Oleh: Herry Kabut*
“Literacy is the road to human progress and the means through which every man, woman, and child can realize his or her potential” (Sofie Dewayani).
Secara sederhana, literasi diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk membaca dan menulis atau berhubungan dengan keaksaraan.
Berdasarkan istilah tersebut, orang yang tidak bisa membaca disebut atau diterjemahkan sebagai orang yang buta aksara. Sebaliknya, orang yang mempunyai kemampuan membaca dan menulis disebut sebagai orang yang melek aksara atau melek huruf.
Literasi dalam pengertian ini biasa disebut sebagai literasi lama atau klasik. Disebut literasi klasik karena dalam perkembangan selanjutnya istilah literasi mengalami perluasan makna.
Dalam perkembangan selanjutnya, istilah literasi ini dipergunakan secara longgar dan meluas, bukan hanya berkenaan dengan kemampuan membaca dan menulis. Bukan juga hanya berkenaan dengan kemampuan memahami bidang tertentu seperti seni, musik, sastra dan ilmu pengetahuan.
Istilah literasi itu kini dipergunakan secara luas sehingga kita mengenal literasi informasi, literasi media/digital, literasi televisi atau bisa juga secara populer dinyatakan sebagai melek-informasi, melek-media, dan melek-televisi. Literasi semacam ini disebut literasi baru.
Namun, sebelum kita memahami literasi baru ini, kita terlebih dahulu harus memahami literasi klasik. Karena itu, seluruh isi tulisan ini berbicara mengenai literasi klasik.
Apa Pentingnya Literasi?
Modernitas yang ditandai oleh konsumsi informasi secara masif merupakan ciri masyarakat post-industri. Alan Tourine (dalam Dewayani 2017:10) sejauh hari telah meramalkan bahwa pada era ini, aktivitas ekonomi masyarakat berbasis pada hal yang disebut benda simbolik (symbolic goods) yaitu informasi dan pengetahuan.
Aktivitas ini bahkan mendominasi kegiatan produksi barang dan jasa, yang menandai kebangkitan era industri di abad ke 17. Era post-industri identik dengan “reproduksi budaya”, yaitu meningkatnya potensi dan kapasitas masyarakat karena konsumsi pengetahuan yang lalu menggerakan perubahan sosial, budaya, dan ekonomi.
Karenanya tak mengherankan apabila konsumsi pengetahuan dan informasi yang dilembagakan dalam tumbuhnya lembaga pendidikan formal ini, menjadi tolok ukur yang membandingkan kemajuan suatu bangsa dengan bangsa yang lain.
Indikator manusia terdidik pada era ini bukan lagi mampu atau tidaknya seseorang mencerna pengetahuan, namun sejauh mana ia mampu menjadikan pengetahuan itu sebagai sarana untuk mentransformasi dirinya.
Di sinilah literasi mulai dimaknai sebagai cara seseorang menyikapi informasi dan pengetahuan.
“Kematian” Literasi
Agar seseorang menjadi melek aksara, pemerintah pun mencanangkan program wajib belajar sembilan (9) tahun kepada seluruh anak di Indonesia.
Program wajib belajar 9 tahun ini berhasil meningkatkan angka partisipasi anak dalam jenjang pendidikan yang sesuai usianya (biasa dikenal dengan angka partisipasi murni) hingga 96,2% untuk jenjang SD dan 77,45% untuk jenjang SMP (Data Biro Pusat Statistik dalam Dewayani, 2017: 9).
Pada jenjang pendidikan dasar ini, seharusnya seseorang siswa mampu memahami makna teks yang ditulis dalam beragam genre, meringkasnya, menelaah, merevisinya, dan mengungkapkan pendapatnya secara lisan dan tulisan (Kompetisi Dasar Bahasa Indonesia pada Kurikulum 2013).
Namun faktanya, kemampuan siswa Indonesia berusia 15 tahun untuk memahami bacaan masih tertinggal dalam survei-survei internasional.
Uji pemahaman bacaan tes PISA (Programme for Students Assesement) yang diselenggarakan negara anggota OECD tahun 2012 menempatkan siswa Indonesia pada peringkat 64 dari 65 negara yang berpartisipasi.
Peringkat ini menurun dari posisi 57 pada tes yang diselenggarakan pada tahun 2009. Survei terbaru diadakan Central Connecticut State University (2016) tentang perilaku literat menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda.
Dalam tolok ukur fasilitas literasi; ketersediaan perpustakaan, penerbitan surat kabar dan media cetak, Indonesia menempati posisi kedua dari bawah (di antara 61 negara yang berpartisipasi) (Dewayani, 2017:10).
Di NTT, tingginya angka buta huruf menjadi masalah utama dalam konteks literasi. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (dalam Vox NTT, 1 April 2019) menyuguhkan NTT termasuk dalam empat besar angka buta huruf paling tinggi di Indonesia.
Kemenkebud mengungkapkan, 11 provinsi yang memiliki angka buta huruf paling tinggi yaitu Papua (28,75 persen), NTB (7,91), NTT (5,51 persen), Sulawesi Barat (4,58 persen). Kalimantan Barat (4,50 persen), Sulawesi Selatan (4,49 persen), Bali (3,57 persen), Jawa Timur (3,47 persen), Kalimantan Utara (2,90 persen), Sulawesi Tenggara (2,74 persen), Jawa Tengah (2,20 persen).
Data-data ini menunjukkan bahwa budaya literasi di Indonesia (secara umum) dan NTT (secara khusus) sesungguhnya masih keropos. Jika persoalan keroposnya literasi tidak diperhatikan secara serius, maka cepat atau lambat budaya literasi kita akan menuju pada “kematian”.
Menurut saya, “kematian” literasi terjadi karena disebabkan oleh dua hal.
Pertama, minimnya keteladanan dari guru. Kita sering mengeluhkan minat baca generasi muda yang rendah, menyalahkan betapa mudanya mereka tertarik kepada aplikasi teknologi dan game, namun kita tidak melakukan apa pun untuk membantu menumbuhkan minat baca mereka.
Minat baca tidak otomatis tumbuh hanya melalui kampanye membaca, yaitu penanaman kesadaran bahwa membaca itu penting.
Untuk memiliki kebiasaan membaca, seseorang harus mencintai, ketagihan membaca, dan memiliki rasa ingin tahu terhadap bacaan.
Untuk menumbuhkan minat baca, sering dibutuhkan upaya lebih. Kegiatan membaca harus dibuat menarik. Buku tidak dapat dibiarkan dipajang rapi di rak-rak buku yang terkunci. Buku harus didekatkan dengan pembacanya.
Guru di dalam kelas, perlu berperan aktif dalam menumbuhkan minat baca dengan membacakan buku, mendiskusikannya, dan membuatnya relevan dengan materi pembelajaran.
Persis, hal seperti inilah yang belum dilakukan secara maksimal oleh sebagian besar guru. Padahal, dalam upaya untuk mencerdaskan anak bangsa, guru memainkan peran yang sangat penting.
Guru merupakan komponen yang paling penting dalam mendorong dan memotivasi peserta didik dalam hal menumbuh-kembangkan budaya literasi. Sebab guru merupakan orang yang harus digugu dan ditiru oleh peserta didik.
Dengan kata lain, guru merupakan pemberi teladan bagi peserta didik. Artinya, guru menjadi acuan peserta didik dalam membangun budaya literasi. Namun, dalam kenyataannya banyak guru yang kurang memberikan teladan secara maksimal.
Guru seolah-olah menerapkan sistem belajar student center of learning (siswa sebagai pusat pembelajaran). Dalam sistem belajar student center of learning, guru seolah-olah menjadi “pasif” karena memberikan “kebebasan” bagi peserta didik untuk lebih aktif dalam menggali informasi terkait materi pelajaran. Dengan kata lain, peserta didik menjadi guru atas dirinya sendiri.
Adanya sistem belajar seperti ini membuat peserta didik menjadi masa bodoh dalam mengembangkan budaya literasi. Sebab masih banyak peserta didik yang belum siap dengan sistem belajar seperti ini. Artinya, peserta didik masih mengandalkan guru dalam membimbing dan menuntunnya dalam belajar.
Kedua, penataan perpustakaan yang kurang maksimal. Perpustakaan Daerah NTT menjadi salah satu contoh bagaimana penataan perpustakaan yang kurang maksimal menyebabkan budaya literasi menjadi keropos.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Bapak Agus (salah seorang pegawai Perpustakaan Daerah NTT) bahwa sebagian fasilitas yang ada di Perpustakaan Daerah NTT tidak berfungsi dengan baik. Dia menjelaskan bahwa di ruangan Deposit, meski berAC, terdapat kipas angin yang bergelantungan tetapi sudah tidak berfungsi alias rusak. Belum lagi sarang laba-laba yang jumlahnya cukup banyak dan menggelikan (Vox NTT, 1 April 2019) .
Pemandangan perpustakaan seperti ini boleh jadi menyebabkan minat baca, menulis, dan berdiskusi peserta didik. Pemandangan seperti ini jelas menciptakan ketidaknyamanan bagi pengunjung perpustakaan, sehingga gairah mereka untuk membaca, menulis, dan berdiskusi menjadi menurun.
Selain itu, Bapak Agus juga mengatakan bahwa ketersediaan buku referensi masih terbatas, terutama mengenai NTT. Hal ini membuat para pegawai perpustakaan cukup kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pengunjung.
Keterbatasaan buku referensi tentu saja membuat peserta didik enggan untuk mengunjungi perpustakaan. Sebab mereka tidak mendapatkan buku referensi sesuai yang mereka butuhkan. Akhirnya, untuk memuaskan kebutuhan, para peserta didik mengakses segala informasi yang tersaji di internet.
Di negara seperti Indonesia, seringkali baru berfungsi untuk memuaskan kebutuhan instan sayaan di sekolah. Teks digital tidak diendapkan dan dipilah, melainkan dijiplak mentah-mentah untuk dikemas sebagai tugas ilmiah. Siswa mencomot tulisan dari internet dalam makalah tanpa rasa bersalah (Dewayani, 2017: 14).
Menghidupkan Literasi
Belajar dari realitas ini, kita pun dituntut untuk menyebarluaskan virus membaca dan menulis. Menurut saya, ada dua cara yang sangat mendesak untuk dilakukan dalam rangka menghidupkan literasi kita.
Pertama, guru mesti merefleksikan lagi terkait tugas dan fungsi mereka dalam dunia pendidikan. Dalam usaha untuk menghidupkan literasi, guru mesti menjadi pembimbing dan penuntun yang setia. Artinya, guru mesti mendekatkan buku, membacakan, dan mendiskusikannya kepada peserta didik.
Dengan adanya aktivitas semacam ini, minat baca, manulis, dan berdiskusi peserta didik dapat bertumbuh dan berkembang, sehingga budaya literasi kita tidak akan mengalami “kematian”.
Kedua, melalui penataan perpustakaan yang baik. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa salah satu tolok ukur fasilitas literasi adalah ketersediaan perpustakaan.
Perpustakaan merupakan aset penting dalam menghidupkan literasi. Perpustakaan seringkali diibaratkan sebagai jendela dunia, yang membuka jalan masa depan bagi generasi sebuah bangsa.
Mengingat perpustakaan merupakan aset penting dalam menghidupkan literasi, maka perlu dilakukan manajemen perpustakaan.
Manajemen perpustakaan membutuhkan perbaikan tata kelola dan intervensi anggaran untuk memperbaiki fasilitas dan pengadaan buku-buku.
*Penulis adalah Anggota Kelompok Studi Tentang Desa, tinggal di Yogyakarta