunting di Nusa Tenggara Timur mencapai 52 persen. Dan itu tertinggi di Indonesia.
Sedangkan di Kabupaten Manggarai kasus stunting sebesar 58 persen dari kondisi nasional 37 persen. Artinya setiap tiga kelahiran, dua anak di Manggarai terkena stunting. Hal itu merupakan hasil survey Dewan Ketahanan Pangan Provinsi NTT tahun 2015.
Sementara Riskesdas pada tahun 2018 presentase stunting di NTT dan Kabupaten Manggarai mengalami penurunan.
“Riskesdas pada tahun 2013 itu turun, kalau provinsi 43 persen kalau Manggarai 40 persen. Itu untuk Riskedas pada tahun 2018 karena dia keluarnya lima tahun sekali,” cetus Eni.
Menekan angka stunting di Manggarai hingga mencapai angka 48% pada tahun 2021, sebagaimana yang telah dirumuskan dalam RPJMD, Eni mengaku memerlukan keterlibatan banyak pihak.
Ayo Indonesia juga menjalin kerja sama dengan Dewan Ketahanan Pangan Kabupaten Manggarai. Salah satu kegiatan yang kini tengah dilakukan lembaga ini yakni melatih aktor-aktor kunci pangan dan gizi tingkat desa untuk intervensi stunting.
Selain itu, Ayo Indonesia juga intervensi konsumsi kedelai untuk ibu hamil. Karena dinilai sangat membantu memperbaiki gizi janin sebelum melahirkan.
Penulis: Pepy Kurniawan
Editor: Ardy Abba