Oleh: Yuliani Tetin Naban
(Anggota Kelompok Tulis SMAK Seminari St. Yohanes Paulus II Labuan Bajo)
Entah apa yang mendorongnya, ibu berpesan kepadaku dengan suara yangagak rendah: “ Tan, hidup di zaman ini keras. Kamu harus mampu mengembangkan kreativitas dan menjaga diri dengan baik.”
Aku hanya berdiam diri dan melototi tangannya yang asyik memilah benang dan menggerakkan jarum dengan mengayunkan kedua kakinya di atas besi-besi mesin jahit.
Sejak kepergian ayah, ibu hanya mampu duduk di depan mesin jahit untuk menjahit baju-baju yang telah robek. Ibu juga menerima pesanan para pelanggan.
Hanya mesin jahit itulah yang menjadi peninggalan istimewa dari ayah. Pesannya itu membuatku sejenak merenung kembali perjalanan hidupku.
***
Ayahku didiagnosis kanker otak stadium akhir. Sudah empat hari aku menemaninya di rumah sakit. Ibuku juga telah beberapa hari tidak tidur karena harus menjaga ayah di rumah sakit.
Aku melihat keletihan terpampang jelas di wajahnya yang sudah mulai menua. Ibu hanya mengandalkan aku untuk mengurusi segala keperluan ayah.
Kebetulan tinggal dua minggu lagi aku akan memulai sekolahku. Kakakku yang laki-laki masih sibuk mengurusi proposal skripsinya.
Pagi jam lima, aku harus kembali ke rumah menggunakan sepeda ontelku untuk memasak makanan untuk ayah, ibu, dan juga untuk diriku sendiri.
Aku beruntung karena rumahku tidak terlalu jauh dari rumah sakit umum. Di kota kecil ini, pemerintah telah berbaik hati untuk membangun rumah sakit ini.
Ketika raja surya menunjukkan kegarangannya, aku harus berpacu dengan sepeda kembali ke rumah untuk memasak nasi.
Tatkala raja surya mulai menghilang di balik senja, aku kembali memacu sepeda ontelku. Biasanya aku membawa tas untuk menyimpan pakaian kotor milik orangtuaku.
Ketika ayah tertidur lelap aku dan ibu bersujud di depan patung Bunda Maria yang kusimpan di sudut kamar perawatan ayah.
Berharap untaian doa-doa kami menggerakan hati Sang Ada untuk melakukan mukjizat. Itu adalah harapan-harapan yang tak pernah pudar dari benakku.
Tak seperti biasanya, pagi ini ayah tidak menjawab sapaanku. Ia hanya menatapku dengan sedih. Matanya menampilkan sesuatu yang tak pernah kuharapkan.
Sebelum aku melangkahkan kaki untuk menjalani kewajibanku, ayah menarik tanganku dan berbicara dengan suara berat: “ Gapailah cita-citamu nak.”
Aku menggenggam tangan ayah dengan kuat sambil berbicara: “ Ayah jangan khawatir mengenai hal itu. Namun yang terpenting sekarang, ayah harus tetap kuat dan tegar supaya cepat sembuh.”
Dalam perjalanan menuju rumah, aku selalu termenung dengan kata-kata yang dilontarkan ayah. Otak kecilku membawa aku untuk mencari jawaban-jawaban yang mungkin aku temukan dalam kebimbanganku.
Ahhh, aku selalu berprasangka yang bukan-bukan. Sejak saat itu, aku selalu cemas. Tepat pukul 08.00 pagi, telepon genggamku berdering. Kecemasanku semakin menjadi-jadi.
Suara asing terdengar. “ Apakah ini dengan Intan.” “ Iya dengansaya sendiri.” jawabanku sedikit ragu-ragu. Kami dari pihak rumah sakit tempat ayah intan dirawat.
Ohh..iya, ada apa yah menelpon saya (tanya intan sambil menghela nafas). Adik intan, kami mau memberitahukan bahwa ayahmu telah tiada sejak 15 menit yang lalu.
****
Satu tahun setelah kepergian ayah, aku hanya berdiam diri di rumah. Aku hanya menemani ibu. Sejak aku menamatkan sekolah menengah atas, penghasilan ibu tak menentu.
Untunglah kakakku mampu membiayai hidupnya sendiri dengan prestasi yang ia raih di kampus. Sejak semester awal, kuliahnya dibiayai oleh pemerintah.
Orangtuaku bersyukur untuk hal itu. Namun aku tak mau berdiam diri. Aku selalu mencari cara supaya aku mendapat pekerjaan.
Aku tak mampu kuliah lewat jalur prestasi karena kemampuanku pas-pasan saja. Aku hanya mampu merangkai kata-kata puitis berkat keahlianku dalam membaca buku-buku sastra sewaktu aku masih di bangku SMA.
Dalam kebingunganku, tiba-tiba muncul pesan singkati di -ku. Aku ditawari suatu pekerjaan dengan gaji yang fantastis.
Kabar tersebut aku terima dari teman lamaku waktu aku mengenyam pendidikan sekolah menengah dulu. Karena diliputi kegembiraan, aku pun menerima tawaran tersebut karena aku membutuhkannya.
Meskipun aku tak tahu pekerjaan yang telah ditawarkan kepadaku. Seusai mendapatkan informasi tersebut, aku pun meminta restu dari orangtua.
Memang sulit bagi ibu untuk melepaskanku. Namun karena tekadku yang kuat, ibuku mengizinkan aku untuk pergi meninggalkannya seorang diri.
****
Sudah tujuh tahun aku berada di kota asing ini. Kemurnianku hilang. Akutak mampu berbuat apa-apa. Kebebasanku direnggut.
Jati diriku dirampas habis oleh kaum lelaki berduit. Mereka dikuasai nafsu birahi yang tinggi. Kekuasaan dan hartamenjadi incaran mereka.
Mereka tak pernah mendengarkan rintihan-rintihan orang-orang kecil. Hidupku hanya dalam kamar dan sel. Kami tak pernah diizinkan ke luar. Aku menyesal telah menerima tawaran dari temanku dulu.
Ternyata ia adalah orang yang tak pernah kusangka menjadi daftar orang yang kubenci. Aku tak pernah diberikan HP atau laptop. Mereka hanya memberikan makanan secukupnya.
Pekerjaanku setiap hari hanya merias diri dan menunggu pelanggan yang mau menikmati tubuhku.
Aku tak pernah mengharapkan ini. Aku berteriak minta tolong, namun itu hanya menjadi siulan burung yang tidak pernah didengarkan.
Aku menangisi keadaanku saat ini. Tubuhku seakan menjadi sumber uang bagi pengelola rumah ini.
Setiap hari aku ingin keluar dan lari menjauh dari tempat ini, namun kesempatan tak pernah aku dapat dan jalan pulang tak pernah aku temukan.
Aku ingin mengakhiri hidupku namun hati nuraniku tak setuju dengan keinginanku itu. Aku terlalu takut untuk melakukan hal sekeji itu.
Setiap malam sebelum aku beranjak tidur, aku selalu membayangkan wajah ayah. Pesannya masih terpatri di dalam lubuk hatiku.
Aku ingat akan perjuangannya selama hidup sebagai tukang kayu untuk menafkahi kami dan saat-saat menjelang kematiannya. Aku menangisi keadaanku.
Aku tak tahu bagaimana mewujudkan pesan ayah kalau aku selalu berada dalam rumah bobrok ini.
***
Aku membutuhkan waktu dua tahun untuk memulihkan segala diriku. Aku tinggal di suatu biara susteran untuk memulihkan kembali semua luka yang pernah aku alami selama ini.
Aku bersyukur karena berkat bantuan dari seorang perempuan yang baik, aku bisa keluar dari tempat bobrok itu dan pulang ke rumahku.
Sekarang keadaanku semakin membaik. Meskipun aku masih tak seutuhnya pulih, namun aku bisa menerima diriku apa adanya.
Sejak saat itu, aku memulai menata hidupku kembali. Aku berkenalan dengan banyak orang dan membangun sebuah komunitas.
Komunitas itu kuberi nama “ HARAPAN” Komunitas ini aku bangun, supaya setiap orang yang mengalami pengalaman seperti diriku tak pernahkehilangan harapan.
Komunitas ini juga menjadi wadah bagi orang-orang muda untuk mengembangkan kreativitas mereka dengan melakukan karya-karya yang menarik.
Malam ini meraih buku harianku yang sudah usang dan berdebu. Kembali aku raihpena tua di sudut meja di kamarku, dan mulai meluapkan apa yang saya rasakan dalam lembaran terakhir diaryku, “baru aku sadari, ternyata hidupku begini. Ternyata hidupku penuh dengan harapan, tapi aku tak pernah sadar akan harapan-harapan yang selalu saja datang. Rupanya aku begitu buta, dan tuli selama ini. Aku tak pernah menanggapinya. Aku menyesal dengan keegoisanku”.
Namun, kini aku sadar, akuhidup dan pulang sekarang karena aku terus berharap. Maka, bagiku, berharap akan sesuatu yang ingin saya gapai adalah langkah terbaik untuk menggapai tujuan itu. Niscaya itu akan berhasil dan akan menuai kebahagian.
Akhir dari kisahku, aku mau berbagi syair-syair bermakna yang kutulis dalam diary baruku:
“Langkahku tak pernah berhenti; Jejakku tak pernah hilang; Hilang bukan lenyap; Karena aku masih ada; Aku ada untuk kamu, itu aku, ya aku adalah harapan-harapan yang selalu menemanimu; Sampai kata sejahtera dan bahagia menghampiri dirimu, aku harapanmu tak akan meninggalkanmu sendirian”.