Oleh: Lasarus Jehamat
Dosen Sosiologi Fisip Undana Kupang
Dunia pariwisata Indonesia dan terutama NTT kembali hangat. Menjadi hangat terutama karena diskusi itu sebetulnya bukan hanya berkaitan dengan pariwisata. Diskusinya berkaitan dengan baju luar pariwisata Labuan Bajo. Label halal pariwisata Labuan Bajo.
Polemik Wisata Halal bermula ketika Dirut Badan Otorita Pariwisata (BOP) Labuan Bajo Flores, Shana Fatina menyampaikan ide pemasaran pariwisata Labuan Bajo. Disebutkan, Labuan Bajo berpotensi menerima wisatawan muslim sebagai sebuah pasar yang dapat meningkatkan pendapatan daerah dan kesejahteraan masyarakat sekitar (VoxNtt.com, 5 Mei 2019).
Untuk tujuan itu, Dirut BOP menawarkan konsep Muslim Friendly and Family Friendly Tourism sebagai model yang akan dikembang. Fatin berkilah, konsep itu tidak sedang melabeli pariwisata dengan agama tertentu.
Wacana itu lantas mendapat penolakan dari hampir semua elemen masyarakat dan pemerintah NTT. Gubernur Viktor B Laiskodat dan Wagub Yoseph Nai Soi memimpin penolakan itu.
Menurut Wakil Gubernur NTT, berkaitan dengan pariwisata, masyarakat dan Pemda lebih cenderung memilih jalan toleransi. Dengan agak keras, Wagub Nai Soi menyebut dikotomi halal atau haram justeru akan merusak persaudaraan dan kerukunan antarumat beragama yang dibangun sejak ratusan tahun (Kompas.Id, 8 Mei 2019).
Banyak elemen, individu maupun kelompok, masyarakat di NTT pun menolak gagasan BOP tersebut. Elemen PMKRI pusat dan daerah mengatakan wisata halal tidak cocok diterapkan di Labuan Bajo (Pos Kupang, 1 Mei 2019).
Forum Masyarakat Penyelamat Pariwisata (Formapp) Manggarai Barat (Mabar) menyebut BOP sebagai Badan Otoriter Pariwisata (VoxNtt.com, 8 Mei 2019).
Tulisan ini ingin menyampaikan pesan yang sama. Masyarakat NTT merasa tidak pas atas pelabelan apa pun semua kawasan wisata di sini. Sebab, selain secara sosiokultural NTT dan Labuan Bajo memiliki keunikan generik khas NTT dan khas Manggarai, pelabelan tersebut justeru merusak tatanan sosial masyarakat NTT.
Karena itu, pemberian label wisata halal untuk Pariwisata Labuan Bajo tidak saja memberikan label buruk kepada dunia pariwisata tetapi juga kepada masyarakat NTT.
Selain itu, ide pelabelan seperti ini khas mempraktikan ideologi dan nilai homogen yang amat hegemonik di tengah masyarakat majemuk seperti Indonesia.
Hegemoni Nilai
Orde baru pernah menerapkan kekuasaan hegemonik pada bangsa ini. Melalui bahasa, orde baru kerap menertibkan masyarakat dengan segala macam eufemisme.
Untuk memertahankan kekuasaan, orde baru berusaha agar rakyat dan masyarakat Indonesia taat azas dalam bertutur dan bijak dalam berperilaku (Dhakidae, 2003).
Bahasa dipakai sebagai alat untuk mengontrol kerja kritis masyarakat. Dalam praktiknya, homogenisasi menjadi pemandangan akhir semua bentuk proyek ideologis tersebut.
Di kerangka ideologi orde baru, Pancasila dianggap sebagai dewa dan karena itu semua pihak di republik ini harus bertindak menurut Pancasila. Maka, muncullah demokrasi Pancasila sampai disiplin Pancasila.
Nilai-nilai fundamen Pancasila dibuat ketat dan kaku oleh orde baru. Nilai Pancasila keras dipraktikkan mengikuti garis komando. Dari Jakarta sampai ke daerah harus satu dan sama.
BACA JUGA: Di Era Lebu Raya, ‘Pancasila’ Tinggal Rangka Mangkrak Tanpa Busana
Itu tentu baik jika dipraktikkan tanpa embel-embel kekuasaan. Dengan kata lain, jika dilakukan dengan sungguh netral, nilai Pancasila harus diakui memiliki kekuatan fundamental. Sebab, Pancasila memang memiliki dasar yang kuat dan kokoh untuk persatuan bangsa ini. Dalam dirinya, Pancasila memiliki nilai dinamis yang menghargai heterogenitas.
Masalah muncul ketika nilai Pancasila dibelokan dan digunakan untuk tujuan kekuasaan. Di sana, atas nama Pancasila, semua soal dan perkara diarahkan untuk kelanggengan kekuasaan orde baru. Proyek homogenisasi seperti itu yang menjadi salah satu dosa pembangunan orde baru dan yang menyebabkan kejatuhan orde baru itu.
Berkaitan dengan ide wisata halal BOP Labuan Bajo, proyek homogenisasi orde baru tampak jelas di sana. Ketika pariwisata diberi label halal di seluruh Indonesia, yang muncul adalah pemaksaan kehendak kekuasaan.
Realitas hegemoni khas dipraktikkan di sana. Sebab, nilai tertentu dipaksakan masuk ke dalam sebuah kelompok yang telah memiliki nilai khasnya tersendiri. Elemen masyarakat dan Pemda sudah mengakui bahwa NTT memiliki nilai toleransi yang amat tinggi.
Ide wisata halal tidak saja mematikan nilai dan kearifan lokal masyarakat NTT. Pelabelan halal untuk Pariwisata Labuan Bajo kental mempraktikan pemaksaan kehendak kelompok tertentu; sebuah fakta yang menjadi haram dipraktikan dalam konteks negara demokrasi Indonesia.
Membaca Labelling
Lemert (1951) pernah merumuskan teori labeling dalam dunia ilmu sosial. Disebutkan, pemberian label (negatif) pada perilaku seseorang justeru memberikan efek pengulangan perilaku yang sama secara lebih intens.
Pemberian label pencuri, pemabuk, pembunuh pada seseorang misalnya berdampak buruk bagi individu tertentu di kemudian hari.
Dua hal penting yang bisa ditarik dari teori ini. Pertama, Meskipun sebelumnya seseorang tidak pernah mencuri atau hanya sekali saja mencuri, tetapi karena terus-menerus diberi pelabelan, orang tersebut justeru akan membuktikan bahwa benar dia pencuri.
Kedua, pandangan lain mengatakan, pemberian label positif, atas seseorang atau kepada sebuah gejala, tentu didasarkan pada pengalaman masa lalunya yang buruk.
Berkaitan dengan Pariwisata Labuan Bajo, masyarakat NTT dan Manggarai memiliki memori kolektif akan persatuan, penghargaan akan perbedaan, dan kebersamaan sebagai sebuah bangsa.
Tanpa diberi embel-embel halal pun, masyarakat pasti menghargai setiap tamu yang datang ke sana.
Lalu, label halal bisa dibaca secara terbalik. Manusia NTT dapat saja keluar dari cara berpikir konvensional. Oposisi binner halal-haram menjadi perkara utamanya. Ketika sebuah kawasan wisata, baru dan akan diberi label halal, berarti sebelumnya ada yang haram di sana. Sungguh berbahaya jika logika berpikir dibuat demikian.
Akhirnya, wisata halal bukan hantu bagi pariwisata Indonesia. Semua baik adanya. Hanya, dalam praktiknya harus pula berpikir kontestual. Lokasi, tempat, alasan, motif, dan tujuan pelabelan halal harus didasarkan pada pertimbangan konteks sosial tertentu.
Wisata halal bisa saja cocok diterapkan di tempat lain dengan konteks sosiokultural yang pas dan tepat. Jika tetap dipaksakan, wacana penerapan wisata halal di Labuan Bajo patut dicurigai dan laik ditolak.
Konteks sosiokultural NTT tidak tepat diterapkannya label halal. Masyarakat NTT tidak ingin suasana damai, kekeluargaan, dan praktik saling menghargai dicederai oleh nilai baru yang dipaksakan dari luar.