Ruteng, Vox NTT- Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Salestinus mengatakan peristiwa penyanderaan dan pembunuhan 6 anggota Polri di Mako Brimob dan bom bunuh diri di beberapa gereja di Surabaya, harus menjadi catatan penting bagi Pemerintah dan DPR agar segera merevisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Soalnya, Undang-undang tersebut sudah tidak mampu lagi menjawab tantangan zaman dan kebutuhan operasional aparat keamanan di lapangan.
Bahkan, menjadi penghambat dalam tugas operasional, terutama ketika aparat menindak gerakan kelompok teroris yang hendak melakukan aksi teror.
Padahal, sejak peristiwa serangan bom di Kawasan Sarinah, Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat pada tanggal 14 Januari 206 lalu, Polri, TNI dan BIN sudah meminta agar revisi Undang-undang itu dipercepat.
“Kemampuan dan kecepatan bertindak para teroris lebih canggih dari pada daya jangkau aparat menurut UU No.15 Tahun 2003 yang menjadi pijakan aparat penegak hukum kita. Namun, DPR seolah-olah menyandera proses revisi ini pada perdebatan untuk hal-hal yang tidak substansial,” kata Salestinus melalui press release-nya yang diterima VoxNtt.com, Selasa (15/05/2018).
“Siapa yang harus disalahkan dari sikap tarik ulur pembahasan atas sejumlah ketentuan atau pasal di dalam revisi UU No.15 Tahun 2003? Tentu DPR menjadi biang masalah. Karena pembahasan di DPR memakan waktu berlarut-larut akibat perbedaan kepentingan dan cara pandang, sehingga revisi UU No.15 Tahun 2003 mengalami kelambatan bahkan telah banyak memakan korban jiwa,” tegasnya.
Menurut Salestinus, tarik ulur pembahasan revisi Undang-undang itu mengindikasikan adanya kekuatan radikalisme dan intoleransi di DPR.
Bahkan, sejumlah partai politik diduga kuat menempatkan kader-kadernya yang berorientasi pada radikalisme, sehingga produk hukum yang dihasilkan cenderung memberi ruang bagi perkembangan radikalisme dan intolernasi.
“Tidak itu saja, di internal Polri dan Intelijen pun secara langsung atau tidak langsung, patut diduga pengaruh paham radikal dan intoleransi telah terjadi, sehingga munculnya peristiwa pengrusakan, penyanderaan dan pembunuhan terhadap anggota Brimob oleh napi teroris di Rutan Mako Brimob, disusul dengan peristiwa bom di Surabaya sebagai pertanda kelengahan bahkan ada yang menyatakan sebagai suatu kelalaian aparat keamanan dengan segala fungsi dan kewenangan yang dimiliki,” tukas Salestinus.
“Dengan kata lain bahwa di kalangan oknum aparat keamanan diduga telah berkembang benih-benih radikalisme yang memunculkan loyalitas ganda atau perilaku memihak kepada gerakan radikalisme dan intoleransi dengan memanfaatkan kelemahan UU No.15 Tahun 2003,” tambahnya.
Kontributor: Ferdiano S. Parman
Editor: Adrianus Aba