Kupang, Vox NTT- Gloria Stefani Lalay, demikian nama bayi cantik yang lahir dalam keluarga sederhana dari pasangan suami istri (Pasutri) Yandri Max Lalay dan Siti Hanifa, warga RT/RW: X/V, Kelurahan Kelapa Lima, Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), 26 September 2017 lalu di kediaman kedua orang tuanya.
Gloria Stefani Lalay adalah nama cantik yang disiapkan ayah, jauh sebelum anak kesayangannya lahir ke dunia. Kelahiran Gloria tentu saja menjadi kerinduan yang terus dinantikan suami istri yang berprofesi sebagai penjual ikan di pinggir pantai pasir panjang, kelapa lima itu.
Pagi, tanggal 26 September adalah jawaban atas kerinduan mereka dan segenap keluarga, dimana doa mereka dikabulkan-Nya, ade Gloria lahir ke dunia. Namun kebahagian di antara keduanya mesti dirayakan dengan tangisan penuh air mata pilu, karena kondisi anak mereka yang lahir tidak normal.
Tak seperti ketiga kakaknya, dia hadir dengan membawa beban kesedihan. Gloria menderita kelainan, kelainan yang jarang sekali terjadi.
Anencephaly
Anencephaly adalah kelainan yang diderita oleh bayi mungil Gloria yang saat ini sedang dalam perawatan intensif di Rumah Sakit S K Lerik, Kota Kupang.
Seperti apa Anencephaly yang diderita Gloria? Simak penjelasan dokter spesialis anak, dr. Putu Mas Vina Paramitha C, Sp.A yang tangani Gloria saat memberikan penjelasan kepada media ini, Rabu (5/10/2017) di RS S K Lerik.
“Ada beberapa kelainan yang terdapat pada bayi tersebut. Kelainan yang paling menonjol terlihat yaitu, bayi mengalami kelainan bawaan di bagian otak atau kepalanya dimana kelainan itu namanya anncephaly,” kata dokter cantik yang biasa disapa Vina itu.
Anencephaly merupakan kelainan bawaan lahir yang mengakibatkan bayi tidak memiliki beberapa bagian dari tengkorak dan otak. Bayi yang lahir dengan anencephaly memiliki masa hidup yang sangat rendah, bahkan kebanyakan keguguran sebelum lahir kebanyakan bayi dengan persentasi sebanyak 75% akan mengalami keguguran.
Anencephaly merupakan kelainan yang sangat serius yang mengenai sistem saraf pusat. Biasanya Cerebrum (Otak besar) dan Cerebellum (otak kecil) akan berkurang ukurannya atau tidak terbentuk sama sekali.
Tipe kelainan kongenital (cacat bawaan) ini ialah gangguan tuba neuralis. Kondisi ini terjadi ketika tuba neuralis gagal untuk menutup pada beberapa minggu pertama pada perkembangan janin.
Tuba neuralis merupakan lapisan sel yang akan berkembang menjadi otak dan medulla spinalis. Anencephaly terjadi apabila bagian atas tuba neuralis tidak menutup.
Karena kegagalan dari tuba neuralis untuk menutup, perkembangan otak akan terekspos ke air ketuban yang mengelilingi fetus di rahim. Paparan ini menyebabkan jaringan sistem saraf mengalami degenerasi atau rusak.
Hal ini menyebabkan bayi lahir tanpa otak bagian dari otak yang mengatur fungsi berpikir, fungsi pendengaran, fungsi penglihatan, fungsi emosi dan fungsi koordinasi pergerakan. Bagian otak lainnya biasanya tidak tertutup oleh tulang atau kulit.
Karena abnormalitas sistem saraf yang sangat berat, hampir semua bayi yang menderita anencephaly meninggal sebelum lahir atau dalam beberapa jam atau beberapa hari setelah lahir. (Sumber: Hamil.co.id-Pregnancy Studies & Reasearch Center)
Menurut dokter Vina, selama 3 (tiga) bulan dia bertugas di RS Kota itu baru pertama kali menangani bayi Anencephaly. Dia juga menyampaikan jika sebelumnya tidak penah menemukan bayi yang lahir dengan kelainan bawaan seperti yang dialami Gloria itu.
“Belum pernah menangani kasus seperti ini di kupang, kerena ini rujukan dari rumah sakit kota, Sehingga sebagai dokter anak saya baru pertama kali dapat kasus seperti ini,” tuturnya.
Langka
Menurut Vina, kasus-kasus seperti ini sangat langka dan jarang sekali terjadi, bahkan di dunia. Dia menjelaskan, frekuensi kasusnya itu satu dari seribu kelahiran. Rata-rata kasus ini bisa terdiagnosis saat masih dalam kandungan atau bisa juga baru terdiagnosis saat dia keluar atau saat dia dilahirkan.
Vina melanjutkan, bayi yang mengalami kasus ini tidak dapat bertahan hidup karena kelainan pada otaknya yang sangat berat, bahkan mayoritas bayinya sudah meninggal dalam kandungan.
Namun dokter berdarah bali ini menyampaikan dalam beberapa kasus ada bayi yang hidup namun Cuma bertahan beberapa hari saja.
“Ada beberapa kasus yang saya baca di beberapa literatur yang memang dia sempat hidup beberapa hari dan hampir 90% kasus itu memang hidupnya mungkin hanya bertahan beberapa jam sampai satu dua hari,” jelasnya.
Berkaitan dengan Gloria yang bertahan hidup hingga seminggu lebih, Vina menjelaskan karena ukuran otak Gloria saat lahir itu besar dan batang otak sebagai pusat pernapasannya masih baik.
“Kemungkinan hidup memang dia, karena ukuran otaknya waktu lahir itu memang besar. Kemudian dia batang otak, atau pusat pernapasan dia punya masih baik, sehingga dia masi bisa bernapas. Yang membuat hidup itu bernapas dan jantung,” terang Vina.
Tetapi, Vina menambahkan, seiring dengan ukuran otaknya yang semakin kecil maka kemungkinan untuk bertahan hidup akan semakin kecil. Kata dia, bayi yang lahir normal ukuran otaknya membesar seiring dengan bertambahnya ukuran kepala sementara Anencephaly cenderung sebaliknya.
Walau masuk kategori kasus yang langka dan sangat sulit ditangani, Vina mengaku pihaknya terus berusaha memberikan pelayanan terbaik pada bayi tersebut, sesuai kebutuhannya.
“Kami melakukan penanganan secara suportif, yaitu memberi apa yang dia perlukan. Pertama yang dia perlukan mungkin untuk pernapasan, pada awal kami memberikan oksigen, tapi sampai saat ini kerena pernapasan sudah baik dan oksigen kami sudah lepas. Kemudian untuk nutrisi, anak ini sudah diberikan infus pada waktu awal. Seiring dengan pencernaan semakin baik, kami berikan cukup dia minum ASI dan susu. Sekarang infus sudah tidak diberikan karena sudah dapat minum dengan baik tetapi melalui selang yang dipasang dengan melalui mulut, menuju ke lambungnya,” akunya.
Belum Ada Operasi Tempurung
Hal ini kata dia, karena bayi punya organ untuk masukkan susu juga tidak terbentuk dengan sempurna. Pasalnya, banyak kelainan dari bayi itu yang susah ditangani. Vina juga mengaku sudah berkonsultasi dengan dokter ahli bedah saraf di Jakarta, namun selama ini di Jakarta belum pernah ada penanganan kasus seperti itu lantaran mati sebelum dilahirkan.
Untuk operasi pembuatan tempurung kepalapun, menurut Vina resikonya lebih besar jika dibandingkan dengan keselamatan bayi tersebut. Kerena kondisi bayi sangat tidak memungkinkan untuk dilakukan operasi.
Jika dipaksakan, dia (bayi) bisa meninggal dalam hitungan jam sampai satu hari, karena sampai saat ini di Indonesia tidak ada operasi tempurung kepala.
“Kalaupun dilakukan operasi, kita harus menimbang resiko-resiko dari kelayakan operasi itu. Bayi itu layak atau tidak dioperasi dengan kondisi klinis yang sangat buruk, itu lebih banyak resiko kematian dibandingkan dengan keberhasilan opersai,” terangnya. (Tarsi Salmon/BJ/VoN)