Oleh: Florianus Jefrinus Dain
Staf Pengajar di SMPK St. Ignatius Loyola, Labuan Bajo
Setelah dua dekade lebih Indonesia masuk dalam lingkaran reformasi, ada banyak harapan masyarakat tentang kemajuan negara ini dalam berbagai bidang kehidupan. Harapan itu kompatibel dengan ditegakkannya keadaulatan rakyat melalui mekanisme pemilihan umum pemimpin politik.
Rakyat dengan bebas memilih pemimpin sesuai dengan asas demokrasi itu sendiri. Di bawah oase pemilihan langsung, masyarakat mempunyai harapan agar kemajuan dan kesejateraan umum itu bisa terwujud dengan baik.
Kendati demikian, mekanisme pemilihan langsung tidak dapat berjalan secara gilang-gemilang. Salah satu tantangan yang ditampakkan dalam demokrasi moderen ini ialah dominasi demagog dalam politik akibat menguatnya massa mengambang. Selain itu, upaya pembusukan semakin massif, terstruktur, dan sistemasi dibangun dalam karangkeng kekuasaan korup. Upaya-upaya yang dilakukan demagog ialah mencaplok kedaulatan rakyat itu sendiri. Agitasi sang demagog berupaya melumpuhkan rasionalitas pemilih. Pilihan politik bukan lagi dilihat sebagai kemewahan pemilih dalam penentuan pemimpin. Kemewahan politik pemilih itu dilibas oleh intrik politik sang demagog. Dengan demikian, demokrasi memberi celah bertumbuh dan berkembangnya demagog. Demokrasi mengukuhkan lanskap pergerakan demagog.
Hingar-bingar agitasi sang demagog sudah terbaca jelas jelang Pilkada serentak 9 Desember 2020. Kegaduhan di ruang publik pun tak terhindari. Sang demagog menguasai seluruh panggung politik, sehingga mudah menguasai emosi para pemilih. Selain itu, demagog cenderung meresahkan masyarakat dengan jargon-jargon agitasinya. Kadang, apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan sering menimbulkan kegaduhan. Bahkan apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan bertentangan. Demagog meminggirkan nilai-nilai demokrasi seperti digagaskan para pemikir sejak zaman Yunani Kuno.
Secara genealogis, demagog itu muncul setua demokrasi itu sendiri. Di Atena, munculnya demagog selaras dengan pengagungan kebebasan. Kebebasan adalah tamen utama dari setiap tontonan kontroversial dari demagog. Tontonan ironik demagog ialah memandu opini publik dengan berbagai cara, bahkan tak jarang kekerasan epistemik pun bermunculan. Demagog pandai membaca psikologis massa yang rentan. Akhirnya demokrasi bukan digerakkan oleh pikiran, pengetahuan, melainkan dikuasai oleh tontonan kamuflase demagog yang kian mendistorsi politik. Akiabatnya, terjadi gesekan dan polarisasi masyarakat yang berujung pada kekerasan. Tak terbantahkan, dalam setiap pemilu, konflik-konflik di masyarakat semakin meluas. Makanya demokrasi tidak pernah berjalan mulus sesuai harapan masyarakat.
Kegaduhan Komunikasi Politik
Secara etimologis istilah demagog berasal dari kata bahasa Yunani, demos berarti rakyat, agogos berarti pemimpin atau penghasut. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia demagog berarti penggerak atau pemimpin rakyat yang pandai menghasut dan membangkitkan semangat rakyat untuk memperoleh kekuasaan. Demagog bekerja secara liar untuk membunuh karakter individu dengan cara mengindoktrinasi ideologi-ideologi politik dalam rangka membangun gerakan-gerakan untuk mendapatkan kekuasaan.
Filsuf Plato dalam bukunya Republic menggambarkan demagog sebagai seorang pemimpin yang memiliki karisma untuk menggerakkan massa yang total melayaninya. Ia adalah manusia yang rakus akan kekuasaan, kehormatan, dan berlindung di balik tembok pertahanan agama maupun kekuasaan. Kedekatannya dengan masyarakat membuat demagog dengan lihai mengahasut dan membakar api semangat masyarakat untuk menentang kekuasaan.
Sementara itu, James Fenimore Cooper dikutip Michael Signer dalam bukunya Demagogue: The Fight to Save Democracy Form Its Worst Enemies menyebutkan bahwa seorang demagogi (demagog) dalam arti yang sangat ketat, adalah seorang pemimpin rakyat jelata. Ia sesungguhnya memajukan kepentingannya sendiri, di atas klaim kepentingan rakyat. Menurut Cooper, seorang demagog mempunyai empat hal, yaitu, pertama, mereka menjadikan dirinya orang biasa, bukan elite politik. Kedua, mereka bergantung hubungan kuat dengan orang-orang yang secara dramatis populer. Ketiga, mereka memanipulasi hubungan tersebut untuk mendapatkan popularitas bagi keuntungan dan ambisinya sendiri (baca: intrik politik). Keempat, mereka mengancam dan melanggar peraturan perilaku, institusi, bahkan hukum yang berlaku. Demagog mematahkan aturan dan undang-undang. Sebagai tirani di negara sendiri. Secara eksternal demagog menyerang negara atau kelompok lain, dan menabrak hukum internasional (Michael Signer, 2009: 35)
Di Indonesia, tidak sedikit orang terindoktrinasi ajaran-ajaran sesat demagog. Akibat merasa ditinggalkan dan kalah, maka upaya menggagalkan kekuasaan pun dilakukan dengan berbagai cara seperti Sang Penguasa dalam ajaran Machiavelli. Orang mudah digiring dan tidak mampu berpikir sendiri secara otonom. Terjadi kebablasan dalam cara berpikir.
Demos kemudian terhanyut dalam lautan lepas virus demagog yang tak berujung pangkal. Tiang-tiang nilai luhur demokrasi menjadi keropos diterpa ombak pemikiran dangkal yang diuntungkan oleh kebebasan berpendapat. Tameng kedaulatan rakyat dalam mengutarakan pendapat mendapat tempat, sebagai basis argumentasi demagog. Dia berparasit dalam kebebasan irasionalitas yang mendepak pengikutnya menjadi kurang kritis. Transaksi doktrin dalam pasar bebas komunikasi menampilkan banalitas “kejahatan” dan kegaduhan. Hanya mau mengatakan ke publik tentang egalitarianisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, walaupun defisist penyanggah argumen rasional. Ia kemudian dengan sendirinya menjadi keropos.
Prinsip egaliter inilah yang menjiwai negara-negara penganut demokrasi. Di Indonesia maupun di negara-negara demokratis lainnya, kebebasan menyampaikan pendapat dijunjung tinggi, bahkan dihormati. Setiap tuntutan atau suara rakyat adalah ekpresi kebebasan itu sendiri. Dan karena itu, demagogisasi hanya mungkin dalam ruang-ruang terbuka. Demokrasi yang menciptakan peluang itu. Namun persoalannya, sejauh mana kebebasan itu dimaknai dalam terang demokrasi?
Tidaklah adil dan cukup kalau kran demokrasi dibuka seluas-luasnya bagi rakyat yang menggunakannya untuk kepentingan diri, bahkan merusak tatanan kebersamaan. Eskpresi kebebasan itu hanya mungkin sejauh tidak mengganggu hak dan kenyamanan orang lain. Sejauh ini, sejarah demagog di dunia selalu menimbulkan pilu dan kegaduhan dalam ruang politik, bahkan nyawa menjadi taruhan seperti fenomena Hitler di Jerman.
Parahnya masyarakat terbawa arus dengan konsep-konsep salah yang berusaha meruntuhkan kedaulatan itu sendiri dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat. Kolonisasi atas pikiran adalah bukti kurangya pedagogi kritis rakyat. Nalar menjadi tumpul akibat propaganda-propagan yang menluncur deras dalam ruang otak setiap individu. Pendisipinan cara berpikir ini tentu bertentangan dengan asas demokrasi yang meniscayakan keberpihakan pada hati nurani dan akal sendiri, sapere aude! Masyarakat bak kerbau yang dicocok hidungnya. Ke mana arah dan tujuan gerakan, pasti tidak tahu dengan baik. Apalagi berbicara tentang ideologi gerakan yang dibangun.
Perlawanan
Mengatasi munculnya demagog dalam kontelasi pemilu, moderasi dan pelembagaan politik mesti diperkuat dan diperketat. Restorasi nilai-nilai demokrasi moderen diinternalisasi dalam setiap fraksi politik. Hal ini dalam rangka membangun dan mengembangkan kultur politik yang berlandaskan pada gagasan politik. Hemat saya, kehilangan dan absennya kultur politik yang diproyeksi demokrasi moderen belum meresapi identitas politik itu sendiri. Roh politik mesti menjiwai seluruh dinamika politik dalam rangka menciptakan kohesi sosial sambil melakukan “inkulturasi” antara nilai-nilai demokrasi dengan kultur.
Pelambagaan politik tidak berjalan apabila nilai-nilai luhur demokrasi belum dikawinkan dengan kultur itu sendiri. Faktor-faktor ini mesti menjadi solusi dalam menghadapi berbagai wacana-wacana “murahan” yang berkembang dalam masyarakat. Dengan demikian, agitasi politik yang berujung pada konflik horizontal itu dapat diredam. Selain itu, kebebasan berpolitik (baca: berpendapat) harus dibatasi oleh setiap hak-hak orang lain. Tidak boleh mengatasnamakan kebebasan berpendapat atau berpolitik, orang dengan mudah mencaplok hak-hak orang lain. In se hak-hak itu dibatasi tanpa menciptakan polusi bagi orang lain. Perlu memperhatikan dan mempertimbangkan dinamika politik dan gagasan yang dibangun. Ada kesusuaian fakta dengan gagasan yang dibangun.
Oleh karena itu, hemat saya ada beberapa agenda resistensi stategis menggagalkan agitasi demagog jelang pilkada serentak Desember mendatang. Pertama, membangun narasi atau ide tandingan, sambil melakukan falsifikasi atas agitasi sang demagog. Ide tandingan yang rasional menjadi tameng dalam menangkal serpihan-serpihan ide irasional di ruang publik. Penangkalan itu dinyatakan dengan menarasikan kerja figur tertentu dalam kekuasaan. Kalau figur itu membawa dampak yang baik bagi demokrasi melalui loyalitasnya, maka perlu dijabarkan jejak-jejaknya. Hal ini bertujuan untuk menciptakan iklim kritis masyarakat dalam membaca fenomena politik. Pedagogi dan literasi kritis ini merupakan bagian terpenting dari pemilih rasional.
Kedua, penguatan dan penegakan hukum dapat mematahkan dan meruntuhkan demagog Hukum berkerja dalam memastikan dan terciptakan keteraturan dalam komunitas negara. Leyapnya hukum menjadi pemicu demagog berpenetrasi dalam demokrasi. Ia kemudian berusaha memanangkan hati rakyat untuk mendulang dukungan melalui narasi-narasi kepentingan bersama. Rakyat terpecah-pecah dalam rangkulan demagog. Dan ketika demagog sudah menguasai pikiran rakyat, dengan sendirinya individu-individu tidak mampu otonom sesuai hati nurani. Demos kelihangan imunitas sebagai subjek politik yang mampu berpikir tentang dunia.
Kultur demokrasi Indonesia sebagai negara hukum harus mampu menghadang terjadinya stagnasi dalam demokrasi oleh mobokrasi. Mobokrasi berkembang biak apabila hukum itu tidak berjalan sesuai fungsinya. Setiap upaya-upaya massa melalui penetrasi demagog menimbulkan kekacauan yang mahahebat diputuskan mata rantainya. Memutuskan mata rantai itu memang membutuhkan delik hukum positif yang adekuat.
Rakyat juga mesti taat pada hukum, selain penegakan oleh negara terhadap demagog berbakat tiran. Rakyat sendiri membangun etos taat pada prinsip-prinsip hukum negara demokratis sambil membina diri untuk selalu berpikir sendiri dan otonom dalam prinsip. Kekuatan negara maupun rakyat dalam menghancurkan demagog ialah dengan tunduk pada hukum untuk menciptakan stabilitas dan kebaikan bersama.