Oleh: Thomas Tukan*
Sampai hari ini ketenagakerjaan belum menjadi indikator makro mendongkrak perekonomian bangsa. Padahal kita memiliki angka demografi yang cukup besar. Malah kebalikan ketenagakerjaan menjadi salah satu penyumbang kemiskinan yang cukup besar.
Terbukti dari survei Bank Dunia yang menyatakan bahwa ketimpangan, kemiskinan dan pengangguran sebanyak 30% berasal dari sektor ketenagakerjaan.
Kenapa Pendidikan, keterampilan dan kesehatan rendah – karena miskin, kenapa miskin – karena persoalan ketenagakerjaan, jadi berputar terus di situ seperti lingkaran setan.
Saat ini persoalan ketenagakerjaan di Indonesia sedang menghadapi tantangan besar. Ada banyak hal yang menuntut keseriusan strategis untuk mereformasi ketenagakerjaan. Misalnya; sistem upah yang selalu tidak pasti, outsourcing yang tidak mudah dihapus dan mengakibatkan jaminan nasib kerja buruh yang tidak pasti, PHK dan pengabaian hak pekerja lainnya, hubungan kerja yang tidak jelas, kriminalisasi pekerja di dalam maupun di luar negeri, persoalan human trafficking bermodus TKI, proses hukuman mati para tenaga kerja luar negeri yang masih menggantung, penegasan hubungan bilateral dan multilateral bersama negara-negara penerima TKI atas persoalan TKI, carut marut penataan hukum ketenagakerjaan yang merugikan, dan lain sebagainya, yang selama ini berada dalam ekosistem yang kaku dan merugikan pekerja.
Namun sayangnya sekian persoalan ini tidak tersentuh dan tidak ada kredit poin yang lebih dalam perdebatan Pilpres semalam!
Selain itu, tenaga kerja dalam negeri sedang merasa terancam dengan gempuran dari Tenaga Kerja Asing (TKA), tantangan kerja menghadapi Masyarakat Ekonomi Global (persaingan pasar tenaga kerja internasional), dan gerakan Revolusi Industri 4.0 yang tengah berlangsung.
Ada prediksi lebih dari 50% dari jumlah pekerjaan yang ada sekarang akan hilang tergerus oleh fungsi teknologi seperti Internet of Things (IoT) maupun Artificial Intelligence (AI). Dan dalam jumlah persentase (50%) yang sama dari jumlah pekerjaan ini juga, di masa depan kita digantikan dengan jenis pekerjaan baru yang sebelumnya belum pernah ada.
BACA JUGA: Dilema Revolusi Industri 4.0
Rasanya banyak hal kita belum siap. Hasil survei International Labour Organization (ILO) sendiri telah merilis tiga tantangan sekaligus persoalan bahwa ketenagakerjaan Indonesia lemah dalam: leadership, komputer dan bahasa.
Padahal ketiga hal ini merupakan tiang utama sumber daya tenagakerja untuk menghadapi segala tantangan yang diurai di atas.
Tantangan ke depan adalah kelompok buruh Indonesia tidak lagi didefinisi sebagai kaum tertindas, tetapi kaum irrelevant (tidak laku) dalam pasar ketenagakerjaan. Dan pada titik itu sebenarnya negara hadir untuk mensolusikannya.
Sebab lima tahun ke depan adalah tahun-tahun penting sebagai sebuah jembatan periodesasi revolusi tenaga kerja, baik tenaga kerja yang sedang bekerja maupun yang akan bekerja, menuju lompatan global industri 4.0.
Pada sisi inilah saya merasa wacana Indonesia sedang menargetkan diri sebagai negara yang bisa menembus status lima besar berpendapat tinggi di tahun 2045, itu gagal!
Momentum yang sebenarnya ditunggu publik Indonesia untuk dipakai sebagai aduh gagasan besar terkait persoalan-persoalan ini, tidak diangkat secara jelas. Tidak ada solusi strategis yang diperdebatkan baik dari paslon nomor 01 maupun 02 dari isu ini.
Logika perdebatan lebih banyak masih seputar pemecahan bonus demografi terhadap angka pengangguran. Sehingga pembahasan kedua kandidat terbatas pada program kartu pra-kerja, penyedian BLK, latihan, kursus dan sebagainya (dari Paslon 01), dan pelayanan satu pintu pekerjaan lewat program Rumah Siap Kerja, Data terpadu, OK OC: UMKM dan Industri kreatif, dan sebagainya (dari Paslon 02).
Kandidat terjebak dengan mencari solusi bagi “calon tenaga kerja”, sementara persoalan “tenaga kerja yang tengah bekerja” sedang diabaikan. Bagaimana bisa menata wajah ke depan, kalau saja yang sekarang tidak segera diselesaikan.
Mungkin saja karena metode debat yang berdasarkan undian pertanyaan sehingga para kandidat sangat terpaku dan susah mengeksplor lebih dalam akar persoalan dari isu ini, ataukah memang minimnya penguasaan refrensi persoalan dari kandidat yang menjadi soal.
BACA JUGA:Ketika Revolusi Industri 4.0 Menyentuh Pariwisata NTT, Sudah Siapkah Kita?
Tetapi yang pasti debat sebagai ruang menguji dan mempertajam visi dan misi Paslon menjadi tidak menarik secara substansi. Tidak ada identifikasi masalah dalam perdebatan, dan solusi debat juga masih berlari pada jangka pendek.
Tema debat Pilpres ketiga oleh Cawapres pada Minggu, 17 Maret 2019 kemarin mengangkat lima isu yaitu: pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, sosial dan budaya. Dan isu-isu itu merupakan tema dasar menyangkut kesejahteraan masyarakat.
Pertanyaannya, mengapa harus didrive oleh Cawapres? Memang pemahamannya adalah debat visi dan misi Paslon (Pasangan Calon) olehnya tidak salah bila itu didebatkan oleh para Cawapres, namun kehendak publik sebenarnya ingin melihat komitmen Capres sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan untuk menjawabi segala persoalan terkait tema ini.
Pada negara besar seperti Amerika Serikat tema kesejahteraan selalu menjadi utama dalam perdebatan politik oleh Capres sebab dianggap hal yang paling fundamental dan menjadi akar kehidupan sebuah bangsa dan negara.
Menjadi tidak menarik lagi bahwa tema ini dibahas oleh dua orang yang sama-sama pendatang baru. Keduanya berbicara tentang apa yang mau dibuat.
Publik menunggu pertanggungjawaban petahana terkait tema ini. Sebab isu ketenagakerjaan juga masuk menjadi deretan rengking atas sebagai persoalan yang harus dikritik ke periode Jokowi-JK.
*Penulis adalah pemerhati isu sosial-politik, Aktivis PMKRI