(Mulai dari Keluarga)
Oleh: Rian Odel
Mahasiswa STFK Ledalero
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan Nasionalisme sebagai sebuah pemahaman untuk mencintai bangsa dan negara sendiri.
Tindakan lanjut dari definisi tersebut yaitu perlu adanya tingkah laku positif oleh setiap insan penghuni bangsa ini demi terwujudnya tujuan nasionalisme tersebut.
Kata “nasionalisme” muncul bukan sekadar sebagai sebuah bentuk ide pembangkit semangat tetapi sebenarnya selalu bertolak dari situasi yang bertentangan.
Kalau Nasionalisme berarti sebuah ajaran untuk mencintai bangsa dan negara, maka sebenarnya secara implist mau menjelaskan bahwa masih ada orang Indonesia yang tidak Nasionalis.
Pertanyaan yang kemudian muncul untuk menelusuri lebih lanjut tentang situasi dualisme di atas ialah ‘bagaimana cara kita mencintai bangsa dan negara Indonesia?
Menjawab pertanyaan tersebut, kita mesti kembali merobek-robek judul artikel ini untuk mengetahui penjelasan yang lebih akurat.
Tawaran utama yang perlu dilihat menjadi solusi kekinian yaitu merevitalisasi budaya lokal sebagai jembatan nasionalisme – mulai dari keluarga.
Keluarga sebagai Agen Dasar
Sasaran yang menjadi pokok pembahasan penulis dalam kaitan dengan Nasionalisme yaitu keluarga sebagai agen penghidup nilai-nilai budaya lokal.
Dukungan terhadap lembaga keluarga disampaikan oleh Ketua Tim PKK Kabupaten Lembata, NTT, Ny. Yuni Darmayanti, SE pada saat Pencanangan Lembata sebagai Kabupaten Layak anak.
Dia berkata bahwa keluarga yang sah ditentukan juga oleh sebuah perkawinan yang sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Adapun 8 fungsi keluarga versi PKK Lembata yaitu, pertama, fungsi agama mencakup 12 nilai dasar yaitu, iman, taqwa, kejujuran, tenggang rasa, sopan santun, sabar, iklas, dan kasih sayang.
Kedua, fungsi sosial budaya: gotong royong, toleransi, peduli. Ketiga, fungsi cinta dan kasih sayang. Keempat, fungsi perlindungan: keluarga wajib memberikan rasa aman kepada anak-anak.
Kelima, fungsi reproduksi. Keenam, fungsi sosialisasi dan pendidikan. Ketujuh, fungsi ekonomi. Kedelapan, fungsi Lingkungan. Ada dua nilai pendukung pada fungsi kedelapan yaitu, bersih dan disiplin (Flores Pos, 03/08/2019).
Semua nilai yang disebutkan tersebut tidak satupun yang berada di luar ajaran budaya lokal sehingga tuntutan penting dalam keluarga yaitu menanam nilai-nilai budaya lokal dalam diri anak-anak sejak permulaan.
Salah satu tujuannya yaitu untuk menangkal paham-paham radikalisme sebab budaya lokal merangkum semua orang tanpa melihat perbedaan-perbedaan khususnya agama samawi, maka celakalah mereka yang tidak mencintai ajaran budaya lokal.
Merevitalisasi Nilai Budaya Lokal
Sebelum seorang anak menginjakkan kaki ke dunia, orangtua tentunya sudah dikaruniai pengetahuan tentang nilai-nilai budaya lokal. Kehadiran budaya lokal menjadi salah satu instrumen penting dalam melengkapi peradaban manusia.
Namun, seiring berjalannya waktu, nilai-nilai budaya lokal – misalnya gotong-royong, alteritas dan masih banyak yang lain – mulai dicuekin oleh generasi-generasi baru.
Generasi baru yang nota bene berpendidikan mulai menilai budaya lokal sebagai sesuatu yang kolot tanpa pertimbangan yang masuk akal. Bahkan kalau mau jujur, kaum muda yang suka sekali “menghina” budaya lokal adalah mereka yang berpendidikan agama.
Entah karena alasan apa – minoritas manusia berpendidikan agama samawi cendrung melihat budaya lokal sebagai penghalang kesempurnan beragama. Padahal, kehadiran budaya lokal justru menjadi jembatan menuju persatuan dalam kebhinekaan atau yang lebih pasti menjadi intrumen bagi kita untuk mencintai bangsa dan negara indonesia.
Masalah persatuan bangsa merupakan patologi sosial yang terus-menerus memerlukan perhatian dan usaha yang efektif dan segala persoalan tentang keutuhan bernegara membutuhkan solusi lewat suatu strategi kebudayaan yang mampu membimbing proses modernisasi sehingga bisa menjaga dan memperkuat kepribadian nasional, kontinuitas kebudayaan demi kesatuan nasional yang kuat (Antonie van Peursen, 1976).
Tesis tersebut mesti selalu berakar dalam diri orangtua sehingga kemudian mampu ditransfer ke dalam otak dan hati anak-anak generasi milenial.
Argumentasi tersebut juga sebenarnya menampilkan suatu refleksi terdalam bahwa nilai-nilai budaya lokal warisan para pendahulu mesti selalu direvitalisasi.
Jika, hanya berpatok pada ajaran agama samawi yang diperoleh lewat membaca Kitab Suci dan belajar teologi niscaya perlahan-lahan terjadi disparitas sosial. Artinya, pemahaman tentang budaya lokal dengan segala teori kemanusiaan dan kebaikan yang terkandung di dalamnya mesti sungguh-sungguh diperhatikan mulai dari dalam keluarga juga dalam pendidikan-pendidikan khusus tentang agama.
Toleransi sejati selalu berawal dari nilai-nilai kebudayaan karena merupakan milik universal semua golongan tanpa pagar pembatas layaknya dogma-gogma agama samawi.
Kesejahteraan hidup beragama dalam bingkai toleransi sangat jelas terlihat di kampung-kampung sebab batu yang menjadi kekuatan membangun persatuan sudah ada dalam nilai-nilai budaya lokal.
Seharusnya, pemahaman lurus yang perlu diwariskan yaitu nilai-nilai budaya lokal menjadi infrastruktur beragama dalam kebhinekaan. Pandangan tersebut mesti menggerakkan semua pihak khususnya keluarga untuk memiliki pemahaman yang sama bahwa nila-nilai budaya lokal mesti selalu dijaga dan menjadi fondasi pertama peradaban manusia.
Ketika nilai-nilai budaya lokal disepelehkan dan dogma-dogma agama samawi selalu dilihat sebagai yang tersempurna, maka tidak akan ada lagi jembatan persatuan dan nasionalisme pada level nasional akan “kaco-balo”.
Nasionalisme akan terbentuk kuat jika insan penghuni bangsa ini belajar dari nilai-nilai kebudayaan lokal di kampung halaman sendiri tetapi jika kesombongan intelektual menguasai jiwa, niscaya toleransi dibakar api neraka.