Oleh: Marianus Viktor Ukat
Mahasiswa Fakultas Filsafat – Unwira
Peradaban mutakhir ini membuat manusia semakin gempar dengan hadirnya teknologi. Teknologi menjadi sarang perjumpaan satu sama lain. Perjumpaan itu memberi ruang bagi siapa saja untuk saling mengetahui dan diketahui.
Tentu, segala sesuatu sudah dalam pantauan teknologi yang bermain secara teliti dan kreatif terhadap apapun yang terjadi dalam kehidupan manusia.
Karena itu, teknologi yang sekarang gempar membombardir manusia dewasa ini adalah Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan.
Sepertinya, AI ini menjadi penanda suatu zaman yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Namun, tidak dapat dipungkiri, teknologi AI membawa banyak perubahan yang secara komprehensif merubah gaya hidup seseorang dari waktu ke waktu, entah itu dalam hal positif ataupun negatif.
Secara masif, bukan hanya manusia yang mengalami tetapi lingkungan sekitarnya pun ikut berubah sesuai dengan kecanggihan teknologi ini.
Nampaknya, manusia dengan kehendak bebasnya cenderung membuat segala sesuatu sesuai dengan apa yang ia inginkan tanpa adanya dimensi filterisasi yang mumpuni dalam melihat konsekuensi dari perkembangan selanjutnya.
Inilah cara main teknologi yang acapkali disalahgunakan manusia ketika meng-googling sesuatu dalam teknologi.
Manusia dan Era AI (Artificial Intelligence)
Laju perkembangan dan pertumbuhan teknologi membawa manusia pada budaya baru. Budaya baru dewasa ini adalah AI (artificial intelligence) atau mesin cerdas.
Untuk itu, AI adalah novum dalam sejarah. Sederhananya, kehadiran AI tidak terpikir sebelumnya. Dan kebiasaan mencari (googling) seperti yang kita ketahui dilakukan seseorang ketika masuk dalam AI memberi harapan mewakili dirinya.
Secara praksis, AI merupakan bagian khusus dari teknologi yang orientasinya pada penerobosan diri perilaku kecerdasan buatan manusia.
Lantas, AI hadir membantu manusia dalam pekerjaannya. AI mampu membuat keberadaan diri seseorang untuk melihat, merasakan dan bahkan memaknai terhadap suatu informasi yang diketahui.
Karena itu, esensinya selalu menarik seseorang untuk semakin mencari dan terus mencari apa yang ditawarkan kepadanya sehingga membuat dirinya terus tergiur untuk menemukan finisnya.
Dari ini, penulis menyoroti bahwa mesin cerdas ini mungkin dapat menghilangkan keraguan informasi dan data tetapi tidak akan dapat menghapus ambiguitas makna bahasa yang diucapkan oleh suatu makluk.
Hal ini sepadan dengan yang dikatakan oleh Budi Hardiman bahwa memang ada mesin cerdas tetapi tidak ada mesin bijaksana yang mampu mengobati hati yang luka.
Jika pada zaman sebelum adanya teknologi seringkali manusia tidak menemukan apa yang diketahuinya dari konsep-konsep abstrak, kini secara sempurna AI marak menjadi hal yang diagung-agungkan.
Banyak ditemukan lapangan pengetahuan tanpa batas. Ironisnya, semakin besar kekuatan AI yang liar dan mampu menjawab pertanyaan seputar apa yang ingin diketahui.
Dunia dewasa ini memberikan kemudahan yang tergolong familiar. Manusia mulai masuk dalam penampilan dirinya sebagai seorang yang mampu menjadikan apapun yang dikehendakinya.
Di sisi lain, apapun dikehendaki mempunyai tantangan yang cukup memadai. Hal ini terlihat dari dasar eksistensi manusia yang selalu ingin mencari tahu dan tidak mudah puas akan hal yang diperkenalkan kepadanya.
Faktor ini yang membuat manusia selalu saja melakukan berbagai cara untuk menggapai apa yang diyakini sebagai akhir dari tujuannya.
Manusia dalam era AI yang membawa kebaharuan membuat dirinya kemudian mencari kebahagiaan dalam hidupnya.
Semakin besar keyakinan ini maka berujung pada kekebalan diri untuk mengonsumsi AI yang adalah senjata ampuh melawan keburukan bahkan kejahatan dalam dirinya dan lingkungan sekitarnya.
Akan hal inilah kemudian mengintimidasi seseorang untuk selalu mempertanyakan dirinya; apa tujuan hidup saya? Apa yang harus saya lakukan dan apa yang menjadi pegangan saya dalam menjalani hidup ini.
Hemat penulis, seakan-akan seseorang merekonstruksi apapun dalam AI agar memperoleh kemenangan yang mutlak.
Mencari (Googling) dan Privatisasi
Dunia sekarang lebih terlena untuk hidup yang instan bersentimen. Sejak awal kemajuan teknologi selalu memberikan pesona yang indah, mahal, bahkan manifestasinya membawa kebahagiaan.
Dalam bahasa saat ini disebut sebagai teknofilia. Teknofilia menunjukkan keberadaan diri manusia untuk memastikan mana jalan yang dilalui sesuai dengan intuisi dalam dirinya.
Jika yang dirasakan adalah sesuai dengan ekspetasinya maka AI membantunya untuk mendapatkan apa yang diinginkan.
Sebaliknya, jika perasaan yang ditimbulkan adalah kekecewaan maka akan melahirkan kebencian bagi sesamanya.
Kebiasaan inilah yang membuat manusia semakin mencari mana keberadaan diri yang cocok bagi jati dirinya. Oleh karena itu, semakin banyak budaya yang berkembang, manusia semakin melupakan keberadaan dirinya.
Semakin besar kekuatan teknologi, semakin besar pula kejahatan yang terjadi. Kekhawatiran awan gelap manusia barangkali menyimpan kekacauan yang mengerikan (teknofobia).
Demikian hal inilah kemudian membuat seseorang menghadapi tantangan sekaligus rintangan yang datang silih berganti. Banyak intensi diri yang tergolong rendah, tentunya.
Berbagai litani kehidupan yang dialami seseorang mulai redup karena budaya ini. Ketika masuk dan men-googling di dunia AI, seseorang semakin terpesona dengan visualitas dan keunikkan yang diberikan kepadanya bahkan menjawab persoalan dalam dirinya.
Untuk itu, melalui bentuk keunikan ini manusia kini mulai memperhitungkan dirinya sejauh mana dirinya mampu mencari kebahagiaan dalam hidupnya.
Maka, hal privat pun dicari dalam keterangan dan ketentuan yang ada dalam AI. AI seakan-akan memberi jawaban atas ketidaknyamanan yang terjadi dalam dirinya.
Hal-hal privat kemudian menjadi salah satu problem yang serius untuk diberi asupan. Kecenderungan yang terjadi, masalah privat seringkali terumbar-umbar secara terus terang secara berlebihan di media sosial (medsos).
Bagi mereka hal ini adalah suatu bentuk gaya yang perlu diperlihatkan agar semua orang tahu apa yang dirasakan. Padahal, cara ini menunjukkan eksistensi diri yang menghamba pada teknologi.
Privatisasi ditenggelamkan oleh teknologi. Justru seharusnya yang terjadi adalah teknologi hadir memudahkan pekerjaan seseorang, komunikasi tentunya.
Seperti yang dikatakan oleh filosof Martin Heidegger (1889-1976), manusia berada dalam situasi yang mengherankan karena sesungguhnya apa yang diciptakan manusia untuk menguasai dunia justru menjadi sulit dikuasai bahkan tidak mampu dikuasai.
Ironisnya, menurut Heidegger, apa yang kemudian dihasilkan oleh manusia untuk menguasai dunia, kini kembali mengusai manusia. Manusia terpenjara dalam hiburan AI (artificial intelligence).
Maka inilah kemudian menyoroti rincian privat seseorang dalam janji-janji teknologi. Penulis menggarisbawahi, kehadiran AI mempromosikan sesuatu yang instan sehingga akal budi manusia bekerja secara pasif dan terjadinya kekerdilan intelektual dalam mengonsumsi suatu informasi.
Adapun ketika seseorang semakin mencari sesuatu di dalam AI, ia turut menggantikan dirinya menjadi alat bagi AI. Sebenarnya yang harus terjadi adalah seorang harus menggunakan AI sebagai alat untuk membantu proses kegiatan dalam kesehariannya.
Krisis Rasionalitas
Menghadapi mentalitas kebiasaan mencari (googling) di dalam AI yang tergolong rendah, perlu bagi setiap pribadi untuk menyadari penuh akan gaya hidup di tengah zaman ini.
Karena itu, muncul pertanyaan sederhana; bagaimana cara kerja AI? Banyak dari manusia saat ini malah tidak menyadari akan hal ini sehingga mudah terhibur dengan nyaman dan merasa aman.
Namun perlu ditinjau akan keaslian dari AI. Ratio atau cara berpikir menjadi masalah urgen yang miris bila kurang memverifikasi maksud dari AI.
Lantas, manusia semula yang divalidasi sebagai homo sapiens kini menjadi homo digitalis. Dinamika ini cenderung disalah-artikan demi ego semata.
Hakikatnya, sekarang ini manusia dengan berbagai status yang diberikan adalah alat saja. Segala sesuatu yang terjadi dalam teknologi (AI) memberi kesempatan untuk memberdayakan bagi keberadaan dunia sekarang ini.
Maka, pola pikir masing-masing orang harus melihat dan menemukan arti penting mewujudkan cita-cita awal teknologi.
Teknologi seharusnya dipakai sebagai alat untuk mempermudah bukan menindas bahkan menewaskan. Banyak peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini mengoperasikan diri kita yang salah kaprah demi kenikmatan semata.
Berbagai kejadian inilah kemudian semakin berkembangnya ilmu teknologi mengakibatkan perilaku keburukkan semakin naik di dalam kehidupan sehari-hari lalu menyebabkan krisis moral dan etika.
Di sisi lain, kemajuan teknologi membuat kalkulasi kepribadian hidup manusia yang dicatat dan disimpan dalam data digital sehingga dapat memanipulasi data dan fakta.
Big data AI selalu berlaku bersentimen bijak membawa manusia pada konsep otensitas dalam memahami identitasnya.
Dengan kata lain, kita sedang dan selalu terus diawasi oleh kemajuan AI. Krisis ratio dalam AI menyebabkan pereduksian diri yang malang.
Maka perlu bagi kita untuk menguasai diri dengan mengasa pola pikir (ratio) dan memverifikasi sistem informasi sebagai jalan tengah dengan memoderasi gaya hidup yang berkualitas atas AI.
Edukasi AI (Artificial Intelligence)
AI (artificial intelligence) menentukan kehidupan manusia dewasa ini yang mengaburkan identitas manusia sebagai makluk berpikir dan memahami (homo rationale).
Manusia memiliki ketergantungan pada AI yang pada akhirnya diperbudak. Karena itu, sangat perlu diperhatikan cara pandang dalam melihat nilai kegunaan.
Terobosan ini membantu kita menemukan arti penting dalam meng-googling pada AI. Maka, etika menjadi standar yang perlu dilakukan dalam memanfaatkan teknologi.
Etika menunjukkan bahwa seseorang harus mewujudkan kebaikan dan menghindari kejahatan yang terjadi. AI sudah menjadi keseharian manusia.
Lantas, dalam berteknologi dibutuhkan sikap dan perilaku yang seimbang untuk mengambil keputusan dengan bijak, selektif dan bertanggungjawab.
Hal lain yang diperlukan menghadapi teknologi yang kian berkembang adalah pentingnya pendidikan yang berbasis teknologi.
Tentunya, jarang bahkan tidak ada mata pelajaran yang secara khusus diajarkan di berbagai institusi, khususnya sekolah-sekolah.
Pendidikan AI harus dilakukan agar setiap anak-anak yang adalah masa depan bangsa mampu mengontrol dan beradaptasi dengan cerdas-merdeka dan bijak di tengah tantangan teknologi.
Seperti yang dikatakan oleh Neil Postman, bahwa perkembangan kecanggihan teknologi sudah ada dalam kehidupan manusia, yang perlu dilakukan manusia adalah menggunakan teknologi sesuai dengan kebutuhan.
Karena itu perlu bagi kita melakukan apa yang disebut sebagai edukasi teknologi. Dalam hal ini bukan kita “anti” terhadap teknologi tetapi “kritis” terhadapnya.
Jelas bahwa dengan ini kita dapat meminimalisir budaya googling yang kerap menjerumuskan orang untuk lebih terpaku pada budaya menonton teknologi tanpa memperhatikan kehidupan sekitar yang kenyataannya harus terlebih dahulu diutamakan agar terciptanya kehidupan yang saling melengkapi dan menolong sesama yang menderita.
Kualitas ratio kita tergantung bagaimana memilah dan mendeskripsikan tawaran yang mana memberi pengaruh positif dan negatif agar kepribadian diri tetap bertumbuh dan berkembang menjadi jati diri yang unggul, cerdas dan kritis terhadap AI.
Oleh karena itu, kita perlu memvalidasi dan memverifikasi pengetahuan yang dihasilkan oleh sistem AI.