Labuan Bajo, Vox NTT – Penanggulangan masalah sampah di berbagai sudut Kota Labuan Bajo, Manggarai Barat (Mabar), Nusa Tenggara Timur (NTT), hanya “diakali” dengan pola pembersihan dengan menyapu jalan-jalan yang penuh dengan sampah, saban hari Jumat dalam setiap minggunya.
Hal tersebut diungkapkan Matheus Siagian, salah satu pelaku pariwisata di Kota Labuan Bajo kepada VoxNtt.com, Minggu (09/06/2019).
Menurut Matheus, untuk menangani problem sampah di kota ujung barat Pulau Flores itu, seharusnya tak hanya mentok dengan upaya sapu-sapu jalan.
Namun membutuhkan keseriusan dari para pemangku jabatan di jajaran eksekutif maupun legislatif Mabar.
“Para petinggi eksekutif di kabupaten ini (Mabar), termasuk para wakil rakyat yang telah dipilih oleh masyarakat untuk masuk ke dalam lingkup legislatif kabupaten, untuk membuat sekaligus menjalankan aturan-aturan atau sistem yang dapat mengurangi volume sampah plastik,” katanya.
Labuan Bajo, kata dia, harus menjadi tempat pertama untuk melakukan gerakan pengurangan sampah plastik. Selanjutnya, bisa ditularkan ke berbagai kecamatan yang ada di Mabar.
Dia menambahkan, di pengujung 2018 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutan (KLHK) menyatakan, sampah paling dominan di Indonesia merupakan sampah organik. Sampah sisa makanan dan tumbuhan itu tercatat sebesar 50%.
Komposisi sampah plastik di Indonesia saat ini sekitar 15% dari total timbulan sampah, terutama di daerah perkotaan. Data tersebut disampaikam Kepala Biro Humas KLHK Djati Witjaksono sebagaimana dikutip dari Kompas.
Dalam konteks sampah di Labuan Bajo, lanjut Matheus, selama ini berbagai pihak baik masyarakat, kalangan pegiat lingkungan, maupun Pemkab Mabar hanya fokus dan berkutat pada penanggulangan pembersihan, serta pembuangan sampah.
“Perlu dirinci sudut-sudut kota yang melakukan hal ini,” katanya.
”Plastik sudah menjadi sampah di jalan, dipungut atau disapu. Belum terlambat jika saat ini kita fokus dan langsung action dalam hal penanggulangan masalah sampah di `hulu`, sebelum sampah tersebut sampai ke `hilir`,” ajak Matheus.
Dikatakan, plastik diklaim KLHK telah mendominasi 15% dari total timbunan sampah, khususnya di perkotaan.
Menurut Matheus, patut dicontoh dari kebijakan Pemerintah Provinsi Bali yang mampu memberikan solusi atas hasil temuan pemerintah pusat terkait penanganan sampah.
Hal itu dilakukan dengan diterbitkannya Peraturan Gubernur Nomor 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai.
Kemudian, jauh di ujung timur negeri ini yakni Pemerintah Kabupaten Biak Numfor, Papua.
Di sana juga telah memberlakukan pelarangan penggunaan kantong plastik di toko dan pasar sebagai upaya mengurangi sampah plastik di wilayah Timur Indonesia.
Pelarangan penggunaan kantong plastik merupakan tindak lanjut dari kebijakan strategis daerah dalam pengelolaan sampah serta Peraturan Daerah tahun 2018 tentang Sampah dan Peraturan Pemerintah Nomor 81 tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah.
Matheus menuturkan, dalam kunjungannya ke Malaka, salah satu kota andalan wisata di negeri tetangga Malaysia, juga ada larangan penggunaan kantong plastik yang telah ditetapkan melalui peraturan pemerintah setempat.
Tak hanya plastik, lanjutnya, larangan tersebut juga berlaku pada penggunaan styrofoam, sedotan plastik, serta beragam barang yang masuk dalam jenis plastik sekali pakai (PSP).
“Jadi melalui peraturan tersebut, pemerintah setempat membidik serta mengedukasi para pelaku bisnis di Malaka untuk tidak menggunakan plastik, styrofoam, atau PSP. Jika ditemukan pelanggaran, surat peringatan pun dilayangkan ke usaha tersebut. Denda juga menanti jika kesalahan serupa kembali terulang,” jelasnya.
Kembali lagi ke Labuan Bajo. Menurut dia, sampah botol air minum banyak dijumpai di berbagai sudut kota wisata kebanggaan di NTT itu.
Alangkah baiknya, kata Matheus, jika para produsen penawar dahaga tersebut menyediakan wadah daur ulang untuk sampah-sampah plastiknya.
“Tentunya lebih elok jika si produsen air mineral tersebut mengalokasikan dana CSR (corporate social responsibility) setiap tahunnya, untuk pengembangan proyek daur ulang botol plastik yang saya yakini dapat berdampak positif terhadap lingkungan dimana pun produk-produk mereka dijual,” jelasnya.
Setelah upaya “pengereman” dilakukan sisi hulu, tentunya konsistensi penangangan sisi hilir harus tetap dijaga.
“Ke mana kita mau bawa sampah ini? Kita butuh incinerator (pembakaran sampah suhu tinggi),” kata Matheus.
Menurutnya, petinggi-petinggi Pemkab dan para wakil rakyat di Mabar harus melakukan studi banding ke Pulau Dewata.
“Belajar dari Bali, bagaimana di sana banyak perusahaan yang bergerak di usaha daur ulang sampah. Ilmu yang didapat, tentunya harus sesegera mungkin diimplemntasikan di Mabar,” tutur Matheus.
Ia menambahkan, pada tahun 2018, saban harinya Labuan Bajo “memproduksi” 112.4 meter kubik sampah atau setara 12,8 ton pada tahun 2018.
Jumlah ini akan terus bertambah seiring dengan pertumbuhan pariwisata di Mabar.
Jumlah wisatawan, hotel, dan restoran, akan bertambah sehingga hal ini menuntut regulasi dari Pemkab dan juga langkah-langkah nyata.
“Jika tidak destinasi pariwisata kita akan tertinggal dari tempat lain,” tegas Matheus, yang berencana menghadiri Race for Water, acara penularan ilmu penanggulangan sampah yang dilangsungkan di Bali pada pertengahan Juni 2019.
Baca Juga: OMK di Flores Kampanyekan Kurangi Penggunaan Plastik
“Apa yang kita suguhkan ke turis yang datang ke Labuan Bajo? Tentu, nomor satu keindahan alam yang dimiliki Mabar, laut dan darat. Jika keindahan alam dinodai oleh sampah, apa lagi yang mau kita banggakan?” lanjut Matheus.
Penulis: Ardy Abba