*)Cerpen Edy Soge Ef Er*
Namaku Anita. Lahir dari rahim sunyi seorang ibunda yang penyayang. Dekapannya bagai lindungan malaikat, tapi lidahnya bagai belati menghunus kuping jiwaku.
Ayahku seorang pecundang yang gagal memberikan kecup paling jitu sehingga kami terjepit dalam nafsu yang bangkai. Jujur, aku tumbuh beranjak di luar rumah.
Di sana aku hidup bersama angin dan ia karib membacakan sajak, ”Balada Anita” karya penyair kaliber yang mencintaiku habis-habisan lewat sajak-sajaknya.
Malam gemerlapan bertahkta megah. Cahaya temaram lampu diskotik mempercantik kenyal dada. Harga diri bagai kue coklat. Aku telentang pasrah di atas ranjang memanjang piluh. Penetrasi sial politisi mengganggu riak jiwaku. Ia mengagumi kecakapanku dalam hal ini.
”Kau sangat profesional. Kau pandai memainkan peran.Terimalah rupiah yang menagih nafsu dan merancang malapetaka, ” bibirnya bergetar penuh gambaran kepuasan.
Aku menerima dengan tangan lunglai tubuh tiada daya. Orgasme adalah puncak cerita genit ini. Kemudian hati kecilku merapal doa, ”Tuhanku teman sekamar para penzina,” aku masih dihantaui “Mazmur Mawar”-nya Rendra sahabat orang-orang terlupa. ”Terima Kasih atas rezeki hari ini.” Doaku seorang pelacur yang mengkhianati hidup.
Hidup memang punya perkelahian masing-masing. Di malam dahaga aku menerima pengakuan seorang pelanggan yang adalah orang penting negeri ini.
Istrinya seorang aktivis dan mereka sudah memiliki tiga orang anak.
”Istriku jarang memberi perhatian padaku. Ia seorang aktivis yang giat memperjuangkan hak-hak perempuan. Barangkali emansipasi lebih menarik baginya sehingga kadang aku merasa kesepian seperti ditinggalkan. Beginilah dinamika hidupku. Dan anak-anakku pun demikian;bagai tak berayah-ibu,” katanya lirih sambil mengusap wajahnya yang temaram.
Aku prihatin padanya sehingga kurelakan ia menjelajahi tubuhku semampunya. Tapi aku juga senyum bangga karena ia seorang yang beruang. Ia punya banyak uang barangkali di’copet’ dari kantong-kantong rakyat.
Tangan yang kerdil karena sepi tanpa belaian mesra sang istri mulai menyusuri lekuk tubuhku. Ia betah sekali tinggal di rumah dadaku. Ia secara lembut dan manis mendekap butir kehidupan. Aku hanyut dalam lelap asmara. Bagai alir air nan tenang jemari piatu itu mengalir di taman paling sunyi Eden Cinta.
Responku seperti ular yang melilit batang pohon. Aku menikmati panorama sensual yang sulit kubahasakan. Aku mendesah-sesal mengemas peluh percintaan. Begitu cerita ini berakhir senyumnya semerbak. Wajahnya ceria mekar mawar. Ternyata cinta lebih kuat dari apapun.
Kadang aku merasa kesepian-sendiri paling piatu. Tetapi kadang aku begitu paham bahwa ‘kensendirian bukan berarti tanpa kawan tetapi membiarkan jiwa bebas berbicara dan memutuskan apa yang terjadi atas hidup’. Demikian Paulo Coelho meneguhkan jiwaku.
Aku memilih menepi di tepian syahdu pantai permai. Angin anggun mengembus mesra menepis buih. Kekalutan pun pergi lenyap bersama jelita putih tengah laut. Debur ombak menampar dinding hatiku.
Aku tegar bersama karang dalam kenyamanan duduk bersilah. Kulempar pandang nun jauh di sana-di ujung langit masih ada langit. Horison samar-samar kugapai. Bayu pesisir mengibas hitam legam rambutku. Air mataku meliuk di pucat pipi. Di kepalaku bergelantung kisah Kitab Suci.
Sesal diri memetik kisah Rahap seorang pelacur yang penyelamat. Ia seorang Yerikho, kota tertua di dunia yang menjadi jalan masuk untuk manaklukkan tanah terjanji.
Rahap termasuk bangsa amori. Karena itu,ia adalah seorang penyembah berhala.Tetapi ia mendapat tempat dalam Perjanjian Baru, barisan silsilah Yesus Kristus dalam injil Matius. Ingatan ini membawaku sampai pada pertanyaan,apakah pelacur termasuk pekarjaan yang paling tua?
Sekalipun tak ada seorang bercita-cita manjadi pelacur, pada kenyataannya, pekerjaan ini sulit dihapus. Menjalani pekerjaan ini biasanya karena terpaksa oleh situasi dan kondisi.
Aku menjadi pelacur karena situasi keluarga yang porak-poranda. Pendidikan nilai dan moral terhempas pergi karena amarah orang tuaku. Aku di’kandang’kan dalam ruang sepit kegagalan mereka. Di tubuhku membekas luka yang sulit kulafal. Kemudian kusadari apa kata mereka terhadapku. Dan benar bahwa stigma masyarakat terhadap pelacur dari dulu sampai sekarang pun selalu negatif.
Aku Sendiri mengalami ini. Aku dicap sebagai kotoran masyarakat, orang sakit kusta secara moral. Aku digolongkan sebagai orang pinggiran dan tersingkir.
Malam itu, 7 Nopember, telah mengembalikan tragisnya masa laluku. Waktu itu usiaku masih hijau, 12 tahun nan elok. Aku terpaksa layu disengat terik nafsu ayah sendiri.
Selaput putihku ditoreh amarah nafsu seoarang lelaki yang sangat aku hormati. Ia menatap dadaku dengan pandang liar dan menanggalkan balut tubuhku tanpa berat dada.Tangan kekar yang kusanjung menggenggan ganas tubuh mungilku.
Aku gadis kecil tak berdaya. Ayah menyusuri tubuhku dengan gerakan yang sungguh dikuasai. Peristiwa buram itu digelar di ladang. Aku diperkosanya di ladang gersang gambar jiwaku. Meniggalkan aku di tengah rintik langit. Barangkali ia berkabung pada dukaku. Rendra pun demikian, ”Anita dijatuhkan dirinya dari menara”.
Tragedi itu menjadi kembang luka yang aroma perihnya masih kucium sampai saat ini. Aku benar-benar mengalami kerisihan jiwa. Rasa tanpa arti, hampa senyap secara eksistensial atau dalam bahasa Jean Paul Sartre, ‘nausea’.
Hidup di bawah bayang-bayang nihilisme adalah kemelut paling akut yang sukar diselesaikan. Secara terpaksa kuputuskan untuk bunuh diri. Kugagalkan aliran urat nadi. Jadinya aku telentang tiada nyawa di atas ranjang nestapa jelata.
Darahku yang telah tercemar membasahi ruangan, mengendap di lantai dan dinding memberi kabar dukaku lirih. Sahabat-sahabatku kembang malam membagi tangis- rintik gerimis langit malam. Mereka kehilangan aku perempuan malang. Mucikari mencoba optimis, ”Anakku, hidup adalah sebuah pertanyaan yang harus dijawab. Kau telah berhasil menjawab pertanyaan-pertanyaan orang penting yang kesepian, dan kematianmu adalah sebuah jawaban bahwa kau tak sanggup menjalani hidup dalam rupa materialisasi yang mengambil bentuk komoditi ‘cinta’.”
Mimpi memang punya dinamika sendiri. Akal sehat menjadi kabur karena tebak menebak. Aku punya mimpi demikian. Aku mati menjelma kupu-kupu malam yang sayapnya keperakan terbang mengintari gemintang. Karena itu aku bukan lagi kalian sahabatku.
Rekan-rekanku bunga liar, izinkanlah aku berbagi pengalaman perubahan. Setelah beranjak pergi dari rumah kita yang gelap gulita aku memilih menepi di tepian. Aku berkanjang dalam sepinya pantai.
Aku punya banyak teman yang jatuh cinta pada ombak dan senja. Kami tinggal bersama dalam rumah kata. Aku pernah berkali-kali dikalahkan oleh kata dan kini aku mengerti kekalahan itu dan mulai mengagungkan kata…..(hening)….Aku sudah jadi penyair!
Barangkali aneh pelacur jadi penyair. Tetapi Tuhan punya kehendak lain. ”Sepi dan luka sirna. Sambil menari kumasuki Taman Firdaus,” “Nyanyian Angsa” merdu di kuping- mengganggu batinku.
Namaku Anita. Diembunkan dalam bait akhlak rumah sunyi. Aku mulai mengalami dinamika kata. Kata punya kekuatan meluruhkan tali temali tendensi manusia yang muram.
Ketika sedang membaca buku puisiku sendiri, ”Pesan Seorang Pelacur”, angin datang membisikkan sajak tanpa judul karya Sitor Situmorang dalam buku puisinya: Rindu Kelana. ”Apa yang tak dapat kau hancurkan/ dengan tangan,/hancurkanlah dengan sajak.//tapi demikian kau/ membangun lagi/ dindingnya waktu”.
Lalu aku tenggelam ke dalam bait sajakku sendiri, ”Ketika darah mencemari urat dan lidah mengingkari kata, aku hanya ingin engkau berdiri sendiri di atas huruf-huruf doamu”, (Pesan Seorang Pelacur, Anita).***
Rumah Sunyi, 27 Oktober 2016
*Edy Soge Ef Er, dilahirkan di Hewa (Flores Timur), 27 Oktober 1996. Menulis puisi, cerpen, dan drama sejak di SMA Seminari San Dominggo Hokeng. Sekarang sedang menempuh pendidikkan filsafat pada STFK Ledalero Maumere, Flores, NTT. Nomor HP: 082119450638.