Oleh: Herry Kabut
Revolusi Industri 4.0 ditandai dengan penggabungan antara teknologi komputer dan internet untuk menggerakan hampir semua proses produksi manusia.
Panji industri 4.0 membawa ciri khas seperti internet of things (IoT), otomatisasi, sistem cyber-fisik, dan kecerdasan buatan (AI) yang mempengaruhi manusia dalam penilaian etis.
Konsep “industri 4.0” pertama kali digunakan dalam pameran Industri Hannover Messa di kota Hannover, Jerman di tahun 2011.
Meskipun demikian, perbincangan bahkan perdebatan mengenai Revolusi Industri4.0 (walaupun tidak disebutkan secara jelas dengan istilah Revolusi Industri 4.0), sudah terjadi pada beberapa tahun sebelumnya di kalangan sosiolog.
Pada akhir abad ke-20, banyak orang berpendapat bahwa kita berdiri di muka gerbang era baru, yang harus direspon ilmu sosial
Di Indonesia, istilah Revolusi Industri 4.0 semakin digalakan oleh pemerintah saat ini. Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian (Kemenperin), telah resmi meluncurkan Making Indonesia 4.0 sebagai tanggapan pemerintah atas Revolusi Industri 4.0.
Dilansir dari Kemenperin, perancangan Making Indonesia 4.0 merupakan sebuah peta jalan yang terintegrasi dalam pengimplementasian strategi antisipasi dalam menghadapi perkembangan dunia industri.
Kehadiran Revolusi Industri 4.0 bagaimanapun memunculkan pertanyaan mendasar; apakah masyarakat sudah siap menyambut era baru ini?
Dua Ekstrem
Dalam perpektif Ilmu Sosiatri, ada dua sikap (ekstrem) yang dapat diambil atau ditunjukkan masyarakat terhadap perubahan sosial.
Pertama, menghendaki agar perubahan fisik dan teknologi menunggu terjadinya perubahan sikap mental, sehingga masyarakat “siap” untuk menerima perubahan tersebut.
Dalam konteks menyambut Revolusi Industri 4.0 masyarakat harus dipersiapkan secara sungguh-sungguh agar dapat turut berpartisipasi di dalamnya.
Langkah yang perlu diambil adalah mendidik masyarakat agar dapat tumbuh menjadi pribadi yang melek teknologi.
Pendidikan dan literasi dalam menyambut Revolusi Industri 4.0 mencakup emat hal yaitu: Pertama, mendorong siswa untuk menguasai internet of things (IoT).
Kedua, menggunakan teknologi digital untuk meningkatkan produktivitas daya saing usaha mikro, kecil, dan menengah.
Ketiga, adopsi augmented reality, sistem cloud, cybersecurity, robot otonom, dan data besar (big data).
Keempat, inovasi teknologi melalui perusahaan baru dengan memfasilitasi inkubasi bisnis. Pendidikan dan literasi teknologi sangat perlu dilakukan untuk mengatasi kesenjangan pemahaman tentang sifat industri 4.0 antara daerah-daerah “maju” dan daerah-daerah “berkembang” di Indonesia.
Revolusi industri 4.0 tidak boleh serempak dijalankan, melainkan harus mempertimbangkan kapasitas dan kualitas masyarakat di berbagai daerah di Indonesia.
Gab antar daerah ini juga dibaca oleh Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla. Beliau mengatakan, tanpa SDM yang baik, kita akan pincang. Teknologi tak dapat dicegah, yang penting adalah bagaimana menghadapinya.
Kedua, masyarakat menghendaki dilaksanakannya perubahan fisik dan teknologi tanpa harus memperhatikan apakah sikap mental masyarakatnya sudah cocok atau belum.
Dampaknya, sikap mental masyarakat kita akan terseret mendekati modernisasi. Saya menduga bahwa Hanif Dhakiri, menteri Ketenagakerjaan, mengikuti pola pikir ekstrem kedua ini sehingga dia berpendapat bahwa “Revolusi Industri 4.0 tidak perlu dikhawatirkan. Secara umum, sejak revolusi industri pertama hingga sekarang, manusia selalu survive dengan perkembangan, yang penting adalah mengantisipasinya” (Tempo, 9-25 november 2018:10).
Jalan Tengah
Pada dasarnya kedua ekstrem tersebut masing-masing mengandung kelemahan. Ekstrem yang pertama akan membutuhkan waktu yang cukup lama, sedangkan ekstrem yang kedua akan mudah menimbulkan proses disorganisasi sosial dan tidak fungsionalnya hasil pembangunan.
Mengingat hal tersebut, pada umumnya orang lebih senang memilih tempat di antara keduanya sebagai jalan tengah. Dengan harapan akan dapat meniadakan atau mengurangi kelemahan masing-masing dan saling memanfaatkan keunggulannya.
Pemilihan tempat di antara kedua ekstrem tersebut bukan barang yang mustahil untuk dilakukan, karena pada dasarnya perubahan sosial (Revolusi Industri 4.0) bukan merupakan hal yang bersifat antagonis.
Sebaliknya, dengan mengambil proporsi yang tepat, keduanya justru akan saling mengisi dan melengkapi dalam rangka memperlancar proses pembangunan yang berjalan.
Tentang posisi mana yang dipilih, apakah condong pada ekstrem pertama ataukah ekstrem kedua sangat ditentukan oleh kondisi masyarakat yang hendak dibangun serta target dan sasaran pembangunan itu sendiri.
Kita memang tak menampik dampak negatif dari semua pilihan. Revolusi industri di Inggris pada akhir abad ke-18 misalnya justru menciptakan segregasi sosial antara kaum borjuis (kelompok pengusaha) dan kaum proletar (kaum pekerja).
Belajar dari ketidakseimbangan antara perkembangan teknologi dengan perubahan struktur sosial dan ekonomi yang mengikutinya tersebut, Wening Udasmono, Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM mengatakan, pihaknya tidak ingin gegabah dalam menetapkan kebijakan untuk mempersiapkan Revolusi Industri 4.0, seperti menambah mata kuliah baru atau melakukan transformasi digital secepatnya.
Niat tersebut diputuskan dengan perhitungan bahwa studi sosial humaniora harus memandang dengan kritis suatu peristiwa sosial yang melibatkan manusia secara umum, supaya peristiwa tersebut tidak merugikan orang banyak.
Namun, diakui oleh Wening, pihaknya saat ini sudah membentuk tim yang sedang mengkaji lebih dalam Revolusi Industri 4.0 dan dampaknya terhadap ranah sosial dan humaniora.
“Kami sedang mencari sebuah jalan di mana kita sebagai seseorang yang mendalami bidang sosial dan humaniora, dan masyarakat pada umumnya tidak merasa tertinggal saat melakukan adaptasi perkembangan teknologi teramat cepat di Revolusi Industri 4.0 ini. Jangan sampai manusia yang seharusnya memanfaatkan teknologi, malah diperbudak oleh teknologi” (Ridho, dkk, dalam Bulaksumur Pos, 6 Agustus 2018:8).
*Penulis adalah anggota Kelompok Studi Tentang Desa, tinggal di Yogyakarta.