Oleh: Vinsen Derosari
Mahasiswa STFK Ledalero
Flores NTT beberapa hari terakhir (25-26 Februari 2019) dihebohkan oleh kunjungan Cawapres nomor urut 2 Sandiaga Uno, selanjutnya SU.
Kedatangan SU selain untuk berkampanye, tentu juga diobori oleh kepedulian nurani-politis untuk membedah dan menelaah secara tajam-kritis tentang kondisi masyarakat di Flores NTT.
Apabila ditelusuri secara detail kronologi kunjungan Sandi, terkuak beberapa fenomena rancak dan menarik berikut.
Pertama, Kunjungan SU Ke Flores-NTT rupa-rupanya tidak digauli secara santun oleh ‘sebagian masyarakat’.
Kedua, sentimentalitas dalam berpolitik menghantui sebagian kecil masyarakat NTT. Tesis ini dapat dicrosscheck dalam kronologi kunjungan Sandiaga mulai dari Maumere sampai di Labuan Bajo.
Sentimen itu terkuak dalam pemasangan poster bertajuk “Selamat Datang Cawapres No. 02 Sandiaga Uno, Anda Memasuki Kawasan Jokowi-Maru’f “ di patung Tekaiku Maumere dan actus seorang pedagang ikan di TPI, Kampung Ujung, Labuan Bajo.
BACA JUGA: Pengakuan Kornelis, Penjual Ikan yang Dikabarkan Mengusir Sandiga Uno
Ketiga, factum ketimuran yang tampak familiar dengan sebutan ‘menjunjung tinggi solidaritas nilai dan hospitalitas’ serentak dilabrak dan diruntuhkan oleh kegaduhan fanatisme semu atau bisa juga disebut bahasa tubuh politik sebagian warga polis Flores-NTT. (Bahasa tubuh politik selanjutnya dielaborasi dalam poin keenam).
Keempat, menyambung fanatisme ini sejenak dipahami bahwa masyarakat NTT terkesan fobia dengan peralihan sebuah kursi pemerintahan.
Untuk konteks ini, penulis membuat demarkasi ruang pemahaman bahwa orang seringkali terikat dengan karakter kepemimpinan tertentu hingga lupa niat baik lawan politik tertentu. Semisal, orang mendiskreditkan SU demi mengunggulkan paslon pilihan mereka.
Kelima, hospitalitas SU sebagai subjek politis tidak dipahami secara baik oleh sebagian masyarakat. Subjek politis yang dimaksud adalah pembawaan diri SU sebagai pribadi terlepas dari statusnya sebagai Cawapres nomor urut 02 yang sedang berturbulensi dalam kontestasi pilpres mendatang.
Dan Keenam, bahasa tubuh politik menjadi representasi utama dalam menentukan arah demokrasi. Penulis membatasi ruang pemahaman bahasa tubuh politik ini dalam dua poin.
Pertama, bahasa tubuh politik yang mempertautkan kepentingan antara rakyat vs pemimpin dan kedua, bahasa tubuh politik yang mengungkapkan pertautan kepentingan antara penguasa dengan pengusaha. Bahasa tubuh politik merupakan reaksi terhadap kelahiran demokrasi.
Keenam poin substantif di atas merupakan tanggapan kepedulian penulis terhadap sirkulasi perpolitikan yang berimpresi gagal mengakrabi realitas demokrasi.
Oleh karena itu, intensi utama tulisan ini adalah menggelitik wawasan masyarakat mengenai urgensitas politik partisipatif tanpa digandrungi oleh dalil-dalil sentimentalitas terhadap lawan politik tertentu.
Menyoal Bahasa Tubuh Politik
Dalam tradisi intelektual Yunani klasik, politik dipersepsi sebagai sebuah kebutuhan bagi semua warga polis. Politik berarti apa yang menjadi milik polis.
Dalam pengertian ini, semua aktivitas yang berlangsung dalam polis dianggap politis (Yosef Keladu Koten:2010) termasuk juga ungkapan bahasa politik.
Singkatnya, politik merupakan domain yang merangkum, mengurai dan mengkaji kesatuan semua warga polis. Dalam berpolitik setiap subjek membangun kontak dan komunikasi antar sesama sebagai konsekuensi logis dari adanya sebuah peradaban.
Komunikasi ini kemudian memunculkan representasi bahwa subjek yang tanggap dalam membangun dan merancang arah demokrasi adalah subjek yang cermat dalam berbahasa.
Bahasa dalam politik akan merangkum semua kepentingan publik. Dengan ini bahasa menjadi tali pengikat untuk memintal intensi dan keinginan antara penguasa dengan rakyat.
Bahasa tubuh politik merupakan tanggapan kritis publik terhadap arah demokrasi yang bisa saja dimunculkan dalam dua reaksi biner, entah itu menolak ataupun menerima subjek politis.
Keterikatan bahasa tubuh politik di dalam polis amat menentukan kualitas kehidupan berdemokrasi. Bahasa tubuh yang menyatakan ‘keengganan’ terhadap subjek politik tertentu bisa saja dipahami sebagai bentuk kepedulian terhadap demokrasi atau bisa juga dipahami sebagai sebuah kebobrokan demokrasi.
Akan tetapi, batasan bahasa politik yang dipakai oleh penulis lebih kepada prioritas respek masyarakat terhadap subjek yang ikut dalam kontestasi politik. Oleh karena itu, dalam konteks bahasa tubuh politik subjek yang getol mendiskreditkan lawan politik adalah subjek yang kehilangan daya saing untuk berdemokrasi secara sehat.
Entitas bahasa tubuh politik dapat dimaknai dalam memoar kunjungan SU ke Flores-NTT. Kedatangan SU, selain memuat isu politis tentu juga menjadi salah satu bentuk kepedulian politis untuk mengenal serentak memahami polemik bahasa politik masyarakat Flores-NTT.
Bahasa tubuh politik publik yang dimaksud adalah tanggapan warga polis Flores-NTT atas kedatangan SU. Tanggapan bahasa politik tersebut rupa-rupanya menuai beberapa polemik publik yang perlu dikritisi.
Pertama, bahasa tubuh politik yang dipakai oleh ‘sebagian warga’ Flores-NTT bisa dilihat sebagai bentuk fobia pluralitas dan multikulturalisme nilai (orientasi politis). Bukti bahasa tubuh politik bisa terurai dalam Pemasangan Poster di Patung Teka Iku Maumere yang secara eksplisit menolak kedatangan SU.
Bahasa tubuh politik warga (demos) dalam bentuk pemasangan poster dapat dijadikan sebagai entry point bahwa masih ada sebagian masyarakat yang kurang terlalu memahami makna pluralitas dan multikulturalisme nilai.
Term pluralitas dan multikurtulasime nilai secara definitif berarti memaklumkan perbedaan pemahaman dalam masyarakat. Dalam menanggapi kedatangan SU ketimpangan pemahaman terhadap pluralitas dan multikulturalisme nilai ini dapat dispesifikasi ke dalam antusiasme sebagian masyarakat untuk menolak paslon tertentu. Semisal, pembuatan poster penolakan di ruang publik atau racikan bahasa yang kurang terlalu santun terhadap subjek tertentu, dalam hal ini SU.
Selain itu, factum gagal pahamnya sebagian masyarakat terhadap pluralitas dan multikurturalisme ini terkooptasi dalam kehilangan daya gigit nurani untuk memahami bahwa pilihan politis itu bervariasi dan tidak searah.
Persoalan pertama ini dapat dipahami sebagai sebuah realitas koinsidensi yaitu penolakan di satu sisi dan di lain sisi gagal respek terhadap subjek politis lain yang berbeda pilihan.
Kedua, bahasa tubuh politik yang kurang santun menjadi representasi dari lemahnya tanggapan sebagian subjek politis dalam mencerna solidaritas nilai.
Blusukan yang dibuat oleh SU di Pasar ikan Kampung Ujung Labuan Bajo sebenarnya tidak perlu dipersoalkan dengan pemakaian bahasa yang kurang santun. Kendati dari sudut pemahaman si penjual ikan bahwa bahasa tersebut sebenarnya tidak dimaksudkan untuk mendiskreditkan SU, akan tetapi sebagai subjek politis yang mengenal norma dan keadaban kualitas berbahasa penting untuk diperhatikan.
Sebab kualitas bahasa seseorang di ruang publik akan menentukan kualitas demokrasi itu sendiri. Karena itu, berbahasalah secara santun tanpa melabrak etika dan norma dalam masyarakat.
Ketiga, bahasa tubuh politik yang marak tersebar masif di ruang publik adalah aktus kekurangcermatan sebagian warga polis terhadap konsekuensi demokrasi. Adalah sebuah keniscayaan bahwa dalam berdemokrasi seseorang dihadapkan pada realitas memilih dan dipilih. Konsekuensi dari kehadiran SU tidak dilihat sebagai imbas dari adanya demokrasi itu sendiri.
Dalam berdemokrasi kita bebas menjadi pasif dan aktif untuk memilih tetapi dalam demokrasi tidak dianjurkan untuk mendiskreditkan lawan politik dan menganggap seolah-olah si lawan politik tidak baik dari segi moral dan pembawaan dirinya.
Untuk konteks ini, benar kata Sil Ule: “Politik ternyata bisa buat kita jadi brutal”. Kebrutalan itu bisa terurai dalam bentuk yang sederhana semisal kejadian yang menimpa SU.
Tentu penulis tidak berikhtiar untuk membela SU, tetapi yang diterangkan adalah kita boleh berpolitik asalkan jangan diinstrumentalisasi oleh sebuah kepentingan yang fatalistis apalagi mendiskreditkan kewibawaan subjek politis di ruang publik.
Menyikapi beragam persoalan di atas, disadari bahwa berpolitik itu menuai banyak risiko. Risiko itu tidak akan pernah memunculkan persoalan apabila elemen publik cerdas memakai bahasa politik publik.
Kecerdasan memakai bahasa adalah bentuk tanggapan partisipatif terhadap sirkulasi perpolitikan sebuah negara demokrasi. Atas dasar ini, partisipasi politik berarti mengambil bagian dalam kehidupan publik atau dalam kehidupan polis secara keseluruhan (Keladu Koten:2010).
Wujud partisipasi itu adalah melihat subjek politik sebagai bagian dari polis yang memiliki andil untuk menentukan kehidupan berdemokrasi. Selamat bergejolak.