Oleh: Lasarus Jehamat
Dosen Sosiologi Fisip Undana; Peneliti Institut Sophia Kupang
Manggarai identik dengan kopi. Manggarai adalah kopi dan kopi adalah Manggarai. Itu sebuah faktisitas. Sulit dibantah.
Dalam berbagai ruang sosial, kopi selalu menemani masyarakat Manggarai baik untuk sekedar meneguk sesaat atau dalam berbagai kegiatan sosial dan budaya.
Masih di ruang sosial-ekonomi, begitu banyak orang Manggarai yang bisa menikmati pendidikan karena produk pertanian dan perkebunan yang satu ini.
Jika boleh agak ekstrim, bisa disebutkan bahwa sarjana Manggarai adalah sarjana kopi.
Sebutan sarjana kopi, bukan karena orang itu menekuni bidang kopi secara khusus dalam proses pendidikannya.
Disebut sarjana kopi karena peran kopi dalam mendukung kesuksesan seseorang menjadi sarjana; peran kopi dalam mendukung ekonomi keluarga dan rumah tangga sarjana yang bersangkutan.
Mendiskusikan kopi Manggarai, suka atau tidak, kita harus masuk ke alam yang disebut struktur ekonomi politik kopi Manggarai.
Hemat saya, kopi Manggarai hanya dapat dipahami sejauh memahami relasi tengkulak kopi, negara sebagai otoritas pengambil kebijakan menyangkut kopi dan masyarakat penghasil kopi.
Tahun 1980 hingga 1990-an, merupakan tahun di mana kopi Manggarai berada dalam kondisi dinamis. Kala itu, harga kopi sangat fluktuatif.
Dari aspek volume produksi, hemat saya, tahun-tahun itu merupakan era di mana produksi kopi Manggarai mencapai puncaknya.
Meski demikian, seiring berjalannya waktu, tiga daerah di Manggarai Raya ternyata terus memproduksi kopi secara perlahan. Produksi kopi berangsur-angsur naik.
Melansir data Direktorat Jenderal Pengelolaan dan Pemasaran Hasil Panen (P2HP) Kementerian Pertanian, voxntt.com (12/11) menyebutkan, tahun 2014 Asosiasi Petani Kopi Manggarai Raya mengekspor secara perdana Kopi Arabika Speciality Green Bean. Harga pembelian di tingkat petani mencapai Rp. 55.000 per kilogram dengan nilai ekspor mencapai Rp 1,1 miliar.
BACA JUGA: Sejarah, Darah dan Budaya di Balik Secangkir Kopi Pait Colol (Part 1)
Data dari lembaga yang sama di atas menyebutkan, luas lahan kopi arabika di Manggarai mencapai 2,76 juta hektar (ha) dengan tingkat produktivitas mencapai 36.753 kg per ha. Luas tanaman kopi robusta 4.261 ha dengan tingkat produktivitas 353 kg per ha.
BPS NTT (voxntt.com, 12/11) menyebut selama tahun 2016 produksi kopi Manggarai Timur sebesar 5.072 ton dan tahun 2017 mencapai 5.088 ton.
Angka ini jauh lebih besar dari kedua kabupaten lain di Manggarai Raya (Manggarai dan Manggarai Barat) yang hanya berkisar 2000-an ton sejak tahun 2016.
Di tahun 2016-2017, produksi kopi di Manggarai Raya berjumlah 19.322 ton. Jumlah itu terdiri dari, Manggarai Barat sejumlah 4,260 ton, Manggarai sebanyak 4,902 dan Manggarai Timur sebanyak 10, 160 ton.
Hukum Ekonomi Politik
Dalam Political Economics, Alt (1983) mengatakan relasi ekonomi politik bekerja untuk menjawab satu pertanyaan besar. Apa yang harus dikerjakan negara dan modal dalam relasi itu? Disebutkan, dua lembaga ini berperan penting dalam pengambilan kebijakan ekonomi.
Dua lembaga ini dianggap paling bertanggung jawab atas maju mundurnya kehidupan ekonomi masyarakat. Karena itu, memeriksa ekonomi, harus segera dihubungkan dengan kerja politik di dalamnya.
Selanjutnya, dalam Hayek, Co-ordination And Evolution: His Legacy In Philosophy, Politics, Economics And The History of ideas, Birner dan van Zijp (1994) mengatakan bahwa Friedrich A. von Hayek memperkenalkan filsafat fundamentalisme ekonomi.
Dalam filsafat itu, Hayek menegaskan posisi dasarnya dalam hal relasi ekonomi politik jauh melampaui apa yang telah dikerjakan Adam Smith.
Menurut Hayek, ekonomi akan berkembang sejauh negara sama sekali tidak ikut campur dalam urusan ekonomi. Dengan kata lain, modal harus diberi ruang yang sangat bebas dalam menentukan kebijakkan ekonomi apa pun.
Di level itu, negara hanya membuka jalan dan memberi ruang seluas-luasnya kepada modal untuk menentukan arah pegerakan ekonomi.
Peter Soderbaunz (2000) dalam Ecological Economics: A Political Economics Approach to Environment and Development, mengatakan bahwa, sebagai buah kandung dari rezim rasionalitas, sains dan teknologi menggunakan kapitalisme sebagai alat utama tidak saja untuk merebut pasar tetapi juga lingkungan ekologis.
Di sana, kapitalisme bekerja menurut rasionalitas obyektif. Karena itu pula, kapitalisme akan memproklamasikan diri sebagai pahlawan yang bisa menyelesaikan semua persoalan termasuk persoalan ekonomi.
Ekonomi Politik Kopi
Sejalan dengan produksi kopi, hukum ekonomi politik berjalan beriringan. Kala produksi meningkat maka harga kopi pasti menurun.
Masyarakat beranggapan bahwa tengkulak merupakan aktor utama yang bermain di balik fluktuatifnya harga komoditas kopi persis disampaikan Birner dan van Zijp di atas.
Tengkulak adalah bentuk paling vulgar dari apa yang disebut modal. Lalu, bagaimana negara? Di Manggarai kala itu, negara sudah ada. Pemerintahan Kabupaten Manggarai. Keberadaan negara dalam diri pemerintah ternyata belum mampu memengaruhi modal.
Sebab, dalam konstelasi ekonomi nasional saat itu, negara menjadi terlampau kuat dikuasai oleh rezim ekonomi. Ekonomi menjadi panglima.
Maka, untuk mendukung kebijakan pusat, pemerintah Kabupaten Manggarai kala itu seperti membiarkan pemilik modal bermain untuk dan atas semua komoditas masyarakat termasuk kopi. Relasi seperti itulah yang disebut Alt sebagai mekanisme subordinatif modal dan negara kepada masyarakat.
Ketika produksi kopi meningkat dan harga kopi menurun di sisi yang lain maka muncul kekecewaan masyarakat. Masyarakat kemudian enggan menanam kopi. Anakan kopi yang tumbuh subur di bawah perkebunan kopi masyarakat dibabat dan dihabisi.
Anehnya, dalam waktu bersamaan, muncul dan berdatanganlah kopi dengan varietas baru di Manggarai saat itu. Kolumbia, Juria dan kopi Unggul. Negara dan pengusahalah yang memperkenalkan kopi varietas baru itu. Elit yang memiliki pengetahuan termasuk di dalamnya.
Dinamika kopi berlanjut. Setelah tahun-tahun itu, terjadi konflik antarpetani dengan rezim yang berkuasa saat itu. Petani kopi ditembak karena melawan kebijakan Negara (kasus ini dikenal sebagai tragedi Rabu Berdarah 10 Maret 2004).
Dengan kekuatan kuasanya, negara di Manggarai kala itu terlampau represif. Rakyat diam. Diam bukan karena takut ditembak tetapi karena masyarakat ‘malas’ berkonflik.
Relasi Ekonomi
Dalam studi ekonomi politik, relasi antarnegara dan modal bersifat koordinatif. Sebaliknya, relasi antarmodal dan masyarakat, antarmasyarakat dan negara cenderung bersifat subordinatif.
Karena itu dapat dipahami mengapa sampai saat ini kopi Manggarai belum semua mendapatkan Sertifikasi Indikasi Geografis (SIG) dalam proses distribusi dan pemasaran kopi. Sampai saat ini hanya kopi Arabika yang mendapatkan SIG.
Logikanya sangat sederhana. Negara dan modal jelas tidak akan mengusahakan sertifikasi untuk semua kopi Manggarai.
Sebab, jika petani kopi telah memiliki semua sertifikasi maka keuntungan ada di pihak petani. Harga kopi akan meningkat. Sebaliknya, tengkulak akan merana. Sebab, tengkulak harus membeli kopi petani dengan harga yang sesuai harga pasar.
Di situlah letak keluguan orang Manggarai. Lugu karena membiarkan negara dan modal menari-nari di atas penderitaan rakyat Manggarai.
Terpilihnya kopi Colol Manggarai Timur dalam kontes rasa kopi nasional pada tahun 2015 lalu merupakan awal yang baik untuk menemukan kembali kopi Manggarai. Menemukan kopi sebenarnya berkaitan dengan banyak hal.
Selain secara fisik, semua pihak harus berpikir tentang pembudidayaan kopi. Kita semua harus berpikir untuk mengajarkan cara menanam, mengolah, hingga memasarkan kopi kepada generasi muda Manggarai. Menemukan kopi Colol adalah mengasa dan kembali memikirkan nasib kopi, petani, generasi dan struktur ekonomi negara pada batas yang lain.
Tanpa itu, Manggarai akan terjebak dalam bayang-bayang kelam sebagai daerah penghasil kopi. Identitas sosial, ekonomi dan budaya menjadi hilang hanya karena keangkuhan satu dua orang aktor yang banyak kepentingan.
Tugas kita adalah menemukan kembali identitas Manggarai sebagai daerah penghasil kopi lokal yang memiliki cita rasa nasional bahkan internasional.
Menemukan kembali jati diri kopi Manggarai di titik yang lain harus mengakui peluh dan darah yang telah jatuh di tanah congka sae atas perjuangan nenek moyang dan generasi terdahulu dalam memertahankan eksistensi kopi.