Oleh: Boy Angga
Sektor pertanian telah menjadi sektor yang mendominasi dari keseluruhan kegiatan ekonomi di NTT. Sektor pertanian menjadi “ladang” utama bagi pundi-pundi pendapatan regional di wilayah ini.
Corak pertanian NTT dengan dominasi lahannya yang kering masih menunjukkan perannya yang begitu sentral dalam memacu perekonomian.
Namun, jika melihat peran pemangku kepentingan dalam memberdayakan potensi riil pertanian NTT, kita akan berhadapan dengan realitas jenaka. Di sana, terdapat relasi negatif antara pengelolaan pertanian berbasis kebijakan pemerintah dan kontribusi nyata pertanian terhadap PDRB. Sebagai sektor unggulan, pertanian malah mendapat kue kebijakan yang kecil.
Saat ini, sebagian besar pertanian NTT bertahan karena dua alasan. Pertama, pertanian masih dikelola dengan pola konvensional. Pertanian sekarang tak ubahnya dengan sistem pertanian yang lama. Kalaupun ada perubahan, skalanya kecil.
Kedua, bertahannya hasil pertanian di NTT lebih karena “kebaikan” alam semata.
Meski demikian, persoalan pemasaran masih menjadi kendala. Ruang pemasaran untuk barang-barang hasil pertanian di NTT sangat terbatas. Akibatnya hasil pertanian lebih banyak dikonsumsi sendiri dan selebihnya dijadikan pakan ternak.
Beberapa waktu lalu, media ini merilis berita “mubazirnya” jagung di Kabupaten Manggarai Timur akibat minimnya ruang pemasaran. Padahal jumlahnya sangat fantastis.
Ironisnya, pada saat yang bersamaan, pada bulan Januari 2019 pemerintah Indonesia melalui Bulog mengimpor jagung sebanyak 150 ton untuk menjaga stabilitas harga dalam negeri.
Andai kata para pemangku kepentingan proaktif, maka paling tidak impor jagung sedikitnya dikurangi dan digantikan oleh jagung yang dihasilkan dalam negeri. Ini hanya menjadi salah satu contoh dari kurangnya manajemen pemasaran hasil panen.
Jika mengacu pada teori kewirausahaan, maka kita akan mendapati motivasi, kemampuan dan pengetahuan individu sebagai penggerak untuk bisa berwirausaha. Apabila hendak menguasai pasar, maka kemampuan individu menjadi basis utamanya.
Konsepsi yang demikian cukup sulit diejawantahkan di NTT. Karena dari aspek indikator seperti yang dikonsepsikan teori kewirausahaan, NTT cukup sulit untuk ditemukan. Motivasi, kemampuan dan pengetahuan individu untuk berwirausaha masih sangat minim.
Bila direlasikan dengan “mubazirnya” hasil panen di NTT, maka kita tidak bisa mengharapkan petani tradisional untuk melakukan wirausaha dengan memperluas pasar pertaniannya.
Maka pada tataran ini, peran pemangku kepentingan, semisal Bulog, instansi perdagangan dan perindustrian atau instansi sejenis yang berafiliasi dengan instansi di atas menjadi sangat sentral.
Kehadiran mereka menjembatani dua substansi persoalan. Pertama, menjadi agen yang membantu petani memperluas ruang pemasaran. Kedua, menghindari harga pembelian yang terlalu rendah.
Melalui badan-badan pemerintah diharapkan harga produk-produk pertanian tidak dinilai terlalu rendah dari harga pasar. Dengan demikian maka terms of trade para petani dapat meningkat. Ini akan berimplikasi pada kesejahteraan petani.
Trend Urbanisasi
Fenomena yang turut menuai atensi publik selama ini adalah urbanisasi. Fenomena ini beberapa tahun terakhir menjadi sangat masif.
Dalam skala yang sama, berbagai kasus dehumanisasi terjadi atas pekerja NTT di luar. Kita selalu mendengar atau membaca berita di media lokal NTT tentang kisah tragis atas kematian pekerja NTT di luar.
Urbanisasi merupakan fenomena sosial sekaligus fenomena ekonomi. Sebagai fenomena ekonomi, urbanisasi selalu ditopang oleh alasan memperbaiki kondisi ekonomi keluarga.
Dalam Ilmu ekonomi, kajian tentang urbanisasi secara jelas termaktub dalam konsep pertumbuhan dan pembangunan ekonomi dengan model Perubahan Struktural.
Arthur Lewis dengan model dua sektornya (Lews two-sector model) menjelaskan bahwa perekonomian terdiri atas dua sektor yaitu sektor subsisten pedesaan yang tradisional dan kelebihan penduduk dan sektor industri modern perkotaan yang mampu menampung surplus tenaga kerja dari subsisten pedesaan.
Lewis menggagaskan transfer tenaga kerja dari sektor subsisten ke sektor modern. Asumsi Lewis bahwa transformasi struktural akan terus berlangsung dengan bergesernya keseimbangan kegiatan perekonomian dari sektor subsisten pedesaan ke industri perkotaan.
Pada ranah riil, konsep Lewis tentang sektor industri modern perkotaan yang mampu menampung tenaga kerja subsisten pedesaan adalah relevan dengan fenomena yang terjadi di NTT. Banyak pekerja NTT yang berpindah ke sektor industri modern di wilayah yang menjadi pusat industri di Indonesia.
Namun, jika berlanjut kepada shifting keseimbangan dari subsisten tradisional ke sektor industri modern, justru melahirkan persoalan baru. Urbanisasi juga mengakibatkan menurunnya rasio tenaga kerja terhadap lahan.
Kekalutan Sektor Pertanian dan Solusi
Meningkatnya arus urbanisasi pada akhirnya meninggalkan masalah bagi perekonomian NTT. Sekarang, kecenderungan yang tinggi dalam urbanisasi menyasar pada kelompok usia produktif. Sehingga sektor pertanian benyak dikelola oleh petani-petani tua yang memasuki usia senja.
Lambat laun produktivitas marginal tenaga kerja di sektor pertanian akan terus menerus menurun. Rendahnya produktivitas akan mengguncang harga. Alhasil, ketidakseimbangan pun terjadi.
Pada saat yang sama, para petani tua menjadi “kelabakan” dengan modernisasi sektor pertanian. Mereka tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk memahami berbagai upaya modernisasi.
Alternatif yang akan dipilih tentu saja akan mengikuti sistem dan pola pertanian konvensional yang telah menjadi idiom pertanian selama ini.
Dapat dipastikan bahwa kondisi pertanian NTT tidak akan mengalami banyak perubahan. Bahkan cenderung bergerak mundur. Dampaknya, akan menimbulkan implikasi yang besar diantaranya pendapatan petani semakin menurun dan kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB akan menurun.
Sektor pertanian, bagaimanapun juga memiliki kemampuan yang kecil dalam mendorong perekonomian ke arah kemajuan. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa output pertanian memiliki nilai tambah yang kecil dan mengalami fluktuasi harga yang besar.
Tetapi, bagi kita di NTT pengembangan sektor pertanian sangat relevan di tengah minimnya sektor industri manufaktur. Sekalipun nilai tambahnya kecil, orientasi profit dari sektor pertanian lebih diarahkan pada eskalasi penerimaan.
Artinya keuntungan besar yang kita peroleh terutama karena menjual lebih banyak. Dengan demikian maka sektor pertanian tetapi menjadi pioner perekonomian di NTT.
Kritik Pariwisata Sebagai Leading Sektor, Begini Pendapat Petani Muda NTT
Atas argumentasi ini maka upaya untuk mendorong perbaikan kinerja sektor pertanian sangat tepat untuk dilakukan. Beberapa argumentasi solutif yang dapat dilakukan oleh pemangku kepentingan.
Pertama, mengawasi mobilitas masyarakat ke luar daerah. Pengawasan yang lebih baik mampu mencegah urbanisasi yang besar-besaran. Ini dapat dilakukan melalui kerja sama yang solid antara pemerintahan pada tingkat rendah dengan Dinas Tenaga Kerja.
Kedua, dalam upaya mengurangi mobilitas pekerja keluar daerah, maka mengaktifkan kembali balai latihan kerja menjadi alternatif yang tepat.
Para petani kita terutama yang berusia muda mesti dibekali oleh keterampilan dan pengetahuan yang cukup memadai. Atau dapat digantikan melalui penyuluhan yang dilakukan secara berkala.
Ketiga, pemerintah menyediakan marker place bagi masyarakat petani. Kondisi di NTT masih sangat membutuhkan peran sentral pemangku kepentingan terutama untuk memasarkan hasil pertanian.
Keempat, hilirisasi produk pertanian untuk target jangka panjang. NTT telah memulainya dengan Sophia. Harapannya bahwa ke depan terdapat industri pengolahan hasil pertanian. Dengan demikian, pertanian kita ke depan akan terus berkontribusi secara positif dan terus meningkat.