*) Cerpen Rian Tap
***
Sang Mentari menuntunnya ke ujung timur pagi itu, raganya merapal jalan temu. Menembus kabut tebal, di bawah pohon jati putih, yang berjajar rapat, menutup celah cahayanya. Mentari kian menyapanya dengan trik yang sedikit memanas. Mungkin itu sapaan terlaris diberikan.
Kakinya terus melangkah dengan penuh kepastian. Membaca yang tersirat dari Sang Mentari, yang menuntunnya pada ujung, mencari senyum ibu yang bersembunyi di balik cahaya terangnya mentari.
Ia terus berjalan ke ujung timur dengan mata terpejam dan desahan napas nan lembut. Jurang terjal pun dilaluinya tanpa keluh. Jurang dengan dinding batunya yang benar-benar menjulang sangat tinggi.
***
Ruang sempit dilewatinya pula, dengan keyakinan yang tak tergoyahkan, datang kepada Sang Mentari yang telah lama menanti. Dan hari itu ia pergi ke ujung timur, bukan saja karena melihat Sang Ibu menangis. Menangis yang bukan karena kesedihan dan bukan pula karena kemarahan.
Hari itu, tiba-tiba air mata suci Sang Ibu menetes bertubi-tubi tiada henti, semakin deras, tanpa satu kata pun sanggup mengungkapkan sebuah sebab dan tak ada satu pun yang sanggup menghapuskan tetesannya. Secarik tisu tak mampu mengahapus deruan rintik air matanya.
Dan saat air mata murni itu menguap ke atas, menjadi awan tipis dan titik-titik uap airnya membiaskan cahaya mentari, tiba-tiba terhamparlah spektrum warna indah pelangi, dan menunjukkan rupa sejati Sang Mentari, yang bersembunyi di balik cahaya terangnya pagi itu, yang keindahannya, mungkin saja sanggup menghentikan tangisan seorang ibu.
***
Benar, air mata ibu yang mengalir deras pun akhirnya berhenti, sesaat setelah rupa Sang Mentari datang dengan mahkota indahnya, yang memandang Bumi tiada berkedip, meskipun hanya sejenak.
Koronanya memang sungguh indah, sampai bibir pun menjadi kelu, tak sanggup memujanya dengan kata. Hanya rasa syukur tak terkira yang akhirnya memenuhi seluruh jiwa ibu, melihat sebuah refleksi kemurnian, kesucian dan keindahan yang sempurna dari Sang Penciptanya meski tanpa senyum.
Sang putra masih saja terus berjalan menyusuri hatinya, meski Sang Ibu tak lagi menangis. Ia terus menuju timur yang tak berujung. Dan menjeritkan kerinduannya pada senyum Sang Ibu, yang telah menanti di ujung cahaya mentari.
***
Namun, mendadak langkah kakinya tiba-tiba terhenti, tepat pada saat berada di ujung dunia yang tak terbatas. Matanya pun akhirnya melepaskan pandangannya tanpa batasan, menembus Sang Mentari yang bertahta agung, di balik cahayanya yang menyilaukan, yang menyembunyikan rupa sejatinya, dari mata telanjang makhluk bumi.
Dan sampailah akhirnya ia pada ujung cahaya mentari. Tapi di manakah senyum Ibu yang dijanijkan Sang Mentari padanya?
Ruang kosong tak menyimpan senyum Ibu. Ujung dunia pun tak menyelipkannya. Hanya Sang Mentari yang masih tersenyum tanpa jawaban. Bersama sebuah misteri yang ada pada korona indahnya hari itu.
Dan bila senyum itu memang tak ada di ujung dunia, maka biarlah kini Sang Putra mengangkat busurnya dengan ksatria. Membidikkan anak panahnya dengan mata terpejam, dengan sebuah harapan tersisa, meminta Sang Mentari memenuhi janjinya, mengembalikan senyum sang ibu di antara kedua lesung pipitnya.
Tiba-tiba suara langit bergemuruh tiada henti hari itu. Seluruh jiwa makhluk bumi pun bergetar hebat, tepat pada saat anak panah Sang Putra benar-benar bersarang pada inti pusat Sang Mentari.
***
Sebuah harapan mulia dari seorang putra pun akhirnya didengar sang Mentari. Setelah hujan, pasti ada terang. Maka, Sang Mentari pun akhirnya benar-benar datang dengan korona indahnya yang langka, kepada seorang putra yang ksatria, yang berhati luhur, dan setia menjaga ibunya, seperti Karna dan Arjuna, yang takkan pernah membiarkan setetes pun air mata suci sang ibu tumpah dengan sia-sia.
Tapi di mana senyum Ibu? Ruang kosong tak menyimpannya. Ujung dunia pun tak menyelipkannya. Hanya Sang Mentari yang masih tersenyum. Bersama sebuah misteri yang ada pada korona indahnya hari itu.
Maka, biarlah sebuah jawaban tanpa kata terlahir sempurna tanpa bias. Terhampar indah bersama hangatnya cahaya mentari, pada saat anak panah itu, tiba-tiba melesat kembali kepada empunya, menancap tepat di jantung dan hatinya, memurnikan kembali jiwanya.
***
Maka, senyum Ibu memang tak ada dimana-mana. Tak pernah hilang, meskipun hanya sekejap. Karena senyum Ibu, memang selalu berada di tempatnya. Kadang memang tak tampak, saat tangisan menyelimuti jiwanya. Namun, ketulusan dan jiwa nan murni, pastilah sanggup melihat senyum seorang ibu, yang memang tak pernah pergi dan tetap bertahta sempurna di relung hati Sang Putra. Seindah warna korona Sang Mentari hari itu.
***Penulis adalah pegiat sastra. Asal Lembor-Manggarai Barat. Tinggal di Ledalero-Maumere.