Bulan Patah dalam kelopak wijaya Kusuma
Ada bulan patah di langit malam.
Iringan awan menyapu sejenak dan diam.
Kesunyian puskesmas pecah nian.
Lengkingan bayi yang baru saja menambah jumlah kehadiran
Tertulis ataupun tidak tertulis tak selalu berarti.
Wacana kedatangannya yang perlu dimengerti.
Ayah dan ibu adalah kunci
Selebihnya adalah buktu-bukti
Dari sejumlah janji
(Maria Matildis Banda)
Vox NTT-Jika Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata berhasil menampilkan potret pendidikan, novel ‘Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor 3″ karya Maria Matildis Banda mampu merekam dengan jujur pengabdian paramedis di propinsi NTT.
Di propinsi yang terkenal dengan stigma tertinggal dan terbelakang ini, persoalan kesehatan masih menjadi bencana kesehatan yang harus segera dituntaskan.
Hal ini dibuktikan dengan masih tingginya angka kematian ibu di Provinsi NTT yakni 215/100.000 Kelahiran Hidup (Dinkes Provinsi NTT, 2012). Kematian bayi lebih tragis lagi. BPS NTT menyebut sepanjang tahun 2015-2017 tercatat Angka kematian bayi sebanyak 3.221.
Mari Banda dalam novel ini mengangkat kisah yang cukup problematik dan dramatik. Misalnya bagaimana ketika sebuah tabung oksigen diperebutkan, perjalanan ibu hamil terjebak di antara tebing, jurang, dan jalan putus.
Para tokoh yang hadir dalam novel ini, dihadapkan pada keterbatasan fasilitas, mitos, dan stigma budaya tentang pengambilan keputusan.
Tak ketinggalan pula kisah percintaan para dokter yang berujung pada pertanyaan mengenai salah atau benar saat dihadapkan pada sebuah kematian.
Kekuatan bahasa novel ini mampu melunakkan wacana medis yang terkesan beku dan serba klinis menjadi hangat dengan bahasa yang puitik dan romantik.
dr. Stefanus Bria Seran dalam testimoninya menyebut novel ini memberi inspirasi bagi petugas kesehatan untuk memberikan pelayanan yang prima.
“Bacaan yang baik untuk dokter, bidan, para medis, kader kesehatan, pemerhati kesehatan dan masyarakat pada umumnya,” demikian tulis dr. Stefanus pada halaman testimoni.
Bulan Patah dalam Kelopak Wijaya Kusuma
Novel ini tak hadir seorang diri, Maria telah menulis sequelnya “Bulan Patah dalam Kelopak Wijaya Kusuma”. Novel yang bakal dilaunching dalam waktu dekat ini, mengetengahkan pergulatan hidup paramedis dan dokter dalam menghadapi konflik kemanusiaan.
Konflik dalam alurnya mengangkat kehamilan yang tidak dikehendaki, kehamilan di luar nikah, serta kehamilan yang dibiarkan tanpa penangan medis.
“Konflik dibangun oleh lemahnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, relasi kuasa dan hegemoni antar tokoh serta stigma budaya,” jelas Maria dalam diskusi publik tentang masalah kesehatan NTT di Hotel T-More, Kupang, Senin (19/11/2018).
Bidan Rosa Dalima tokoh utama novel ini menangani persalinan Matilda (antagonis utama), pada tengah malam dalam hujan lebat dan angin kencang.
Meskipun Matilda adalah tokoh yang menjadikan Ros dengan Dokter Yordan kandas, Ros tetap menghadapinya dengan jiwa besar.
Ros juga menghadapi dua orang pelajar (Lusian dan Ana Maria) usia 16 tahun yang hamil dan merahasiakan siapa ayah dari janin dalam kandungnnya.
Selain Matilda, Lusia, dan Ana, Bidan ini juga berhadapan dengan Retha usia 18 tahun yang hamil tanpa tanggung jawab laki-lakinya, serta gadis lain yang bernama Dalima yang hamil dan dikucilkan karena perseteruan antara keluarga kedua pihak.
Berkali-kali bidan Ros menghadapi kehamilan bermasalah, kelahiran yang tidak dikehendaki, penderitan ibu tanpa tanggung jawab suami, serta rendahnya dukungan keluarga.
Beban baginya bertambah karena ia sendiri dirundung kemelut hubungan cintanya dengan dokter Yordan. Ia berada dalam tegangan antara menerima Yordan dengan berbagai risiko (karna ada Matilda didalamnya) atau memilih Dokter Sammy yang juga jatuh cinta padanya (dan ada Retha didalamnya).
Menghadapi konflik apapun dalam perjalan tugasnya, Ros selalu dipertemukan kembali dengan Yordan. Saat menghadapi serangan antrax di wilayah puskesmas tempatnya bertugas, Yordan yang dikontak pertama kali untuk datang segera.
Ketika Lusia menghadapi anemia, pendarahaan, dan tak sadarkan diri, Yordan yang dituju Ros. Saat Dalima mengeluh dan meminta pertolongan, yang dipikirkan Ros adalah mungkin Yordan bisa membuka jalan penyelesaian.
Demikian pula saat Retha harus segera dijemput dan dibawa ke Puskesmas, Yordan pula yang diyakini Ros dapat menolongnya. Sementara Yordan berada dalam tekanan orang tua serta tuntutan keluarga agar menikahi Matilda.
Matilda dan bayinya dapat diselamatkan. Lusia dan bayinya meninggal. Ana Maria dapat diyakinkan untuk menjaga kehamilan, melahirkan, dan melanjutkan kembali ke SMA. Retha dapat di tolong. Dalima ditemukan meskipun kedua bayi kembarnya tidak dapat diselamatkan.
Spirit Bunga Wijaya Kusuma
Ros selalu meyakinkan diri bahwa dirinya adalah bidan bukan hanya bidan. Dia menjalankan tugas dan dan tanggung jawabnya dengan tekun.
Tanpa disadari, sesungguhnya Ros menjalani pekerjaanya dalam spirit bunga wijaya kusuma, simbol dan filosofi Bhakti Husada. Wijaya kusuma yang memberi mekar dan harumnya pada malam. Berbunga saja, mekar saja, tanpa perlu menunjukan keindahanya. Begitu pula sosok bidan Ros. Menolong saja! Tanpa pamrih, tanpa perlu pujian.
Sekejam apapun intervensi keluarga bumil, bidan adalah bidan! Bukan hanya bidan, seperti bunga wijaya kusuma mekar saja, meskipun pada malam gelap tidak ada seorangpun yang bisa menikmati harum dan detik-detik mekarnya.
Bulan Patah
Bulan patah adalah simbol kehadiran perempuan yang merana dalam stigma budaya yang mengkonstruksi dominasi laki-laki; simbol para remaja perempuan yang ‘terjebak’ dalam pergaulan bebas, hamil dan terhegemoni dalam kelemahan diri serta kuasa pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Bagaimana pahit ataupun manisnya kenyataan, bulan patah memang berada dibawah lindungan wijaya kusuma.
Rosa Dalima. Bidan yang bekerja dengan sepenuh hati adalah simbol yang nyata dari Wijaya Kusuma yang mekar tanpa pamrih.
Pada suatu waktu ia bersama Dokter Sammy dalam perjalanan menemukan dan menyelamatkan Retha. Keduanya terjebak banjir. Ros nekat menyebrang dengan menggunakan tandu.
Sementara Dokter Sammy tidak dapat menyusul Ros karena takut banjir dan tidak berani menyebrang. Ros dalam keadaan basah kuyub segera datang pada Yordan karena Retha harus dijemput dan harus segera ditolong.
Bulan Patah diakhiri dengan pertemuan Ros dengan Yordan di Puskesmas Flamboyan. Dalam proses menolong Retha itulah Dokter Yordan pastikan kembali agar Ros percaya padanya dan Ros percaya.
Penulis: Irvan K