Oleh: Pius Rengka
Kelana, atau ziarah. Itu takdir manusia. Kita berkelana di mana? Di padang kehidupan. Sampai di mana? Hingga nanti sampai di sana. Manusia diiringi kawanan hewan lainnya. Berziarah dalam ruang dan waktu.
Lalu ada yang tanya. Kapan zaman yang terakhir itu berakhir? Zaman yang terakhir itu berakhir pada akhir zaman.
Kawanan hewan berziarah juga. Para hewan bawa bekal. Naluri dan perangkat bawaannya masing-masing. Harimau, misalnya. Ia dilengkapi taring nan tajam. Tubuh kuat perkasa. Dia survive. Harimau sanggup melesat dengan kecepatan melampaui mangsanya. Pilihan mangsa pun sepertinya sudah teratur. Jelas!
Halnya berbeda dengan manusia. Manusia punya akal dan kehendak bebas. Akal itu bekal (via ticum) ziarah. Tujuannya jelas. Langkah-langkah mencapai tujuan pun jelaslah adanya. Manusia memanggul peradaban, sekaligus percaya pada satu hal di masa akhir ziarah hidupnya.
Manusia jelas beda dengan hewan. Manusia lain dari anjing, babi, monyet. Meski rupa manusia tampak setingkat di atas monyet, toh tetap lain. Manusia itu sejenis keturunan kera ganas. Tampak fisik berbeda manusia di satu tempat dengan tempat lainnya di bumi ini. Ada orang kulit putih, ada pula kulit hitam legam nyaris sempurna.
Ada orang pernah kulihat. Hitamnya luar biasa. Nyaris tak tampak dalam keremangan petang. Rambutnya pun lain dengan punyaku. Memang, akan selalu ada jenis rambut yang sulit sekali diorganisir entah dengan sisir jenis apa pun. Tetapi manusia tak kurang akal. Manusia menciptakan metode rebonding. Rambut keriting direbonding. Kian direbonding kian memperumitkan hidup pemilik rambut. Sementara orang lain, rambut ditata gampang-gampang. Ditata seturut imajinasi dan impian pemilik rambut.
Soal jenis kelamin rupanya sama. Meski kelamin dari satu bangsa dengan bangsa lain bentuknya sama di semua tempat, tetapi manusia tak sanggup meminta kelamin baru, manakala dia bosan dengan kelamin lama. Ganti kelamin seturut suka sudah susah entah sampai kapan.
Manusia tak perlu galau dengan kelamin terberi. Ras dan warna kulit juga begitu. Semua itu disebut given Ilahi. Keriting baik, putih hitam kulitku indah jua. Tak patut iri pada mereka yang berambut lain. Kita ini memang lain-lain.
Namun, perihal manusia tak pernah tuntas diulas. Sejak Yunani antik, dilanjutkan pada periode aufklarung, hingga era past postmodern. Manusia dibidik entah oleh siapa dengan latar belakang studi apa.
Sebutan atas manusia pun berwarna warni. Homo sapiens, homo faber, homo economicus, homo politicus, homo socious dan masih banyak lagi. Tetapi, ada hal yang tampak telah jelas untuk semua kelas.
Manusia itu, pasti mahluk budaya, etik dan mahluk moral sekaligus. Dalam banyak urusan, manusia mesti bertutur dan berkelakuan. Ada dua hal utama jadi keutamaan.
Pertama, manusia bertindak, berbicara karena perintah akal (sehat atau sakit). Tugas akal, mencermati masukan (index), menimbang (vindex) dan memutuskan (judex). Untuk bersikap, dan bertindak akan selalu dituntun tiga hal itu dan selalu berputar begitu saja di situ. Siklus itu, melahirkan tradisi. Tradisi bermetamorfosa menjadi budaya atau kebudayaan. Maka tutur kata, tingkah lakunya memantulkan budaya, etiket, etika dan moralnya.
Sikap moral, tindakan etika dan etis bukan tanpa batas. Batas tindakan moral dibatasi ukuran baik buruk benar salah. Begitupun tindakan etis, ditentukan cara bertindak yang benar dan baik. Benar salah baik buruk tindakan merupakan hal biasa dalam menata relasi antarsesama manusia.
Sikap moral, tindakan etis hanya mungkin ada dan tampak melalui relasi dengan yang lain. Di dalam dan melalui ruang itulah pula manusia berdinamika memancarkan mutu dan nilai pribadinya. Makin baik dan benar tindakan dan tutur katanya, makin tinggilah pula kehormatan dirinya bahkan kian purnalah pula martabatnya. Sebaliknya, makin buruk dan salah kelakuannya, kian rendah peringkat kehormatannya dan jelas rendahlah pula martabatnya.
Manusia terhormat itu adalah manusia yang sanggup mengutamakan kebaikan dan kebenaran dalam relasinya bersama dan melalui orang lain.
Lalu, siapakah orang lain itu? Orang lain adalah seseorang yang memiliki kelainan. Kesanggupan kita menerima orang lain dengan aneka kelainan itulah sebagai pantulan dari penilaian atas diri sendiri. Filsuf Perancis, Paul Ricour berkata, diri sendiri sebagai orang lain, one self as another.
Kedua, tindakan dan tutur kata manusia didorong konteks kelakuan umum yang berlaku di satu tempat, pada satu masa.
Memang agak mudah membedakan antara adat istiadat yang melahirkan etiket (lokalistik) dan mahluk tanpa etiket.
Etiket memproduksi rasa malu dan peradaban. Manusia tahu malu dan beradab. Norma-norma kebaikan umum melahirkan etika (universal) dan memproduksi tindakan pembeda yang membedakan dirinya sendiri dengan orang lain dalam takaran baik dan benar.
Manusia baik atau orang baik diklaim pasti berbuat baik dan benar. Sebaliknya orang jahat selain berujar buruk dan selalu memproduksi keburukan, juga kerap dengki kepada sesamanya. Maka, menjadi jelas bagi semua pihak. Mana orang baik mana pula orang jahat. Biasanya, orang-orang baik dihormati karena mereka selalu berbuat baik dan benar.
Di tengah dinamika itulah, manusia berkepentingan dengan kehormatan diri karena kehormatan sebagai nilai. Sebagai kata benda kehormatan merupakan satu dari delapan nilai yang didambakan manusia, kata Ilmuwan Politik Harold D. Lasswell.
Tetapi, kehormatan selalu diletakkan pada konteks. Manusia tidak pernah hadir dalam ruang dan waktu yang kosong. Di dalam ruang dan waktu itu, kata “kehormatan” selalu ada perspektif. Perspektif mengalami perubahan dari waktu ke waktu, karena konteks berdinamika seturut tuntutan zaman dari realitas kurang sempurna menuju ke kesempurnaan.
Dengan penjelasan ini, serentak disadari, takar kehormatan manusia sesungguhnya berlangsung dalam realitas dinamis yang belum sempurna. Itulah sebabnya, dipercaya bahwa realitas tidak sempurna adanya. Tetapi realitas yang tidak sempurna itu diyakini dapat disempurnakan terus-menerus. Disempurnakan untuk mencapai kehormatan nan agung dan pergi ke Sang Agung pemilik utuh kehormatan yang sedang menanti para peziarah di sana tanpa banyak biacara.
Dia tahu, tetapi Dia tak menyahut.