Ruteng, Vox NTT – Asociation of Indonesian Tour & Travel Agencies (ASITA) Manggarai Barat turut menanggapi kebijakan baru yang disepakati oleh tokoh masyarakat dan adat Desa Satar Lenda bersama Para ojek wisata Wae Rebo, Kecamatan Satarmese Barat, Manggarai, NTT.
Ketua Pelaksana ASITA Donatus Matur mengatakan, kesepakatan yang dibuat oleh masyarakat dinilai tidak adil. Sebab keputusan itu hanya dilakukan sepihak oleh masyarakat tanpa melibatkan Dinas Pariwisata dan pelaku pariwisata lainnya.
Ia menilai dengan adanya kebijakan itu, Wae Rebo tidak layak lagi untuk dijadikan tempat pariwisata.
“Kalau kebijakannya seperti itu, Wae Rebo bukan wisata lagi melainkan kemersial karena ada unsur pemaksaan. Banyak kejanggalan yang terjadi di sana” ungkapnya kepada VoxNtt.com melalui telepon, Jumat (05/07/2019).
Donatus berharap agar Dinas Pariwisata Kabupaten Manggarai segera mengambil langkah sigap dalam menyelesaikan persoalan ini. Langkah sigap ini penting agar tidak berdampak buruk terhadap wisata Wae Rebo ke depannya.
Sebab, Wae Rebo merupakan satu kesatuan tempat wisata yang berada di bawah naungan Dinas Pariwisata Kabupaten Manggarai.
Bahkan, ia menegaskan apabila kebijakan itu tetap dilakukan, maka pihaknya akan mengampanyekan untuk menghentikan kunjungan wisata ke Wae Rebo.
ASITA juga berencana untuk bekerja sama dengan Kementerian Pariwisata dan Pemkab Manggarai Barat untuk membangun rumah adat di Kecamatan Mbliling Manggarai Barat seperti di Wae Rebo.
Sebab, kata dia, di Manggarai Barat juga memiliki tempat yang mempunyai unsur sejarah dan nilai budaya yang sama dengan Wae Rebo.
“Kami akan desak Pemkab Manggarai Barat untuk bangun rumah adat di sekitar Kecamatan Mbeliling seperti rumah adat di Wae Rebo, karena unsur sejarahnya sama. Sehingga kami nanti akan kampanyekan untuk hentikan kunjungan wisata ke Wae Rebo,” tegasnya.
Sebelumnya, tokoh masyarakat dan adat Desa Satar Lenda bersama perkumpulan ojek wisata Wae Rebo telah membuat kesepakatan tentang penetapan pangkalan roda dua dan roda empat di simpang tiga SDK Denge.
Dalam rapat itu disepakati bahwa untuk roda dua dan roda empat berpusat di simpang tiga SDK Denge kecuali kendaraan dinas dan pengangkut sembako. Khusus wisatawan wajib berhenti di tempat yang sudah ditentukan.
Dari pangkalan menuju pos satu Wae Lomba harus menggunakan jasa ojek setempat dan tanpa ada unsur pemaksaan.
“Tarif ojek dari pangkalan menuju pos satu sebesar Rp 50.000 maupun dari pos satu ke pangkalan sebesar Rp 50.000 per penumpang,” demikian tarif ojek sebagaimana termuat dalam surat kesepakatan yang salinannya diperoleh VoxNtt.com.
Semua tukang ojek wisata Wae Rebo juga sudah menyiapkan kendaraan yang layak guna dan perlengkapan berkendara yang standar.
Dalam surat itu juga dituliskan bahwa semua ojek wisata Wae Rebo siap ikut serta dalam menjaga kelestarian alam dan nama baik pariwisata Wae Rebo.
“Bagi tukang ojek yang tidak mengindahkan pola-pola tersebut, akan berurusan dengan tokoh adat setempat dan diistirahatkan untuk sementara waktu”.
Ketetapan itu wajib diindahkan oleh semua pelaku pariwisata dan mulai berlaku sejak tanggal 30 Juni 2019.
Penulis: Pepy Kurniawan
Editor: Ardy Abba