Oleh: Norbertus Jegalus*
Di muka bumi ini terdapat tidak hanya satu agama tetapi banyak agama. Masing-masing agama cenderung menegaskan dirinya sebagai unik dan universal.
Klaim diri seperti ini jelas melahirkan tantangan bagi perjumpaan agama-agama di dalam masyarakat. Sebagai orang beriman kepada Kristus, yang adalah satu-satunya jalan menuju keselamatan, bagaimana kita bisa mengerti dan menerima keberadaan agama-agama lain.
Singkatnya, masing-masing agama menghadapi persoalan: bagaimana saya beriman atas cara tertentu bisa menerima kenyataan bahwa toh ada orang beragama lain juga mengklaim seperti saya?
Bagi seorang Kristen, misalnya, bertanya, dapatkah orang Kristen menerima eksistensi agama lain sebagai jalan yang benar menuju keselamatan tanpa meninggalkan keyakinannya yang paling mendasar mengenai kemutlakan dan keunikan Yesus Kristus.
Apakah bisa saya sebagai seorang Kristen Katolik menerima bahwa Allah telah berbuat secara definitif bagi keselamatan semua orang dalam Yesus Krsitus sekaligus juga menerima dan memahami bahwa orang Yahudi, orang Islam, orang Hindu dan orang Budha, dijamin untuk tetap pada keyakinan agama mereka dan mengikuti jalannya sendiri dan tetap menerima keselamatan seperti saya?
Dengan kata lain, bolehkah seorang Kristen mengklaim diri sebagai orang-orang yang benar-benar diselamatkan karena dia telah dipanggil oleh Allah melalui Kristus, dan mereka yang tidak dipanggil oleh Allah melalui Kristus sebagai orang-orang tersesat yang tidak selamat?
Perjumpaan agama-agama
Sejauh ini agama Krsiten telah mengemukakan kurang lebih tiga model pendekatan terhadap kenyataan kemajemukan agama. Pertama, ekskusivisme yang berpendapat bahwa hanya mereka yang mendengarkan Injil dan secara eksplisit mengimani Kristus mendapat keselamatan.
Kedua, inklusivisme yang mengatakan bahwa Kristus adalah Wahyu Allah secara normatif, walaupun begitu keselamatan tetap mungkin dicapai melalui agama-agama non Kristen.
Ketiga, pluralisme yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan memiliki kebenaran, dan oleh karena itu keberadaan agama-agama lain mesti kita akui.
Pluralisme ini dianut oleh John Hick, seorang filsuf agama dari Inggris. Menurut Hick, dalam menghadapi kenyataan kemajemukan agama di dunia ini kita tidak bisa berpatok pada tradisi solus Christus.
Gagasan teologis solus Christus bahwa hanya melalui Kristus kita diselamatkan tidak bisa dipakai, sebab gagasan ini tidak dapat dicocokkan dengan gagasan teologis bahwa justru Allah berkehendak menyelamatkan semua manusia.
Menurut Hick, pola pikir yang bersifat kristosentris ini harus diganti denga pola pikir teosentris yang bersifat universal. Jadi, Hick tidak mengunggulkan gagasan biblis mengenai keunikan dan keuniversalan kehadiran Kristus dalam tata keselamatan.
Sedangkan George Lindbeck, seorang teolog Lutheran, dalam menghadapi agama-agama lain, berpijak pada gagasan solus Christus. Ia mempertahankan gagasan ini karena mempunyai dasar biblis: Aku dan Bapa satu. Tak seorang pun dapat datang kepada Bapa tanpa melalui Aku.
Gagasan biblis ini diperkukuh oleh tradisi fides ex auditu bahwa iman tumbuh karena mendengar Sabda Allah. Karena itu, orang baru diselamatkan kalau ia mendengar Sabda Allah dan menerima Kristus.
Eksklusivisme inilah yang menghidupkan lagi paham tradusional Gereja, extra ecclesiam nulla salus, bahwa Gerejalah satu-satunya jalan menuju keselamatan, di luar itu tidak.
Lain lagi jawaban Karl Rahner, teolog Katolik asal Jerman. Menurut Rahner, kita orang Kristen tidak pada tempatnya lagi menyelesaikan soal kemajemukan agama dalam rangka mempertahankan keunggulan agama Kristen hanya dengan berpatok pada logika “principium non-contradictionis” (asas non-kontradiksi).
Seturut asas ini, kalau dua pendirian teologis yang bertentangan maka tidak mungkin keduanya sama benar, tentu yang satu benar dan yang lain pasti salah. Kemudian yang bersangkutan tinggal memutuskan untuk memilih yang benar. Akan tetapi, pola logis ini tidak cukup untuk memecahkan soal perjumpaan agama-agama, di mana masing-masing agama mengklaim dirinya unik dan universal.
Menurut Rahner, kalau di satu pihak kita mengerti bahwa keselamatan itu sebagai yang khas Kristen dan jika di lain pihak Allah benar-benar mau menyelamatkan semua manusia, maka kedua aspek ini jelas tidak bisa dipertemukan selain dengan mengatakan bahwa setiap orang terbuka terhadap rahmat Allah.
Dalam menyelesaikan soal kemajemukan agama ini, Rahner tetap bertolak dari dasar biblis solus Christus. Ketegangan antara solus Christus di satu pihak dan universalitas rahmat Allah di pihak lain, diselesaikan dengan teori yang dikenal dengan sebutan “Orang Kristen Anonim”.
Dengan ini, keunikan Kristus sebagai kriteria yang nyata dan sempurna untuk rahmat bisa dipertemukan dengan rahmat Allah yang menyelamatkan secara universal.
Bisa terjadi bahwa karena kondisi sejarah dan geografis seseorang tidak mengenal Kristus atau belum terbuka terhadap Kristus. Namun itu tidak berarti orang itu tidak mengalami rahmat Allah, karena rahmat Allah itu bersifat universal, jadi umum bagi umat manusia.
Universalitas rahmat Allah itulah yang dipahami sebagai dasar dari agama-agama non Kristen untuk bisa menuju kepada keselamatan. Di sini memang ada paradoks, yakni di satu pihak dikatakan bahwa keselamatan hanya dicapai melalui Kristus (solus Christus), dan dipihak lain dikatakan bahwa keselamatan bisa dicapai melalui agama-agama non Kristen.
Adapun teori Orang Kristen Anonim dikemukakan untuk menyelesaikan paradoks ini. Rahner mengatakan bahwa jika keselamatan dicapai melalui agama lain maka itu pasti merupakan suatu penyelamatan dari agama Kristen Anonim.
Jika rahmat yang menyelamatkan itu ada di luar Gereja, maka rahmat itu bagaimanapun tetap berkaitan dengan Kristus dan itu berarti pula berkaitan dengan GerejaNya. Kita orang Kristen, kata Rahner, tidak bisa menolak anggapan ini, sebab kita harus mengakui bahwa Allah lebih besar daripada manusia, Allah itu lebih besar daripada Gereja.
Jawaban Institusi Gereja Katolik
Prof. Dr. Quraish Shihab, teolog besar Islam Indonesia dan mantan Menteri Agama RI, Kabinet VII, berkata, malapetaka dapat terjadi bukan saja karena umat beragama tidak memahami agama orang lain, tetapi juga karena ketidakmampuan untuk mengerti agamanya sendiri.
Menurut saya, kalau ada orang Katolik yang tidak toleran terhadap agama lain, bahkan sampai membencinya, sesungguhnya terjadi bukan hanya karena orang Katolik itu tidak tahu ajaran agama itu melainkan juga karena ia tidak tahu akan ajaran agama Katolik yang diimaninya.
Karena itu, agar orang Katolik bisa membangun tolerensi yang positif terhadap orang beragama lain, maka perlu mereka juga mengenal dengan benar ajaran agamanya sendiri.
Berikut ini dikemukakan pokok-pokok penting ajaran Gereja Katolik tentang perjumpaan agama-agama, sebagaimana yang diajarkan oleh Konsili Vatikan II (1962-1965): pertama, sikap Gereja Katolik terhadap Gereja-gereja Kristen lain; kedua, sikap Gereja Katolik terhadap agama-agama non Kristen.
Gereja Katolik dan Gereja-gereja Kristen Lain
Bagaimana hubungan perjumpaan Gereja Katolik dengan Gereja-gereja Kristen lain? Sidang Konsili yang dihadiri kurang lebih 500 uskup sedunia juga utusan dari pelbagai Gereja Kristen, setelah 4 tahun bersidang dan berdebat, akhirnya menerbitkan 16 dokumen ajaran resmi Gereja Katolik.
Ada satu dokumen khusus tentang hubungan Gereja Katolik dengan Gereja-gereja Kristen lainnya, yakni Dekrit UNITATIS REDINTEGRATIO tentang ekumenisme (memuat 24 artikel), ditetapkan pada tahun 1964.
Ajaran di dalam dokumen Unitatis Redintegratio ini bersumber pada Konstitusi Dogmatis tentang Gereja LUMEN GENTIUM (memuat 69 artikel), ditetapkan pada tahun 1964. Di dalam kedua dokumen ini Gereja Katolik menyatakan dengan tegas sikap positifnya terhadap Gereja-gereja Kristen dan mengharapkan suatu kerjasama dan kesatuan Gereja Kristus.
Di dalam Lumen Gentium Gereja Katolik dengan jujur mengakui perbedaan dirinya dengan Gereja-gereja Kristen. Konsili Vatikan II membedakan antara mereka yang “sepenuhnya dimasukkan ke dalam serikat Gereja” (LG 14) dan orang yang beriman lain yang berhubungan dengan Gereja Katolik (LG 15).
Akan tetapi, semangat dasar bapa-bapa konsili adalah kesatuan antara semua orang Kristen. Konsili ini tidak hanya menegaskan bahwa “Roh membangkitkan pada semua murid Kristus keinginan dan kegiatan, supaya dipersatukan dalam satu kawanan dengan satu Gembala” (LG 15), tetapi juga merumuskan dasar teologis untuk kesatuan antara Gereja Katolik dengan Gereja-gereja Kristen.
Artikel 8 Konstitusi Dogamtis Lumen Gentium berbunyi: “Kristus, satu-satunya Pengantara, di dunia ini telah membentuk GerejaNya yang kudus, yakni persekutuan iman, harapan dan kasih, sebagai himpunan yang kelihatan dan tak henti-hentinya memeliharanya, supaya melalui Gereja Ia melimpahkan kebenaran dan rahmat kepada semua orang…Itulah satu-satunya Gereja Kristus, yang dalam syahadat kita akui sebagai Gereja yang satu, kudus, Katolik dan apostolik. Gereja itu, yang di dunia ini disusun dan diatur sebagai serikat (societas), berada dalam (subsistit in) Gereja Katolik, yang dipimpin oleh pengganti Petrus dan para uskup dalam persekutuan dengannya, walaupun di luar persekutuan itu pun terdapat banyak unsure pengudusan dan kebenaran, yang merupakan kurnia-kurnia khas Gereja Kristus, dan mendorong ke arah kesatuan Katolik”.
Di dalam konsili terjadi perdebatan antara uskup konservatif dan uskup progresif. Kaum konservatif mati-matian mempertahankan rumusan Gereja Kristus adalah (est) Gereja Katolik.
Sedangkan kaum progresif menentang itu, karena pengertian bahwa Gereja Kristus adalah Gereja Katolik, atau bisa dibalikkan, Gereja Katolik adalah Gereja Kristus, pertanyaannya: bagaimana dengan keberadaan Gereja-gereja Kristen apakah mereka bukan Gereja Kristus?
Perdebatan akhirnya dimenangkan oleh kaum progresif, sehingga rumusan tentang Gereja Kristus menjadi “Gereja Kristus berada dalam (subsistit in) Gereja Katolik”.
Dengan ini diakui bahwa Gereja-gereja Kristen juga Gereja Kristus. Konsili mau mengatakan bahwa Gereja Kristus tidak terbatas pada Gereja Katolik saja.
Sedangkan dokumen Unitatis Redintegratio berbicara tentang ekumenisme. Usaha untuk mempertemukan Gereja-gereja Kristen dalam satu persekutuan (communio) disebut gerakan ekumensi.
Unitatis Redintegratio artikel 4 berkata: “Yang dimaksud dengan gerakan ekumenis ialah kegiatan-kegiatan dan usaha-usaha yang diadakan dan ditujukan untuk mendukung kesatuan umat Kristen. Sebagai contoh disebutkan, pertama-tama, usaha saling menghormati dan menghindari segala sesuatu yang kurang sesuai; kemudian juga mengadakan pertemuan-pertemuan dan dialog, khususnya di antara para pakar; selanjutnya, segala macam kerjasama dalam arti luas; dan akhirnya, segala usaha untuk memperbarui diri dan mengubah kekuarangan-kekurangan dalam Gerejanya sendiri. Yang dicita-citakan bukanlah semua melebur dalam satu kesatuan yang kabur dan tanpa sifat-sifat Kristiani yang jelas. Sebaliknya, diharapkan bahwa masing-masing Gereja semakin menyadari akar-akarnya dalam iman Kristen dan juga kekhasannya sendiri dalam mengungkapkan dan meuwujudkan iman bersama itu. Dengan demikian, sekaligus diharapkan mereka menghormati saudara-saudara seiman yang menghayati iman itu dalam bentuk yang berbeda”.
Gereja Katolik dan Agama-agama non Kristen
Bagaimana hubungan Gereja Katolik dengan agama-agama non Kristen, seperti Islam, Hindu, Budha, dan Yahudi? Tentang keempat agama ini Gereja menjawabnya dalam beberapa dokumen: pertama, Konstitusi dogmatis LUMEN GENTIUM tentang Gereja, khususnya artikel 16; kedua, Deklarasi NOSTRA AETATE tentang Hubungan Gereja dengan Agama-agama bukan Kristen (1965), dan Dekrit DIGNITATIS HUMANAE tentang Kebebasan Beragama.
Gereja Katolik melalui Konsili Vatikan II (1962-1965) merubah secara mendasar sikapnya terhadap kaum bukan Kristen, dari ajaran extra ecclesia nulla salus (di luar Gereja tidak ada keselamatan) kepada ajaran yang lebih memberikan sikap positif kepada agama-agama bukan Kristen.
Artikel 16 LUMEN GENTIUM mengatakan: “Sebab mereka yang tanpa kesalahannya sendiri tidak mengenal Injil Kristus serta GerejaNya, tetapi dengan hati tulus mencari Allah, dan berkat pengaruh rahmat berusaha melaksanakan kehendakNya yang mereka kenal melalui suara hati dengan perbuatan nyata, dapat memperoleh keselamatan kekal. Penyelenggaraan ilahi juga tidak menolak memberi bantuan yang diperlukan untuk keselamatan kepada mereka yang tanpa kesalahan sendiri belum sampai kepada pengetahuan yang jelas tentang Allah, namun berkat rahmat ilahi berusaha menempuh hidup yang benar”.
NOSTRA AETATE, artikel 2, Gereja Katolik mengakui bahwa di dalam agama-agama non Kristen ada yang benar dan suci yang bermanfaat bagi agama itu sendiri namun juga bisa memantulkan cahaya kebenaran itu kepada sesama kaum agama lainnya.
Meski demikian, Gereja Katolik tetap menekankan bahwa Kristus adalah jalan, kebenaran dan hidup bagi kaum beriman Kristen: “Gereja Katolik tidak menolak apapun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus, Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar kebenaran, yang menerangi semua orang. Namun, Gereja tiada hentinya mewartakan dan wajib mewartakan Kristus, yakni “jalan, kebenaran dan hidup” (Yoh. 14:6); dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan, dalam Dia pula Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diriNya”.
Artikel 3 NOSTRA AETATE berbicara tentang hubungan Gereja Katolik dengan Islam: “Gereja juga menghargai Umat Islam yang menyembah Allah satu-satunya, yang hidup dan berdaulat, penuh belas kasihan dan mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, yang telah bersabda kepada Umat manusia. Kaum muslimin berusaha menyerahkan diri dengan segenap hati kepada ketetapan-ketetapan Allah juga yang bersifat rahasia… Memang mereka tidak mengakui Yesus sebagai Allah melainkan menghormatiNya sebagai nabi. Mereka juga menghormati Maria BundaNya yang tetap perawan, dan ada saat-saat tertentu dengan kidmat berseru kepadanya. Selain itu, mereka mendambakan hari pengadilan, bila Allah akan mengganjar semua orang yang telah bangkit. Maka, mereka juga menjunjung tinggi kehidupan susila, dan berbakti kepada Allah terutama dalam doa, dengan memberikan sedekah dan berpuasa”.
Sedangkan Deklarasi DIGNITATIS HUMANAE artikel 4 Gereja mengakui hak atas kebebasan beragama berdasarkan suara hati, dengan sekaligus menegaskan bahwa kebebasan itu disalahgunakan apabila dipakai tidak wajar dengan cara untuk mencari penganut dari agama lain.
Artikel 4 ini berkata: “Jemaat-jemaat keagamaan berhak pula untuk tidak dirintangi dalam mengajarkan iman mereka dan memberikan kesaksian tentangnya di muka umum, secara lisan maupun melalui tulisan. Akan tetapi, dalam menyebarluaskan iman dan memasukkan praktik-praktik keagamaan janganlah pernah menjalankan kegiatan manapun juga, yang dapat menimbulkan kesan seolah-olah ada paksaan atau bujukan atau dorongan yang kurang tepat, terutama bila menghadapi rakyat yang tidak berpendidikan dan serba miskin. Cara bertindak demikian harus dipandang sebagai penyalahugnaan hak mereka sendiri dan pelanggaran hak pihak-pihak lain.”
Gereja Membangun Toleransi Positif
Dari dokumen ajaran Konsili Vatikan II di atas kita menemukan bahwa Gereja Katolik sungguh menyadari dirinya hanya sebagai salah satu agama dari sekian agama di muka bumi ini.
Kesadaran itu mengubah sikap Gereja Katolik terhadap agama-agama lain. Tidak mungkin agama-agama seperti Islam, Budha, Hindu dan Konghuchu, dianggap sebagai semacam sisa umat manusia yang belum kristiani. Jelaslah, agama-agama itu akan tetap ada untuk waktu lama. Jelas pula bahwa semua agama itu mengganggap diri sebagai “jalan yang benar” ke misteri paling dalam hidup manusia.
Jawaban Gereja Katolik terhadap kenyataan banyak agama itu adalah toleransi. Ajaran tolerenasi itu sudah ditampakan di dalam beberapa dokumen yang disebutkan di atas.
Gereja mengakui bahwa keyakinan hati adalah hak setiap orang dan tidak boleh dicampuri atau ditekan oleh negara. Konsili Vatikan II, melalui dokumen Dignitatis Humanae melahirkan pernyataan tentang kebebasan beragama.
Namun, Konsili Vatikan II sekaligus melampaui tahap toleransi yang semata-mata formal, dimana orang yang berkeyakinan lain “dibiarkan” dan tidak dilarang.
Bapa-bapa konsili tidak hanya menuntut agar kesadaran religius orang lain dibiarkan dan tidak dilarang, tetapi lebih dari itu, yakni menyatakan hormat terhadap agama-agama lain itu. Gereja mengakui agama-agama lain sebagai bernilai di mata Tuhan.
Jadi, tidak hanya dikatakan, seperti ajaran toleransi formal, “silahkan beragama menurut hati anda apa pun isinya”, melainkan lebih dari itu yakni agar agama-agama lain itu sendiri dilihat secara positif.
Itulah yang kita sebut dengan toleransi positif, yakni tidak sekedar “membiarkan agama-agama lain” atau “tidak melarang agama-agama lain” untuk hidup berdampingan dengan kita melainkan terutama menghormati agama-agama lain itu sebagai agama yang bernilai bagi diri mereka sendiri bahkan kita dapat belajar sesuatu dari mereka.
Namun perlu diberi catatan di sini, jangan sampai kita memahami bahwa toleransi muncul karena ada kesamaan antara agama kita dengan agama-agama lain itu.
Toleransi dalam arti yang benar justru baru terjadi kalau ada ketidaksamaan atau ada perbedaan yang benar-benar unik antara agama yang satu dengan yang lain. Toleransi disalahpahami kalau dianggap sebagai penyamaan.
Saya mengakui dan menghormati agama lain tidak karena ada unsur yang sama, melainkan justru karena ada unsur yang beda. Jadi, toleransi baru benar-benar terjadi kalau ada perbedaan.
Sejauh ini muncul suatu paham toleransi yang kurang memadai, yakni toleransi atas dasar kesamaan. Kita toleran atas dasar kesamaan yakni bahwa karena “semua agama pada hakikatnya sama saja, karena hanya jalan yang berbeda sedangkan tujuan yang sama”. Kita toleran karena “tidak ada agama yang memutlakkan diri”.
Mentoleransi pihak lain atas dasar pandangan bahwa pihak lain tidak berbeda dari kita, itu bukanlah sikap toleransi melainkan sikap sekedar mengatasi salah paham.
Bersikap demikian karena ada salah paham selama ini yakni semula dikira kepercayaan kita berbeda, sesudah dilihat dengan lebih teliti, ternyata pada hakikatnya sama.
Toleransi yang tegas dan benar, sebagaimana muncul dalam ajaran resmi Gereja Katolik di atas, adalah sikap mengakui dan menghormati agama lain bukan karena ada kesamaan dengan agama Kristen melainkan karena agama lain itu benar-benar lain dari agamaku, agama lain itu benar-benar berbeda dari agamaku.
Dengan demikian, kita baru dapat bicara tentang toleransi apabila kita bersedia untuk menerima dan mengakui kemajemukan, dan kemajemukan dalam arti yang benar dan tegas adalah berbeda.
Jadi, menerima kemajemukan berarti menerima perbedaan. Toleransi berarti menerima saudara beragama lain, dimana pandangan, kepercayaan, dan keyakinannya sangat berbeda. Toleransi berarti menerima orang beragama lain dalam seluruh kekhasannya, dalam perbedaan yang unik.
Kalau demikian paham toleransinya, maka konsekuensinya jelas: Orang belum bersifat toleran apabila ia keberatan dengan keyakinan agama lain, keberatan dengan cara beribadah agama lain, hanya karena baginya semua agama sama saja.
Orang baru toleran apabila ia tidak dapat mengikuti keyakinan saudaranya dan ia tetap menerimanya dengan baik dan hormat. Kemampuan untuk menghrmati yang berbeda, yang tidak mungkin kita yakini, itulah yang namanya toleransi. Disebut toleransi positif, karena toleransi tidak sekedar “membiarkan dan tidak melarang agama lain” melainkan lebih dari itu yakni mengakui dan menghormati agama lain dalam segala keunikannya.
Konkretnya di Indonesia, demikian: Kita menghormati saudara kita yang Muslim bukan karena ada hal yang sama atau mirip dalam cara beribadat atau dalam ajaran sosialnya dengan kita, melainkan kita menghormati mereka karena mereka berbeda dengan kita.
Atau dengan kata lain, kita menghormati mereka dalam keunikan mereka. Itulah toleransi positif. Sedangkan toleransi negatif berarti “membiarkan dan tidak melarang hadirnya agama lain”.
Toleransi negatif ini kurang memadai, karena bisa berubah menjadi strategi dalam perjumpaan agama-agama. Membiarkan dan tidak melarang hadirnya agama lain di samping kita hanya karena kita belum memiliki kekuatan yang memadai untuk melawan atau mengusir mereka.
Kita membiarkan agama lain hidup di samping kita karena kita belum menemukan waktu tepat atau alasan tepat untuk mengusirnya. Begitu kita sudah memiliki kekuatan secara jumlah, sosial, ekonomi dan politik atau memiliki kesempatan yang baik, maka kita menantang mereka dan bahkan mengusir mereka.
…Bersambung…