Oleh: Pius Rengka
Sekali waktu belum terlalu lama. Di satu tempat, tak jauh dari pemukiman. Pria berwajah tirus, mata nanar, berlangkah tenang menyelusuri tepi jalan kota. Merunduk, nyaris seperti dia sedang menghitung jumlah debu.
Dia bergaun style Timur Tengah. Dia memakai topi yang tidak biasa di tempat itu. Desas-desus tersiar cepat bahwa itu orang kelompok garis keras.
Kali lain. Pria paruh baya. Jenggot bergelayut tumbuh tak rapi. Celana cempak. Dia disebut kaum radikal, hardliners, kawanan garis keras, serba ekstrim dan mungkin juga tak suka makan es krim.
Lain waktu, perempuan bergaun serba hitam, menutupi sekujur tubuhnya. Ujung jari kakinya pun tak tampak.
Dia berjalan tenang di siang terik nian, entahkah dia mencari siapa ke mana. Matanya bening, memancar dari celah agak terbuka. Kawanan anak-anak berlari menjauh.
Seperti sudah biasa di mana-mana, stereotip ada di setiap warga. Stereotip adalah penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan.
Stereotip itu tak nyaris sama dengan stigma, cap atau stempel. Misalnya, sertamerta dikatakan, orang yang tinggal di pesisir pantai umumnya berbicara lugas terbuka, suka debat, egaliter, adil, dan kerap bersuara keras karena mereka setiap hari berbicara sambil mengimbangi deburan ombak. Relasi mereka dengan dunia luar terbuka luas.
Bagi mereka sukses itu pun tak pernah selesai, gagal tak pernah fatal. Sukses dan gagal hanyalah dialektika dinamis yang mesti dihadapi secara wajar.
Mereka memandang kesuksesan hanyalah etape kecil dari rentang panjang sejarah kehidupan. Lalu sertamerta disimpulkan, masyarakat pesisir lebih demokratis dibanding masyarakat pegunungan.
Namun, orang gunung lain lagi. Masyarakat pegunungan atau orang gunung membentuk komunitas dan tempat tinggal di bukit atau di hutan belantara.
Struktur dan bentuk kampung semacam lingkaran sebagai penanda dari upaya menjaga harmoni sambil membentengi kaum dari segala jenis serangan luar.
Bagi mereka, harmoni komunitas jauh lebih penting dibanding prestasi pribadi. Bagi mereka berlaku prinsip: ringan sama dijinjing berat sama dipikul.
Relasi dengan dunia luar relative tertutup. Orang-orang gunung suka berbicara di belakang-belakang, tidak berani berdebat, tidak terus terang bahkan sangat percaya pada gossip yang ditiup entah oleh siapa dan untuk maksud apa.
Bagi mereka, gossip adalah rujukan tindakan tanpa ada upaya cukup untuk melakukan konfrontasi ide dan konfirmasi. Verifikasi gossip bukan menjadi tradisi. Mereka pun mudah saja klaim kepentingan. Misalnya, apa yang diucapkan seseorang, sesunguhnya hanyalah pendapat pribadi, tetapi diklaim sebagai pendapat masyarakat.
Bahkan, dalam urusan tertentu, mereka cenderung hipokrit dan penakut. Jika di antara mereka ada persoalan atau sengketa, mereka tidak sanggup menyelesaikannya sendiri.
Mereka meminta bantuan orang lain seolah-olah masalah mereka harus menjadi masalah orang lain juga. Mereka sanggup membuat masalah, tetapi tak berdaya memecahkan masalah.
Dalam bahasa tutur pun tampak, kata “masalah” selalu diucapkan mendahului refleksi. Intinya, jika ada masalah, maka masalah bukan terbit karena problem dirinya, tetapi menjadi akibat problem pihak atau hal lain.
Sikap dua tipikal masyarakat itu terhadap bantuan pun berbeda. Bagi masyarakat pantai, bantuan– entah datang dari orang pribadi atau lembaga,-selalu diperlakukan sebagai bentuk upaya pemberdayaan potensi diri agar mereka sanggup mengembangkan diri sendiri. Bagi mereka berlaku prinsip ini: to help people to help themselves.
Namun, masyarakat gunung lain lagi. Mereka memperlakukan bantuan hanya sebagai perbuatan baik orang lain. Makin sering mereka menerima bantuan, kian tinggi pula penilaian mereka terhadap pemberi bantuan.
Mereka akan begitu mudah mengatakan: “Ini orang baik sekali. Ini orang beriman”. Mereka tidak tahu agenda tersembunyi pemberi bantuan. Bantuan itu oportunisitik, bahkan politis. Motif pemberi bantuan itu warna warni. Tetapi sudahlah. Bantuan adalah bantuan. Pada bantuan itu kita berserah.
Akibat ikutannya pun berbeda. Masyarakat pesisir (coastal) akan sangat merasa terbantu jika dibantu. Menerima sedikit bantuan justru memungkinkan mereka berkembang sendiri dengan opsi utama, bahwa di kemudian hari bantuan tak diperlukan lagi.
Mereka sangat malu jika selalu dibantu. Karena itu, bantuan dipandang hanya sebagai stimulasi terjadinya sirkulasi distribusi kesejahteraan.
Sedangkan orang gunung, sebaliknya. Pada mulanya bantuan dianggap rahmat. Lambat laun bantuan seolah-olah harus dilakukan pemberi bantuan. Jadi bantuan itu kewajiban pemberi bantuan, dan penerima bantuan menjadikan bantuan sebagai hak. Tetapi pemerintah memang wajib beri bantuan pada batas yang wajar.
Pada akibatnya dua masyarakat ini berbeda jalur. Masyarakat coastal memandang bantuan sebagai stimulasi untuk hadirnya kemandirian, sedangkan bagi masyarakat gunung bantuan mengakibatkan ketergantungan (dependensia).
Memang, dalam kenyataan empiric kadangkala tidak selalu begitu. Ada saja orang bersikap lain. Karena itu, stigma atau stereotip atas satu komunitas selalu berarti sejenis generalisasi spekulatif.
Stereotip pada masyarakat sudah dikenal lama, persis sama tua dengan usia manusia mulai hidup berkelompok-kelompok. Diduga, stereotip pertama kali muncul ketika pembedaan tegas antara identitas terberi dan identitas cultural menjadi obyek study ilmu sosial.