JAKARTA, Vox NTT-Anggota DPR RI Komisi IV, Yohanis Fransiskus Lema menekankan peran penting negara dalam menindak tegas korporasi yang melakukan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Pasalnya tindakan yang tak bertanggung jawab tersebut tidak hanya menimbulkan kerugian bagi negara, tetapi juga mengancam ekosistem lingkungan serta keberlangsungan hidup makhluk ciptaan.
“Ada tiga aktor penting di sini terkait karhutla, yaitu negara, korporasi, dan masyarakat. Masyarakat yang menyebabkan karhutla bisa diberikan edukasi untuk tidak lagi melakukan. Edukasi penting agar masyarakat sadar bahwa membakar hutan jelas merusak alam. Pelaku harus dihukum agar jera. Tindakan tegas harus diberikan pada korporasi pelaku utama karhutla. Pertanyaan utama yang mesti dijawab, siapa aktor utama pembakaran hutan dan untuk tujuan apa?” ujar Ansy saat dialog bersama masyarakat dan Pemerintah Daerah Riau di Rimbo Panjang, Kabupaten Kampar, Kamis (7/11/2019).
Dalam kunjungan kerja bersama anggota Komisi IV tersebut, Ansy memaparkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang mencatat Riau sebagai propinsi dengan karhutla terbesar di wilayah Sumatra selama periode Januari-September 2019. Adapun total rekapitulasi karhutla sebesar 75.870 hektar.
Angka ini memiliki presentase 8,85 persen dari total luas lahan karhutla di Indonesia yang mencapai 857.756 hektar.
Melihat trendnya selama periode 5 tahun terakhir (2015 – 2019), lanjut Ansy, Riau masuk dalam lima provinsi terbesar yang mengalami karhutla dengan total 389.001,46 hektar.
Posisi pertama ditempati Kalteng dengan 773.385,25 hektar, disusul Sumsel dengan 727.651,97 hektar, Papua 680.748,12 hektar, dan Kalsel dengan 419.231,06 hektar.
Kebakaran di Riau tahun ini paling banyak terjadi di lahan gambut dengan total 40.553 hektar dan tanah mineral 8.713 hektar.
“Apa yang menjadi penyebab karhutla di Riau ini adalah adanya alih fungsi lahan dan deforestasi. Berdasarkan data Dinas Penanaman Modal PTSP Riau, luas kebun kelapa sawit di Riau tercatat 2,42 juta hektar. Luas kebun sawit ini lebih dari seperempat luas Provinsi Riau yang sekitar 8,7 hektar,” beber anggota DPR RI dapil NTT II tersebut.
Lebih jauh, Ansy menyebut, kebun kelapa sawit di Riau dimiliki masyarakat dan korporasi. Korporasi yang memiliki paling banyak lahan sawit terdiri dari korporasi skala nasional dan internasional.
Mirisnya, pada Mei 2019 lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat 1 juta hektar perkebunan kelapa sawit ilegal (tanpa ijin) dan meminta Pemprov Riau untuk menertibkan hal tersebut.
Selain itu, hingga Oktober 2019, KLHK telah menyegel 64 perusahaan yang terlibat karhutla dan tersebar di berbagai provinsi, termasuk Riau. KLHK juga menetapkan 5 dari 20 perusahaan asing sebagai tersangka karhutla. Selebihnya masih dilakukan proses penyelidikan.
“Negara harus tegas dan adil. Pemerintah mesti menindak tegas korporasi agar karhutla tidak menjadi agenda tahunan yang selalu terjadi. Kita harus bisa menghentikannya. Jangan ada kesan, negara kalah, takluk tak berdaya berhadapan dengan korporasi,” pungkas Ansy.
Selain mengenai penyegelan atau pembekuan izin, skala penegakan hukum yang perlu dilakukan sebagai efek jera adalah pemberlakuan denda.
Dalam hal ini, tegas Ansy, pemerintah harus bisa meminta dan menagih denda korporasi yang melakukan karhutla. Misalnya, KLHK menetapkan empat perusahaan asing tersangka Karhutla dengan total ganti rugi yang wajib dibayarkan sebesar Rp 3,15 triliun dan pemerintah baru menerima Rp 78 miliar.
Hal ini tentu saja membutuhkan langkah tegas dari pemerintah untuk bisa melakukan penegakan hukum dan sanksi tanpa pandang bulu.
“Jangan sampai negara terus menanggung kerugian hingga puluhan triliun akibat karhutla,” imbuh Ansy. (VoN)