Oleh: Florianus Jefrinus Dain*
Demokrasi Indonesia selama ini masih menjadi domain para oligarki. Oligarki masih bekelindan dalam politik di negeri tercinta ini. Dan kalau kita lacak dengan baik oligarki yang berkelindan saat ini merupakan produk Orde Baru.
Sistem pemerintahan Orde Baru yang tersentralisasi serta berlakunya sistem kapitalisme menjadi lonceng bagi pertumbuhan kapitalis di Indonesia. Kemudian kita lihat bahwa para kapitalis itu bukanlah independen in se, melainkan juga bagian dari pejabat negara.
Maka dapat dipetakan bahwa Orde Baru menjadi basis sekaligus peletak dasar munculnya oligarki hingga saat ini. Sistem yang dibangun Soeharto telah membentuk politik elektoral di era reformasi.
Para kapitalis peninggalan Soeharto yang “berlagak” di era reformasi ini merupakan bagian dari anggota partai politik, bahkan pemimpin partai. Maka yang terjadi ialah pertautan kekuatan ekonomi dan posisi politik menghasilakan oligarki.
Oligarki pada dasarnya adalah kekuasaan politik yang dipegang oleh segelintir orang yang memiliki kekuatan modal.
Kekuatan modal menjadi jaminan dalam politik. Dan sudah dipastikan dalam setiap pemilu baik pilpres, pileg maupun pilkada, yang bertarung adalah para oligarki. Mereka mengerahkan kekuatan modal dalam rangka menggaet dukungan rakyat.
Karena itu, Jeffrey A. Winters melukiskan demokrasi kita sebagai demokrasi kriminal di mana para oligark secara teratur ikut serta dalam pemilihan umum sebagai alat kekuasaan politik dengan kekuatan kekayaan yang mereka miliki (F. Budi Hardiman, 2013:35).
Persis fenomena ini yang kita dapat dari pemilu serentak 2019 akan datang. Secara komprehensif kita bisa katakan bahwa pilpres 2019 adalah sebuah pertarungan dua kubu oligark yang sedang berusaha menggaet massa dengan pengaruh kekuatan modal.
Pengaruh kekuatan kekayaan ini akan menyebabkan juga bangkitnya populisme kanan. Kita bisa baca juga gerakan reuni 212 tahun ini sebagai penetrasi oligarki yang sedang bekelindan di negeri ini. Penetrasi oligarki akan melahirkan demokrasi yang lumpuh. Kekuasaan itu tidak lagi menjadi milik demos, tetapi milik oligarki. Karena itu, perlu dan mendesak bagi kita untuk mengembalikan kekuasaan itu ke tangan demos melalui penguatan masyarakat sipil.
Konsep Oligarki
Jika ditelusuri secara genealogis, kata oligarki memang sudah berkembang sudah dua ribu tahun yang lalu. Istilah oligarki telah lama dikenal dalam studi filsafat politik. Kata oligarki berasal dari bahasa Yunani, oligarchia. Oligarchia merupakan bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh sekelompok kecil elit dari masyarakat yang memiliki kekuatan kekayaan yang besar. Gagasan ini kemudian dirujuk pada filsuf termasyur Barat Kuno, Plato dan Aristoteles.
Dalam filsafat politik Plato (Republic), oligarki merupakan suatu sistem politik yang menandai regresi negara ideal, Kallipolis. Oligarki merupakan sebuah rezim politik atau negara yang dikuasai oleh orang-orang kaya. Kriteria pemilihan penguasa dalam sistem oligarki Platonis adalah akumulasi kekayaan dan tujuan satu-satunya negara adalah menjadikan penguasa semakin kaya.
Hal ini dipertegas oleh Aristoteles. Ia melihat oligarki sebagai salah satu model konstitusi Yunani yang kurang baik. Menurutnya, oligarki merupakan kekuasaan yang dipegang oleh orang-orang terpilih. Oligarki Aristotelian bukan merupakan sistem yang ideal karena gagal mempromosikan kebahagiaan, tidak sesuai dengan tujuan utama negara sebagai satu kekuatan yang utuh dan tidak berpihak pada kepentingan warga (Keladu Koten, 2010:185-186). Dengan demikian, berdasarkan filsafat politik Aristoteles dan Plato, oligarki merupakan salah satu bentuk rezim politik yang dikuasai oleh orang-orang kaya.
Kemudian juga ada beberapa pemikir sosial politik yang memiliki perhatian sama dalam menganalisis ekonomi-politik. Misalnya, Jefrrey A. Winters, Hadiz dan Robison berusaha merekonstruksi suatu pengertian oligarki yang lebih dalam.
Menurut Winters, oligarki merujuk pada sebuah sistem yang terdiri atas “politik pertahanan kekayaan oleh pelaku yang memiliki kekayaan material” (Jeffrey A. Winters, 2011:10). Dalam pengertian ini, Winters mengetengahkan aspek penting dari oligarki yaitu kekayaan yang menjadi sumber daya material bagi kekuasaan para oligarki dan dinamika politik pertahanannya yang dikelola secara politis.
Selain itu, Robison dan Hadiz mendefinisikan oligarki sebagai relasi-relasi kekuasaan yang didominasi oleh politik memepertahankan kekayaan. Dengan demikian, Robison dan Hadiz menekankan kekuatan sumber daya material sebagai basis politik. Ketidaksetaraan kekayaan material ini kemudian berdampak pada ketidaksetaraan politik. Akumulasi kekayaan material para oligarki ini memiliki kekuatan untuk menempatkan preferensinya dalam sebuah sistem politik, mendikte kebijakan serta mempertahankan dinasti kekayaan oligarki.
Paradoks
Bahaya yang muncul kemudian ialah para elit politik berhadapan dengan dua kepentingan dalam tubuhnya. Satu sisi mereka harus taat pada tugas dan kewajibannya. Setiap kebijakan yang muncul mesti dilandasi oleh kepentingan publik. Sisi lain ialah para elit politik tidak bisa terlepas dari kepentingan diri sebagai kapitalis. Konflik kepentingan ini tentunya akan sangat berbahaya dalam pembangunan bangsa. Akhirnya pada titik tertentu mereka membuat kebijakan publik sesuka hati.
Menurut Richard Robinson (1986) oligarki di Indonesia bukan borjuis yang independen dari pemerintah, melainkan pejabat negara sendiri, para perwira militer, keluarga, sanak dan teman mereka yang sebagai kaum kapitalis berasal dari penguasaan mereka atas monopoli, kontrak dan konsesi dalam proyek-proyek pembangunan Orde Baru. Dari sini mereka berkembang menjadi para pangeran kerajaan bisnis yang kita kenal sekarang ini.
Sejak Orde Baru mereka dianggap memegang apa yang disebut kekuasaan struktural, sektor bisnis atas negara dan masyarakat. Artinya hajat hidup dan bebaikan bersama sangat ditentukan oleh para oligarki. Menurut Robison, soalnya ialah mereka punya kepentingan yang lebih besar pada pembiakan kapitalisme. Praktik-praktik korup dan kolusi rezim otoriter-patrimonial itu sangat mengganggu, maka segera berbenturan dengan etos bisnis kapitalis yang dianggap rasional. Cara kerja bisnis kapitalis ialah pengakumulasian modal secara efisien. Itu berarti elit politi akan mengalami konflik kepentingan dalam mengambil kebijakan publik.
Hal ini terjadi karena kebanyakan kapitalis adalah sekaligus pejabat negara, perwira militer. Artinya antara pejabat ekonomi dan pejabat politik tidak ada banyak perbedaan. Maka konflik kepentingan itu tidak terjadi antara orang-orang yang berbeda, tetapi pada orang-orang yang sama. Cepat dan lambat orang-orang yang sekaligus melakukan aktivitas ganda itu (kegitan kapitalis dan pemerintah) akan sampai pada suatu titik di mana mereka terpakasa memlilih kapitalis dan birokrat.
Penguatan Masyarakt Sipil
Karena itu salah satu jalan keluar yang sangat tepat adalah penguatan masyarakat sipil. Masyarakat sipil mesti didefiniskan sebagai demos yang mempunyai kedaulatan itu sendiri.
Pendefinisian masyarakat sipil sebagai demos merupakan jalan yang tepat dalam mengartikulasi peran dan tanggung jawab dalam negara. Hal ini dapat kita lihat dalam gerakan melawan otorianisme Orde Baru.
Demos mempunyai kekuatan yang dasyat dalam menentukan arah pemerintahan. Melalui gerakan bersama (baca: mahasiswa), akhirnya Orde Baru tumbang dari kekuasaannya.
Maka konteks saat ini, perlawanan terhadap oligarki mesti berangkat dari gerakan bersama. LSM, para cendikiawan mesti menjadi corong artikulasi kepentingan masyarakat. Lembaga-lembaga itu mesti menjdai garda terdepan dalam membangun kesadaran politik masyarakat sipil.
Masyarakat sipil yang inklusif dan terkonsolidasi dengan baik niscaya dapat menjadi kekuatan dalam konfrontasi dengan kuasa oligarki yang kian menjadi-jadi. Konsolidasi kekuatan masyarakat sipil dapat dilakukan dengan memformat ulang demokrasi sebagai milik demos.
Demokrasi substansial mesti mengusung ide kesetaraan yang radikal dalam lanskap politik. Kesetaraan ini menyiratkan penguatan masyarakat-warga. Bila dibandingkan dengan preferensi-preferensi lain, masyarakat warga sebagai preferensi bersifat inklusif karena merupakan seperti kata Walzer “latar dari latar” yang mencakup semua preferensi. Sebagai preferensi yang mencakup preferensi-preferensi lain, masyarakat warga tidak menggiring pada preferensi yang ekstrem (F. Budi Hardiman, Ibid., 61.)
Dengan demikian akan terjadi penciptaan demokrasi yang subsatansial. Masyarakat warga secara aktif berperan dalam menentukan kesejahteraan dan keadilan.
Setiap kebijakan akan berdampak langsung bagi kehidupan masyarakat itu sendiri. Maka pergerakan para oligarki dibatasi sebagai akibat dari penguatan masyarakat sipil.
Hal ini tentunya menjadi jalan yang sangat baik dalam penciptaan masyakat demkokratis dan bebas-aktif. Dengan demikian, kontelasi elektoral bukan saja sebagai ajang penentuan pemimpin, melainkan pengejawantahan peradaban politik bangsa.
Semakin rakyat dilibatkan dalam pengambilan keputusan, semakin adab juga politik kita.
*Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero- Maumere-NTT, sekarang menjadi ketua kelompok diskusi Centro John Paul II, Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret. Kelompok Centro John Paul II bergiat dalam diskusi filsafat, teologi, ilmu-ilmu sosial dan politik. Nama Centro John Paul II diambil dari nama Paus Yohanes Paulus II yang pernah berkunjung ke Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret, Maumere-Flores-NTT pada tanggal 10-11 Oktober 1989.