Ende, Vox NTT-Sampah elektronik menumpuk di KM 16, Kecamatan Ende, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur.
Sampah itu tampak seperti alat komputer, printer, televisi, sejumlah kabel, serta barang bekas elektronik lainnya.
Tanpa ditangani secara khusus, sampah-sampah tersebut malah buang begitu saja di pinggir jalan trans Ende-Maumere.
Bahkan, sebagian lainnya dibuang ke arah jurang sungai menuju Wolowona, tempat pemandian warga.
Sampah elektronik atau dikenal dengan istilah e-waste dapat diartikan sebagai peralatan elektronik yang tak dapat dipakai lagi. Sama halnya, seperti sampah-sampah lain.
Lantas bagaimana dampak buruk dari sampah elektronik tersebut?
Dalam sejumlah artikel ilmiah yang dihimpun VoxNtt.com, sampah elektronik memiliki dampak buruk yang sangat kompleks.
Tentunya, dapat menjadi bahaya bagi kelangsungan hidup makhluk hidup termasuk terhadap manusia.
Sampah elektronik ternyata memiliki kandungan racun. Sebab, sampah ini dikategorikan sebagai limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) karena mengandung substansi berbahaya seperti timbal, merkuri dan kadmium.
Jika manusia terkontaminasi racun itu, maka tubuh dapat mengalami kerusakan pada sistem saraf, otak dan ginjal.
Ir. Sri Wahyono, MSc, Peneliti Masalah Persampahan di P3TL-BPPT yang dimuat di Kompas mengemukakan bahwa rongsokan atau sampah elektronik mengandung sekitar 1.000 material logam berat (merkuri, timbal, kromiun, kadmium, arsenik dan sebagainya), PVC dan brominated flame-retardants.
Sampah jenis ini dikategorikan B3 atas rujukan PP Nomor 18 Tahun 1990 jo PP Nomor 85 Tahun 1999 Tentang Pengolahan Limbah B3 yang berkarakter racun. Maka, sampah elektronik menimbulkan masalah ketika dibuang, dibakar atau didaur ulang.
Wahyono berpendapat, jika sampah ini dibuang di TPA, maka akan menghasilkan lindi yang mengandung berbagai macam logam berat terutama merkuri, timbal, kromium, kadmium dan senyawa berbahaya seperti polybrominated diphennylethers (PBDE).
Logam merkuri dikenal dapat meracuni manusia dan merusak sistem saraf otak serta menyebabkan cacat bawaan seperti yang terjadi pada kasus Teluk Minamata, Jepang.
Sedangkan timbal, selain dapat merusak sistem saraf juga dapat mengganggu sistem peredaran darah, ginjal dan perkembangan otak anak.
Timbal ini juga dapat terakumulasi di lingkungan dan dapat meracuni tanaman, hewan dan mikroorganisme.
Sementara itu, kromium dapat dengan mudah terabsorpsi ke dalam sel sehingga mengakibatkan berbagai efek racun, alergi dan kerusakan DNA.
Lantas kadmium adalah logam beracun yang efeknya tidak dapat balik bagi kesehatan manusia dan dapat masuk ke dalam tubuh melalui respirasi dan makanan yang kemudian dapat merusak ginjal.
Sementara dampak buruk dari senyawa PBDE terdapat pada bagian produk elektronik seperti PBC, komponen konektor, kabel dan plastik penutup TV atau komputer.
Komponen ini dapat merusak sistem endokrin dan meredukasi level hormon tiroksin di hewan mamalia dan manusia sehingga perkembangan tubuhnya menjadi terganggu.
Sebuah laporan riset yang dipublikasikan pada tahun 1998 yang menyelidiki insiden tercampurnya polybrominated biphennyls (PBB) ke dalam pakan sapi di Michigan, AS, pada tahun 1970-an menunjukan bahwa ekspos terhadap PBB berlanjut dari sapi yang mengonsumsi pakan tersebut ke sembilan juta warga mengonsumsi daging sapi tersebut.
Disebutkan, manusia yang mengonsumsinya menghadapi risiko 23 kali lebih tinggi terserang kanker saluran pencernaan, seperti kanker lambung, pankreas, liver dan limfa.
Oleh karena itu, pembuangan limbah B3 tidak boleh asal timbun, tetapi harus pada timbunan limbah B3 kategori I sesuai Keputusan Kepala Bapedal Nomor Kep-04/Bapedal/09/1995 tentang Tata Cara Persyaratan Penimbunan Limbah B3.
Penulis: Ian Bala
Editor: Ardy Abba