Editorial, Vox NTT- Polemik pemberian hibah tanah milik Pemerintah Kabupaten Manggarai di Kelurahan Wangkung, Kecamatan Reok kepada PT Pertamina ternyata belum berakhir.
Penyerahan tanah seluas 24.640 meter persegi kepada PT Pertamina di Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten Mangarai Barat (Mabar) pada 11 Januari 2019 lalu, ternyata tak membuat riakan penolakan tumpul dan meredup.
Di Jakarta, Forum Gerakan Sadar Rakyat (GESAR) melakukan aksi penolakan hibah tanah tersebut di Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BMUN), Jumat (15/2/2019).
Baca Juga: Soal Aset Tanah, Gesar Jakarta: Pemda Manggarai Diduga Melawan Hukum
Jauh sebelum GESAR, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Ruteng dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Manggarai pernah turun ke jalan memprotes langkah Pemerintah Kabupaten Manggarai untuk menghibahkan asset tanah di Reo untuk Depot BBM Pertamina.
Baca Juga:
- PMKRI Ruteng: PT Pertamina Tidak Kasih BBM Secara Gratis
- Dialog GMNI di DPRD Manggarai Diwarnai Aksi Pukul dan Dorong Meja
Pemberian secara cuma-cuma tanah milik Pemda Manggarai ini sebenarnya tak sampai ke telinga khalayak. Pencentus informasi ke media massa ialah Marsel Nagus Ahang.
Anggota DPRD Manggarai ini mulai menggaungkan informasi hibah tanah di Reo kepada PT Pertamina melalui media massa lokal pada 28 November 2018 lalu. Sejak saat itu publik akhirnya mengetahui bahwa ada tanah milik Pemda Manggarai yang diberikan gratis kepada perusahan kaya.
Saat itu, Ahang menduga pimpinannya Simprosa Rianasari Gandut telah menerima fee dari PT Pertamina.
Ahang beralasan, Osi Gandut tampak ngotot mengetuk palu saat memimpin sidang paripurna internal permohonan persetujuan hibah dari DPRD terkait aset tanah milik pemerintah kepada PT Pertamina.
Padahal, ia dan sejumlah anggota dewan lainnya menolak kebijakan pemberian tanah secara cuma-cuma kepada perusahan korporasi, PT Pertamina (Persero). Ada sejumlah opsi penawaran pemanfaatan tanah oleh mereka, namun terpental dalam keputusan paripurna.
Baca Juga: Marsel Ahang Duga Osi Gandut Terima Suap dari PT Pertamina
Ahang juga menduga 4 dari 7 anggota pansus tanah DPRD Manggarai telah menerima gratifikasi dari PT Pertamina lantaran mengikuti pertemuan di sebuah hotel mewah di Bali pada 5-6 November 2018 lalu. Semua biaya ke Bali, kata Ahang, ditanggung PT Pertamina.
Pertemuan yang berlangsung di ruang rapat Hotel Patra Jasa Bali di Jl.Ir.H. Juanda Kuta Bali itu untuk membahas seputar penyerahan hibah asset tanah milik Pemda Manggarai ke Depot BBM Pertamina Reo.
Baca Juga: Ada Dugaan Gratifikasi di Balik Penyerahan Hibah Tanah Pemkab Manggarai ke PT Pertamina
Setelah informasi adanya kebijakan hibah tanah ini digelinding ke ruang publik, sorotan tajam berbagai pihak berkali-kali disampaikan dan menyasar kepada Pemkab dan DPRD Manggarai.
Ada yang menyebut kebijakan hibah tanah kepada perusahan kaya PT Pertamina sangat tidak layak. Sebab masyarakat yang tinggal di Kabupaten Manggarai yang masih miskin tentu saja sangat membutuhkan tanah tersebut.
Baca Juga: JPIC: Agak Lucu Aset Tanah Milik Masyarakat Dihibahkan ke Pertamina
Dalil kritikan lain yakni, Manggarai adalah salah satu daerah tertinggal. Sebab itu, perlu ada upaya pemanfaatan asset misalnya berupa penyewaan agar memberikan kontribusi bagi pendapatan daerah.
Ada juga yang menyoroti dan menilai Pemkab Manggarai telah dengan sengaja mengangkangi sejumlah peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
Bahkan ada yang menduga Pemkab Manggarai telah “berkonspirasi” dengan PT Pertamina di balik penyerahan asset tanah yang sudah puluhan tahun digunakan untuk Depot BBM Pertamina Reo.
Berbagai serangan kritikan tersebut tak membuat Bupati Manggarai Deno Kamelus berdiam diri.
Sebelum penandatanganan penyerahan di Labuan Bajo, ia selalu aktif merespon atas berbagai kritikan, dugaan, bahkan bernada tudingan sejumlah kelompok masyarakat di balik kebijakan asset tanah kepada PT Pertamina.
Deno memang mengaku, ada beberapa opsi lain selain hibah terkait keberadaan tanah di Kelurahan Wangkung tersebut. Misalnya, dalam bentuk jual-beli.
Namun pilihan ini tidak diterima pihak PT Pertamina. Jika tetap dipaksakan, kata Deno, maka risikonya Depot BBM Pertamina bakal hengkang dari Reo. Daerah Manggarai pun rugi.
Baca Juga: Bupati Deno Tetap Hibahkan Tanah di Reo Kepada PT Pertamina
Alasan Bupati Deno ini “dilibas habis” Ben Isidorus, anggota DPRD Manggarai.
Ben sendiri mempersilakan sikap PT Pertamina yang siap hengkang tersebut. Sebab, ia meyakini walau dia hengkang, toh BBM tetap disalurkan ke Manggarai.
Ia mengatakan, selama ini Depot BBM pertamina berada di Reo Kabupaten Manggarai. Kondisi BBM di Manggarai Timur dan Manggarai Barat pun masih tetap lancar dan tidak ada hambatan serius.
Apalagi kebijakan Presiden Joko Widodo telah ada yakni adanya pemerataan harga BBM dari Sabang hingga Merauke.
Baca Juga: Ben Isidorus Tolak Hibahkan Tanah di Reo Kepada PT Pertamina
Tak puas dengan alasan hengkang, Bupati Deno saat setelahnya kembali menghadirkan alas an bahwa kebijakannya itu telah berjalan di rel hukum. Penyarahan hibah, kata dia, sudah melibatkan Jaksa Pengacara Negara dengan legal opinion atau pendapat hukumnya.
Tak hanya itu, alasan lain yang dilontarkan Bupati Deno adalah bahwa dirinya hanya melanjutkan sejarah.
Dalam sejarahnya, kata dia, tahun 1979 ada surat dari Menteri Dalam Negeri. Surat tersebut ditujukan kepada para bupati di Indonesia timur.
Di surat itudisebutkan bahwa dalam rangka pelayanan BBM untuk masyarakat di wilayah terpencil di Indonesia timur, maka diminta kepada para bupati untuk menyiapkan tanah siap pakai.
Selanjutnya, Bupati Manggarai Frans Dula Burhan kala itu menyiapkan tanah. Kemudian, tanah tersebut diserahkan ke PT Pertamina (Persero) untuk membangun Depot BBM. Namun, secara legal formal belum ikut diserahkan kepada PT Pertamina (Persero).
Baca Juga: Semua Proses Hibah Tanah di Reo Libatkan Jaksa Pengacara Negara
Perang Ilmu Hukum
Pasca diskursus hibah tanah di Reo ke PT Pertamina tersajikan ke ruang publik, rasa yang ada di kalbu akar bawah macam-macam. Cemas dan yakin, optimis dan pesimis, pro dan kontra, dan lain-lain termaktub di hati dan pikiran sebagian masyarakat Manggarai.
Satu-satunya sandaran mereka di balik kebijakan hibah tanah ini adalah hukum. Sudah termaktub dalam hati sebagian masyarakat Manggarai bahwa hukum adalah panglima tertinggi untuk mengatur kehidupan masyarakat Indonesia. Termasuk apakah kebijakan Bupati Deno di balik penyerahan hibah ini benar atau salah di mata hukum.
Memang dalam hukum kita hanya pengadilan yang memutuskan benar dan salahnya seseorang atau sebuah kebijakan. Tetapi setidaknya, masyarakat mendapat gambaran awal tentang hukum yang tercerahkan.
Namun demikian, kehadiran ilmu dari praktisi hukum justru membuat sebagian masyarakat Manggarai yang menunggu ending dari polemik ini tetap berada dalam kebingungan. Sebab, beberapa praktisi hukum justru melahirkan pandangan pro dan kontra hibah.
Pro Hibah
Adalah Edi Hardum yang getol menyetujui kebijakan hibah asset tanah milik Pemda Manggarai kepada PT Pertamina.
Praktisi hukum asal Manggarai yang berdomisili di Jakarta dalam opininya di VoxNtt.com beberapa waktu lalu berpandangan bahwa tidak salah Pemkab Manggarai menghibahkan tanah ke PT Pertamina.
Dalam opini tersebut, Edi Hardum secara khusus menanggapi tulisan rekan advokatnya, Bonifasius Gunung SH, yang juga dimuat di VoxNtt.com pada 29 Januari 2019 lalu.
Ia menjelaskan, dalam membedah kasus memakai ilmu hukum perlu memperhatikan beberapa asas peraturan perundang-undangan, yakni, pertama, asas lex superior derogat legi inferior. Artinya, peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan yang rendah.
Kedua, asas lex specialis derogat legi generalis. Artinya, hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis).
Ketiga, asas lex posterior derogat legi priori. Artinya, peraturan yang paling baru melumpuhkan peraturan yang lama.
Dalam narasinya, alumnus S2 Hukum Universitas Gadjah Mada itu menyebut, hibah a quo adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah.
PP Nomor 2 Tahun 2012 ini merupakan aturan turunan dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Edi Hardum menegaskan, sebelum penandatanganan hibah di Labuan Bajo, Pemkab Manggarai telah mengikuti ketentuan UU dan PP a quo.
Pertama, sebelumnya pula dilakukan kajian secara hukum dari Jaksa Pengacara Negara. Edi Hardum berpandangan beranggapan kajian tersebut tidak salah, sebab dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan.
Selain itu, DPRD Manggarai membentuk pansus untuk membahas soal penghibahan itu dan menyimpulkan tindakan penghibahan tanah a quo tidak menyalahi peraturan perundang-undangan, karena itu dapat dilakukan.
Kata Edi Hardum, Bupati Manggarai Deno Kamelus mengatakan, tindakan penyerahan itu merupakan lanjutan surat dari Menteri Dalam Negeri tahun 1979. Dalam surat itu, Mendagri meminta Pemda menyiapkan lahan untuk PT Pertamina. Yang berkuasa di Manggarai kala itu adalah Bupati Frans Dula Burhan.
Sejak tahun 1979, kata dia, sudah ada bangunan depo dermaga di tanah seluas 2 hektare itu. Pemkab Manggarai hanya menuntaskan apa yang telah dilakukan Frans Dula Burhan kala itu.
Kedua, tindakan penghibahan tanah a quo juga berdasarkan pengadapat hukum legal opinion (LO) dari Jaksa Pengacara Negara (JPN).
Lantas Edi Hardum bertanya, apakah LO dari JPN diminta oleh Pemkab Manggarai atau oleh PT Pertamina tidak menjadi soal? Yang terpenting LO itu, kata dia, berisi mengenai tindakan penghibahan tanah a quo. LO JPN tetap menjadi dasar hukum atau argumentasi hukum untuk kedua belah pihak kalau ada yang mempersoalkan tindakan penghibahan itu.
Baca di sini selanjutnya pandangan hukum Edi Hardum. . .
Kontra Hibah
Bonifasius Gunung, seorang advokat asal Manggarai yang juga berdomisili di Jakarta masuk dalam daftar nama yang getol menolak hibah tanah ke PT Pertamina.
Dalam opininya yang juga dimuat di VoxNtt.com pada 29 Januari 2019 lalu, Boni menjelaskan, hibah dalam ruang lingkup peraturan perundang-undangan merupakan bagian dari isu hukum utama tentang pengelolaan dan pemanfaatan barang milik daerah (BMD).
Dikatakan, definisi hukum tentang hibah BMD dalam pasal 1 ayat 20 PP 27/2014 persis sama dengan ketentuan pasal 1 angka 24 Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 19 tahun 2016, selanjutnya disebut “Permendagri 19/2016”.
Dari ketentuan pasal 396 ayat (1) itu, dapat diambil kesimpulan bahwa institusi yang bersifat komersial tidak berhak menerima hibah.
Artinya, bahwa hibah BMD oleh kepala daerah merupakan tindakan kemanusiaan yang bersifat sosial, menopang kepentingan budaya dan turut serta memajukan lembaga pendidikan yang didirikan, bukan untuk mencari keuntungan (non komersial).
Itulah sebabnya Undang-undang terkait pengelolaan dan pemanfaatan BMD secara tegas mengatur bahwa tidak semua lembaga atau institusi berhak menerima hibah.
Hibah BMD bertujuan untuk memberikan pelayanan yang maksimal terhadap kepentingan rakyat di bidang sosial, budaya, keagamaan, kemanusiaan, pendidikan yang bersifat non komersial dan penyelenggaraan pemerintahan pusat/daerah. Hal itu secara tegas diatur dalam ketentuan pasal 396 ayat (1) Permendari 19/2016.
Baca di sini selanjutnya pandangan hukum Bonifasius Gunung. . .
Tak hanya direktur eksekutif Institut Transformasi Hukum Indonesia (ILTRA) itu yang masuk dalam daftar advokat kontra hibah. Ada juga praktisi hukum lain, yakni Edi Danggur.
Edi Danggur yang adalah seorang advokat asal Manggarai yang berdomisili di Jakarta memang sejak wacana hibah tanah ke PT Pertamina ini sangat vocal menolak.
Dalam opininya yang dimuat di VoxNtt.com pada 11 Januari 2019 lalu, Edi menyatakan, legal opinion (LO) tidak bersifat mengikat.
Menurut dia, ada tiga masalah hukum untuk mengkritisi argumentasi Bupati Deno di balik kebijakan hibah tersebut. Pertama, bagaimana kedudukan LO dalam praktik hukum acara perdata dan tata usaha negara?.Kedua, apakah isi sebuah LO bersifat mengikat sehingga Bupati Manggarai merasa wajib menghibahkan tanah rakyatnya kepada PT Pertamina?. Ketiga, dapatkah LO JPN dipakai sebagai tameng, perisai atau dasar pembenaran kebijakan hibah oleh bupati?
Edi Danggur menegaskan, LO sebagai doktrin bukanlah hukum. Sebab doktrin tidak mempunyai kekuatan mengikat seperti Undang-undang. Meskipun demikian, doktrin sering dipakai sebagai sumber referensi dalam berargumentasi hukum. Paling tidak karena dua hal. Pertama, doktrin itu mempunyai wibawa; Kedua, doktrin itu mempunyai sifat yang objektif.
Berwibawa dan obyektifnya doktrin itu karena mendapat dukungan dari para sarjana hukum. Sekali pun demikian, doktrin tetap bukan hukum. Doktrin hanya akan menjadi hukum, artinya mempunyai sifat mengikat, manakala hakim mengambil-alih doktrin itu untuk dimuat dan dipertahankan dalam suatu putusan pengadilan (Sudikno Mertokusumo, 2010:151).
Baca di sini selanjutnya pandangan hukum Edi Danggur. . .
Penulis: Ardy Abba