Ruteng, Vox NTT- Stunting (badan pendek) merupakan salah satu bentuk gizi kurang yang ditandai dengan indikator tinggi badan menurut umur.
Periode yang paling kritis dalam penanggulangan stunting dimulai sejak janin dalam kandungan sampai anak berusia 2 tahun yang disebut dengan periode emas atau seribu hari pertama kehidupan.
Demikian disampaikan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai, Yulianus Weng kepada wartawan dalam diskusi yang diselenggarakan LSM Ayo Indonesia, bertema Pangan dan Gizi di Spring Hill Resto, Senin (18/12/2017).
“Kalau selama dalam kandungan gizi bayi kurang diperhatikan, maka 2 tahun sejak dia lahir adalah masa yang Tuhan berikan kepada kita untuk memperbaiki gizi dari sang bayi. Karena kalau selama 2 tahun itu tidak diperbaiki maka sepanjang hidup itu akan susah diperbaiki,” ujarnya.
Dia menjelaskan upaya memperbaiki gizi dan kesehatan ibu hamil merupakan cara terbaik dalam mengatasi stunting. Untuk itu, ibu hamil perlu mendapat makanan bergizi. Apabila kurang bergizi, maka perlu diberikan makanan tambahan.
“Setiap ibu hamil itu perlu mendapat tablet tambah darah. Yang kelirunya selama ini, tablet tambah darah yang diterima dikasih lagi oleh ibu hamil kepada suaminya. Padahal itu untuk dia dan janin dalam kandunganya,” tegas Weng.
Lebih lanjut dia mengatakan bahwa untuk mengetahui status stunting seorang bayi, petugas kesehatan yang membantu persalinan tidak hanya menimbang berat badan, tapi juga harus mengukur panjang badan bayi itu sendiri.
“Biasanya kalau lahir, bayi hanya ditimbang berat badan, tapi panjang badan tidak diukur. Padahal, itu menjadi indikator, stunting atau tidak. Menurut standar WHO, panjang badan untuk bayi laki-laki minimal 48 centimeter sedangkan (bayi) perempuan 45 centimeter. Kalau di bawah itu ya stunted,” jelasnya.
“Memang selama ini masih banyak petugas kesehatan kita yang belum mengetahui ini. Tapi, dalam waktu dekat kita akan sosialisasikan,” katanya.
Dia menegaskan stunting itu berhubungan dengan gizi. Faktor gizi ibu sebelum dan selama kehamilan merupakan penyebab tidak langsung yang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan perkembangan janin.
Ibu hamil dengan gizi kurang, lanjut Weng, akan menyebabkan janin kurang gizi sehingga bayi yang akan dilahirkan mengalami kekurangan gizi dan menderita gangguan pertumbuhan dan perkembangan.
“Ibu memegang peranan penting dalam mendukung upaya mengatasi masalah gizi, terutama dalam hal asupan gizi keluarga, mulai dari penyiapan makanan, pemilihan bahan makanan, sampai menu makanan,” tegasnya.
“Ibu yang memiliki status gizi baik akan melahirkan anak yang bergizi baik. Kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan pangan baik dalam jumlah maupun mutu gizinya sangat berpengaruh bagi status gizi anak,” tambahnya.
Senada dengan Kadis Weng, Ketua LSM Ayo Indonesia, Tarsi Hurmali mengatakan anak-anak yang mengalami hambatan dalam pertumbuhan disebabkan kurangnya asupan makanan bergizi.
“Anak-anak yang mengalami stunted lebih awal yaitu sebelum usia enam bulan, akan mengalami stunted lebih berat menjelang usia dua tahun. Stunted yang parah pada anak-anak akan terjadi masalah jangka panjang dalam perkembangan fisik dan mental sehingga tidak mampu untuk belajar secara optimal di sekolah, dibandingkan anak-anak dengan tinggi badan normal,” jelasnya.
“Stunted akan sangat mempengaruhi kesehatan dan perkembanangan anak. Faktor dasar yang menyebabkan stunted dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan intelektual. Hal ini memberikan konsekuensi terhadap kesuksesan anak dalam kehidupannya dimasa yang akan datang,” tambahnya.
Dia mengemukan berdasarkan penelitian, anak-anak yang mengalami stunting sudah mengkonsumsi makanan yang berada di bawah ketentuan rekomendasi kadar gizi.
“Pengaruh gizi pada anak usia dini yang mengalami stunted dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan kognitif yang kurang. Jadi, menurut saya pernyataan Menteri Pendidikan terkait mutu pendidikan di NTT ada kaitan dengan ini,” ujar Hurmali.
Untuk mencegah stunting, dia menganjurkan beberapa cara, antara lain menghindari pemberian makanan buatan kepada anak untuk mengganti Air Susu Ibu (ASI) sepanjang ibu masih mampu menghasilkan ASI.
“Mulai usia 6 bulan, selain ASI bayi diberi makanan pendamping ASI. Pemberian ASI terus dilakukan sampai bayi berumur 2 tahun atau lebih. Juga, perilaku hidup bersih dan sehat harus diupayakan oleh setiap rumah tangga,” imbuhnya.
Kontributor: Ano Parman
Editor: Adrianus Aba