Oleh: Florianus Jefrinus Dain
Ketua Centro John Paul II, Tinggal di Ritapiret-Maumere
Iklim demokratisasi kita akhir-akhir ini menampakkan watak anomali yang ditunjukkan oleh sikap, perilaku dan tindakan para elit politik yang kian kehilangan integritas, kejujuran dan kebenaran. Integritas, kejujuran dan kebenaran dipinggirkan dari peradaban politik bangsa. Akibatnya, ialah bahwa politik kita diisi oleh orang-orang yang tidak berintegritas.
Hal ini ditandai oleh maraknya kebohongan di ruang publik yang dilakukan elit politik bangsa ini. Fenomena ini disebut oleh Ralph Keyes (2004) sebagai era post-truth atau era pasca-kebenaran.
Term ini banyak kali diperdebatkan oleh para pemikir sosial dan politik. Namun, penulis menggunakan terjemahan era pasca-kebenaran dalam tulisan ini. Oleh karena itu, penulis tidak mempersoalkan terjemahan teknis dari terjemahan kata post- truth.
Penulis lebih menekankan nilai substansial dari kata ini yaitu adanya kebohongan yang berkembang secara masif dalam kehidupan sosial-politik saat ini. Salah satunya contohnya ialah “tragedi” Sarumpaet beberapa waktu lalu. “Tragedi” Sarumpaet yang menggegerkan masyarakat Indonesia merupakan bukti panorama kebohongan itu diorganisasi oleh sebagian orang.
Dapat dikatakan bahwa kebohongan diinstitusionalisasi di Negara tercinta ini. Maka benarlah jargon yang mengatakan bahwa produksi kebohongan yang paling banyak dilakukan oleh ‘penguasa’.
Oleh karena itu, setelah peristiwa Sarumpaet banyak orang bersikap ragu terhadap elit-elit politik. Bahkan ada sebagian orang yang tidak percaya dengan elit-elit politik yang akan berlaga di tahun 2019.
Keraguan dan ketidakpercayaan ini bukanlah tanpa alasan. Ada sebagian orang yang melihat bahwa janji-janji elit politik cenderung bombastis merupakan bagian dari kebohongan publik. Menjanjikan hal-hal besar dan kemungkinan sulit direalisasikan.
Hal ini satu sisi adalah benar. Menaruh keragu-raguan dubium methodicum Descartes atau metode falsifikasi Karl Popper merupakan jalan untuk mencapai kebenaran. Sebab dengan itu, kita dapat memperoleh kebenaran yang sesungguhnya.
Namun, sisi lain kita tidak boleh menggeneralisasi bahwa seluruh elit politik itu cenderung menebar kebohongan (hoaks). Masih banyak juga elit-elit politik yang bersikap realistis. Mereka juga menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi seperti integritas, kejujuran dan kebenaran. Mereka adalah representasi dari kepentingan-kepentingan rakyat. Hal ini tentunya menjadi kebanggaan sekaligus kemajuan dalam perpolitikan. Dapat dipastikan bahwa ketika orang-orang seperti ini menenempati kursi pemerintahan, kepentingan-kepentingan rakyat diakomodasi dengan baik.
Tantangan Bagi Demokrasi
Lalu pertanyaan yang muncul ialah bagaimana kebohongan (hoaks) itu beroperasi dalam sebuah demokrasi?
Pertama, penguasa atau elit politik. Penguasa adalah mereka yang memiliki kekuatan hegemonik. Kaum penguasa, yang termanifestasi dalam elit politik selalu berdiri di atas tumpukan modal. Inilah kelas politik yang dominan. Maka, semakin tinggi konsentrasi produksi dan penumpukan kekayaan, akan semakin kuat pula kekuasaan yang dipegang. Semakin kuat sebuah kekuasaan, maka semakin luas pula pengaruhnya.
Logika inilah yang dikritik oleh Rocky Gerung sebagaimana dikutip Peter Tan dalam buku Paradoks Politik. Gerung menggambarkan penguasa sebagai agen pembuat hoaks atau kebohongan yang paling banyak. Alasanya ialah bahwa mereka memiliki kekuatan yang lebih dalam segala bidang. Segala sesutau mereka miliki (2018:93). Maka mereka dengan mudah mengakses sekaligus membuat hoaks.
Persis inilah fenomena yang terjadi di negeri ini. Para politisi oligark berusaha menyebarkan berbagai informasi baik dari pencitraan diri maupun sampai pada penyebaran janji-janji politik yang irasional bombastis.
Kedua akibat lanjut ialah para elit politik mendominasi dalam pemberitaan media sosial. Media sosial menjadi locus sekaligus bercokolnya elit politik dalam menebar pesona. Media sosial dilihat sangat ampuh dalam membentuk persepsi publik yang tidak kritis. Apalagi sebagian besar pengguna media sosial kurang kritis dalam membaca berita sekaligus memilahkan berita.
Cara yang digunakan ialah mengkonstruksi atau memodifikasi realitas sosial masyarakat secara hiperbolis, sehingga terkesan memprihatinkan. Juga ada fenomena membuat data-data palsu yang berusaha menggaet perhatian dan dukungan publik.
Cara ini tentunya menggambarkan bahwa moralitas elit politik buruk satu sisi. Sisi lain, bahwa berkembangnya data-data atau janji-janji politik yang palsu pada gilirannya akan menghambat jalannya suatu demokrasi secara substansial.
Pada titik ini kita pastikan bahwa ketika mereka menempati kursi tampuk pemerintahan, kebaikan bersama pasti dipinggirkan. Bahkan kebaikan bersama yang diimpikan tidak akan terealisasi.
Politisi Parrhesiast
Oleh sebab itu, dibutuhkan politisi atau elit politik truth–teller dalam membangun politik yang lebih adab di negeri ini. Politisi yang adab itu hanyalah seorang parrhesiast yang mampu mengatakan kebenaran dan kejujuran yang sesungguhnya.
Kata parrhesia sebenarnya digunakan secara formal oleh orang-orang Yunani yang dilihat sebagai salah satu nilai budaya mereka. Istilah ini kemudian digunakan dalam karya-karya retorik pada abad ke-5 SM terutama karya-karya Euripides (484-487 SM), yang juga digunakan secara intensional kemudian oleh Foucault.
Namun, secara etimologis kata parrhesia berasal dari kata bahasa Yunani yaitu pan yang berarti semua dan rhesis atau rhema berarti ekspresi. Dalam teks-teks klasik, parrhesia selalu memiliki arti positif yakni berbicara atau mengatakan kebenaran (Kebung, 1997:10).
Kata parrhesias ini kemudian digunakan untuk identitas orang-orang Yunani yang memiliki tanggung jawab tertentu dalam polis. Mereka dikategorikan sebagai orang-orang yang memiliki kualifikasi sosial dan moral baik, sehingga disegani oleh banyak orang. Dan Sokrates adalah salah satu potret peradaban Yunani yang memiliki kualifikasi sosial dan moral yang baik.
Ia (Baca: Sokrates) merupakan representasi dari seorang parrhesiast sejati. Dalam buku Republik, Plato memberikan suatu kesaksian tentang perjuangan Sokrates dalam demokrasi Atena. Sokrates digambarkan sebagai seorang yang berbicara dengan jujur dan benar tentang kalaliman penguasa. Akibatnya, ia ditolak dan dibunuh.
Hal ini menandakan bahwa perjuangan untuk mengatakan kebenaran, kejujuran yang lahir dari integirtas diri membutuhkan pengorbanan. Sokrates adalah prototipe untuk politisi zaman ini. Ketokohannya mesti menjadi salah satu contoh yang baik bagi para politisi.
Politisi diharapkan mampu meresistensi berbagai bentuk ketidakjujuran, ketidakbenaran dalam politik. Gerakan ini hanya mungkin terjadi ketika elit politik mempunyai komitmen dan ideologi yang jelas dalam pejuangan untuk kebaikan bersama.
Maka untuk mencapai hal ini, Boni Hargens dalam artikelnya yang berjudul “Hidupkan Emosi Prososial” (Kompas 9/11/2017, hlm.7) menggarisbawahai beberapa hal penting dan mendesak yang mesti dimiliki oleh politisi di era pasca-kebenaran ini.
Pertama, politisi atau elit politik harus mampu memproduksi kebenaran faktual dan menegasi muatan kekuasaan dalam postulasi kebenaran. Artinya seorang politisi mesti menjadi agen pembawa terang sekaligus teladan dalam menyampaikan kebenaran. Diharapkan bahwa kebenaran yang diproduksi betul-betul berakar dalam kehidupan sosial. Dibutuhkan data-data sosial yang akurat dalam memperjuangkan suatu good life. Hal ini mencegah terjadinya argumentasi dan janji-janji politik yang irasional (baca:bombastis).
Karena itu, dapat dikatakan bahwa elit politik mempunyai kuasa dalam mendekonstruksi berbagai patologi sosial yang ada. Foucault menegaskan bahwa kuasa itu dimiliki oleh setiap orang dalam sebuah relasi. Setiap politisi mesti menyadari diri sebagai pemegang kuasa dan mampu mengatakan kebenaran sesungguhnya dalam kehidupan politik bangsa ini.
Kebenaran itu menjadi corong bagi suatu perjuangan untuk mendapatkan tempat dalam pemerintahan. Dengan demikian elektabilitas calon pemimpin menjadi meningkat.
Kedua, mencari cara kontekstual untuk mempromosikan kebenaran di tengah kepalsuan pandemik. Politisi parrhesist mesti membuka mata sekaligus membuat terobosan baru untuk mempromosikan kebenaran dalam kehidupan bersama.
Cara-cara yang ditempuh mesti menggerakkan orang dalam menganalisis berbagai data sosial yang berkembang dalam masyarakat. Kemudian analisis itu dipublikasikan dalam ruang publik melalui media terpercaya atau mainstream.
Hal ini mengingat media-media mainstream selalu membuat klarifikasi terhadap berbagi analisis data itu. Dengan demikian, elit politik tidak terjebak dalam pendeskonstruksian data-data sosial secara palsu.
Ketiga, memperkuat struktur moral untuk melawan kepalsuan dan desepsi. Artinya elit politik mesti menjadi garda terdepan dalam merealisasikan nilai-nilai moral dan sosial itu.
Struktur sosial dan moral itu mejadi salah satu legitimasi terhadap tindakan politik. Sebuah tindakan politik hanya mungkin diakui dan diapresiasi apabila tidak melenceng dari norma-norma moral. Norma-norma sosial atau moral berusaha menggambarkan realitas sosial apa adanya. Pada gilirannya akan membentuk sikap altruisme dalam diri elit politik. Oleh karena itu, perkuatlah nilai-nilai moral dalam diri.