Maumere, Vox NTT – Setelah bertahun-tahun tak terdengar, isu adanya dugaan pengeboman ikan kembali mencuat di Sikka. Kali ini diduga terjadi di Pantai Doreng, Desa Nenbura, Kecamatan Doreng, Kabupaten Sikka.
Adalah Mus Muliadi, salah satu warga Nenbura yang mengangkat persoalan tersebut dalam salah satu postingannya di group facebook ‘Suara Doreng’, pada 25 September 2019 lalu.
Saat dikonfirmasi oleh VoxNtt.com tak lama kemudian, Mus Muliadi membenarkan dugaannya tersebut.
Menurut salah satu tokoh pemuda Desa Nenbura tersebut postingannya bukan hoaks. Dirinya pernah mendengar bunyi letusan.
“Warga lain juga mengeluhkan hal serupa hanya mereka tidak tahu harus mengadu ke mana,” terangnya.
Menurut Mus, penggunaan bom merugikan nelayan yang selama ini mencari ikan dengan pukat dan pancing.
“Nelayan pukat dan mancing mengeluh, ikan jadi sensitif terhadap bunyi. Bunyi sekecil apa pun menyebabkan kumpulan ikan yang sedang bermain pun hilang,” tambahnya.
Akibatnya, hasil tangkapan berkurang drastis bagi mereka yang taat aturan.
Warga lainnya, Milianus Yan mengungkapkan hal serupa.
Yan yang tinggal langsung di pesisir Pantai Doreng, Desa Nenbura tersebut membenarkan adanya dugaan penggunaan bom atau pun potasium oleh oknum nelayan.
“Ada yang saya pernah tegur dan mereka berhenti ada yang masih keras kepala,” terangnya, Selasa (08/10/2019) lalu.
Menurut dia, penggunaan bom baru belakangan ini. Sebelumnya pelaku menggunakan potasium.
Ditambahkannya, di sepanjang pesisir Pantai Doreng, ada beberapa tempat bermain ikan.
Akan tetapi, beberapa tahun belakangan sudah sulit menemukan ikan di tempat-tempat tersebut.
“Dulu masih kecil kami mau tangkap ikan gampang saja. Cukup mencari di pinggir. Sekarang sudah susah. Harus dengan perahu jauh ke tengah laut,” terangnya.
Penelusuran VoxNtt.com pada sejumlah pihak, diduga ada 3 oknum nelayan yang menggunakan bom atau pun potasium untuk menangkap ikan. Mereka adalah P dari Desa Waihawa, B dari Desa Nenbura dan J dari Desa Natakoli.
DKP Sikka Lakukan Patroli
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sikka telah mendengar laporan adanya pengeboman ikan di pesisir selatan Kabupaten Sikka sejak beberapa waktu lalu. Akan tetapi, belum ada laporan dari Doreng.
“Kami memang menerima laporan tetapi itu dari Watudiran, kalau dari Doreng belum ada laporan,” terang Plt. Kepala DKP Sikka, Paulus Bangkur kepada VoxNtt.com di ruangan kerjanya pada Senin (21/10/2019) lalu.
Terkait laporan nelayan Watudiran pengeboman, ia menduga hal itu dilakukan oleh nelayan dari luar Sikka.
“Laporan yang kita peroleh itu nelayan dari luar, jadi bukan nelayan kita,” terangnya.
Pihaknya telah melakukan patroli terpadu yang melibatkan Polair, Angkatan Laut dan Dinas Perikanan.
Patroli ini fungsi utamanya adalah pencegahan dan pembinaan masyarakat nelayan, terutama di wilayah selatan dan sentra-sentra perikanan di wilayah utara.
Hal khusus yang dilakukan dalam patroli adalah pemeriksaan dokumen kapal dan pemeriksaan fisik kapal.
“Hasil pemeriksaan dari kapal-kapal yang diperiksa tidak ditemukan ada bahan berbahaya yang berkaitan dengan ilegal fishing tetapi ada laporan. Artinya ada soal selisih antara waktu dilakukannya patroli dan waktu mereka melakukan pengeboman,” tambahnya.
Lanjut Bangkur, sepengetahuannya praktik pengeboman ikan oleh nelayan Sikka sudah semakin sedikit. Tingkat kesadaran nelayan Sikka dinilai semakin sudah semakin baik.
Ancaman Pidana
Selain ancaman pidana, praktik ilegal fishing seperti pengeboman ikan atau pun potasium punya rantai sampai pada kesejahteraan nelayan.
Di satu sisi akan terjadi kerusakan ekosistim laut.
“Pengeboman akan merusak rumah ikan. Akibatnya, ikan berkurang, hasil tangkapan nelayan pun berkurang dan berdampak pada kesejahteraan nelayan,” terang Paul Bangkur.
Di sisi lain, penggunaan peledak dan potasium dalam penangkapan ikan memiliki konsekuensi pidana.
Berdasarkan penelusuran VoxNtt.com, Pasal 9 UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 2004 melarang penggunaan, kepemilikan, atau pun penguasaan alat tangkap dan atau alat bantu penangkapan ikan.
Selanjutnya, dalam Pasal 85 disebutkan ancaman pidana bagi kepemilikan, penguasaan, dan penggunakan alat tangkap atau alat bantu tangkap yang merusak keberlanjutan sumber daya adalah pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling besar Rp 2 miliar.
Kepemilikan bahan peledak juga bisa dikaitkan dengan UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Bahan Peledak. Pasal 8 menyebutkan ancaman penjara 6 tahun dan denda Rp 1,2 miliar.
Penulis: Are De Peskim
Editor: Ardy Abba