Oleh: Vinsen Derosari
Eric Hobsbawn pernah mengutip syair dari George Hegel demikian “burung hantu Dewi Minerwa melayang di langit senja” (Anderson, 2001:xlix).
Hobsbawn mengadopsi syair ini sebagai bentuk reaksi dan lemparan kritikan banter terhadap nasionalisme yang terkesan idiosinkratik (ganjil).
Dalam mitologi Yunani Kuno, Dewi Minerva dikenal sebagai sosok yang bijak-bestari dan selalu didampingi oleh burung hantu. Burung hantu merupakan sebuah emblem yang diasumsi mampu membaca tanda-tanda zaman yang sedang sekarat atau fatalistis.
Di lain pihak, burung hantu dinilai sebagai burung yang jarang berhijrah. Artinya, apabila dalam satu kesempatan sang burung terbang keluar dari kerangkengnya maka secara simultan-aksiomatis dipahami bahwa kita sedang menempati zaman yang kronis.
Secara frontal, satire Hegel ini diasumsi determinan untuk menilai kontekstualisasi satu zaman atau masa tertentu. Dalam frame pemikiran yang sama, penulis mengadopsi aktualitas satire Hegel ini untuk mendeskripsikan dan mendeklarasi konteks persoalan milenial yang turut berkolaborasi dan menjajaki ruang publik hari saban.
Anggapan definitif tentang tesis utama kelahiran milenial biasanya selalu diarsiteki oleh factum transformatif-manjur atas satu zaman tertentu (New Age). Itu berarti milenial dipahami sebagai ‘obor’ produktivitas-progresif manusia.
Di sisi lain, kehadiran milenial diasumsi juga sebagai berkah zaman now yang tiada taranya. Konsekuensi logis dari keberkahan milenial tertuang dalam begitu banyak aspek, entah itu yang berskala positif-konstruktif maupun negatif-destruktif.
Singkatnya, milenial mendisposisikan subjek sebagai bagian dari ‘produk zaman’.
Akan tetapi, sejak Karl Mannheim mendeskripsikan karakter generasi x, y dan z, kesadaran akan perubahan siginifikan antara generasi makin mendapatkan perhatian (Kompas, 8 september 2018).
Atensi Mannheim tentu tidak pernah terlepas dari adanya dorongan untuk membaca bias pengaruh dari kemajuan terhadap kondisi psikologis satu generasi termasuk generasi milenial.
Dalam ranah publik, term milenial biasanya selalu dimodifikasi dan dipersepsi secara plural/majemuk. Di satu pihak, milenial distimulasi sebagai pelecut bagi generasi tertentu (baca:milenal) untuk mengikuti alur perubahan dan di lain pihak milenial diasumsikan sebagai jaringan kooptasi yang melanggengkan disrupsi nalar publik.
Persis dalam konteks yang sama simultanitas milenial memiliki tendensi untuk mengakbarkan dan mengkampanyekan wabah bagi heterogenitas publik.
Kontak Wabah Milenial (Digital Toxic)
Term wabah erat kaitannya dengan simtom patologi-akut yang menggerus bangunan tubuh tertentu. Dalam studi medis, mensinkronkan term wabah dengan kondisi manusia sama halnya dengan membahasakan manusia yang sedang sekarat dan terkondisi dalam ketakberdayaan yang kronis.
Sehubungan dengan itu, term wabah akan memperoleh makna yang sama apabila dikondisikan dengan satu masa atau tenggang waktu tertentu (baca: milenial).
Wabah milenial berarti patologi akut yang menyertakan ketertarikan instan serentak bermuatan pasungan yang mengunci ruang gerak satu generasi.
Fokus wabah milenial adalah melucuti satu generasi tertentu untuk gagap dan asing terhadap perubahan atau dalam bahasa yang lebih ekstrem menghasut mereka untuk terdisrupsi dari nalar publik.
Gagasan tentang disrupsi nalar publik secara definitif dapat dimaknai sebagai kondisi ketercabutan satu generasi dari konsolidasi ide-ide publik.
Dengan demikian, peran mereka untuk mengakrabkan keadaban publik akan mengalami stagnansi masif.
Berhadapan dengan problem serius semacam ini tentu tidak dapat dinafikan bahwa kedigdayaan teknologi bukan merupakan sebuah cerita fiksi atau utopia naratif belaka tetapi sudah menjadi factum terberi yang wajib untuk direspon.
BACA JUGA: Ketika Revolusi Industri 4.0 Menyentuh Pariwisata NTT, Sudah Siapkah Kita?
Pada tataran ini, term milenial menjadi satu wabah publik yang niscaya ada dalam diri manusia. Sehingga untuk konteks tertentu terdapat paradigma bahwa milenial dipandang sebagai sesuatu yang terberi atau dalam bahasa Hannah Arendt sesuatu yang banal terjadi.
Secara ringkas, penulis merangkum indikasi kemunculan wabah milenial dalam dua kunci analisis.
Pertama, wabah milenial (digital toxic) akan menjadi entry point bagi ketercabutan pemuda dari gencatan perubahan. Fakta simultan bahwa generasi milenial terlibat dalam gegap gempita teknologi bukanlah sebuah amunisi belaka.
Hal itu terbukti dengan godokan survey dan diagnosis tahun 2017 dan 2018 oleh APJII yang menyoroti bahwa penggunaan internet yang berskala masif bertendensi mendatangkan depresi.
Elaborasi statistiknya demikian: 89,35% layanan chating, 87,12% sosial media, 59,5% pengguna media sosial lebih dari 3 jam per hari memiliki kecemasan lebih tinggi dibanding kurang dari 3 jam. 50 dari 100 perempuan pengguna medsos berisiko terkena depresi dan 35 dari 100 laki-laki pengguna medsos juga berisiko terkena gangguan kesehatan yang sama (Bdk. Survei APJII tahun 2018).
Hal ini berujung pada nomofohbia (semacam teror ketakutan berskala eksesif terhadap subjek tertentu apabila terjadi sesuatu pada handpone semisal kekurangan arus baterai, kehilangan hp, kehabisan pulsa dll ) dan gangguan kejiwaan publik.
Kedua, wabah milenial selalu menyediakan menu aplikatif yang instan. Menu-menu instan tersebut umumnya selalu berpihak pada subjek yang nirbijaksana dalam menggunakan media. Semisal, orang yang terjebak dalam penyalahgunaan media cenderung agresif mempopulerkan hoaks atau dusta kebohongan.
Selain itu, media juga kerap diprakarsai sebagai instrumen pelampiasan hasrat (www.sanglah-institute.org diakses pada tanggal 10 Februari 2019). Penting diketahui bahwa dalam media, semua privasi diakumulasi menjadi kepemilikan publik sehingga tidak ada unsur ekslusivitas di sana.
Informasi yang semula dimiliki secara pribadi akan tersebar dengan instan dan cepat. Dengan demikian, kebersamaan dalam media kendati dirasakan secara maya akan lebih terikat dan fantastis dibandingkan dengan relasi hadap-hadapan. Ini yang kemudian penulis maknai sebagai reaksi dari adanya menu aplikatif yang instan dan bobrok. Tetapi, dalam konteks ini penulis sama sekali tidak bermaksud ‘menghasut dan menghina’ pengguna media.
Berhadapan dengan persoalan ini, semakin disadari bahwa hidup di antara tegangan (wabah milenial dan disrupsi nalar publik) menjadi suatu keniscayaan. Kedua tegangan ini hemat penulis bisa diatasi melalui rejuvenasi pemahaman akan urgensitas teknologi.
Rejuvenasi pemahaman tersebut dapat dispesifikasi ke dalam ‘pengencangan’ elitisasi kesadaran kritis, pendidikan berbasis teknologi/literasi digital dan sosialisasi aplikatif kepada subjek milenial.
Selain itu, manusia yang berliterasi digital dituntut untuk berani meragukan (baca: skeptis) keabsahan sebuah informasi. Sehingga muara kebenaran dapat ditemukan oleh setiap subjek.
Dalam hal ini diperlukan skeptisisme, yakni meragukan kebenaran sebuah informasi dengan menampilkan hal lain yang benar. Hal itu bisa dalam arti keraguan ringan (mild sceptism) sampai keraguan radikal (radical sceptism), (Robert Bala: 6).
Demi menggolkan agenda ini, hemat penulis bukanlah sesuatu yang muskil apabila gebrakan-gebrakan ini masuk dalam locus perhatian kurikulum nasional. Dalam arti, institusi pendidikan bangsa harus belajar untuk mengakrabi diri dengan peradaban teknologi yang kekinian. Sehingga, pemberdayaan subjek milenial akan tetap terkualifikasi.
Dengan demikian, terciptanya subjek yang berkeadaban akan menjadi agenda bersama dan juga menjadi finalitas universal. Salam Literasi.
*Penulis adalah Mahasiswa STFK Ledalero