Oleh: Paul Ama Tukan*
Dunia kian digempur dengan kemajuan-kemajuan digital yang dahsyat. Hal ini membuktikan bahwa dewasa ini prestasi akal budi semakin mencengangkan. Manusia pun terhenyak.
Di hadapan riuhnya kemajuan dunia, kita menyaksikan dunia menjadi semacam sebuah “etalase” yang menyodorkan banyak kemudahan.
Oleh karena dipermudah maka manusia pun memasuki iklim peradaban yang serba instan plus “super sibuk”. Pencapaian prestasi tentu menjadi sesuatu yang patut diapresiasi, bukan?
Akan tetapi tak dapat disangkal, manusia kerap terapung di tengah gelombang kemajuan yang semakin ganas ini. Manusia kehilangan posisi berhadapan dengan prestasinya sendiri.
Penetrasi media sosial misalnya, melepas batas ruang gerak manusia untuk berinteraksi. Manusia menghirup angin segar kemerdekaan. Interaksi terasa lebih leluasa, tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu.
Ada juga keterdesakan untuk tergerus dan ada hasrat untuk terus melaju dalam kecepatan yang seakan tanpa jeda, tak kenal henti. Dalam bahasa Herbert Mercuse, fenomena ini dinamakan “Berkuasanya peradaban atas pola pikir manusia”.
Imbasnya, orang tertimbun penyakit superfisialitas, mengutamakan sesuatu yang indah di permukaaan dan cepat terbuai dalam rentetan realitas yang mencuat sesaat.
Terlepas dari sisi positif adanya media sosial sebagi media interaksi, kini sebuah kegelisahan timbul, bahwa tak jarang orang mengeluh atau bahkan mengutuk kehadirannya karena justru menjauhkan orang-orang terdekat.
Manusia bahkan mengalami suatu situasi teralienasi dari sesamanya karena sibuk mengejar dan tenggelam dalam kepadatan.
Maka sebuah pertanyaan kritis diajukan: Apakah kemendalaman masih menjadi prioritas manusia untuk merenungkan eksistensi dirinya?
Penetrasi Media Sosial
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI), kata penetrasi berarti penerobosan, penembusan, atau perembesan masuk. Sebagai misal, penetrasi budaya barat terhadap tradisi lokal Indonesia atau dalam ilmu eksakta(Kimia) misalnya penetrasi larutan asam ke larutan basa yang menyebabkn kadar larutan kembali ke titik netral/tawar.
Frasa Penetrasi Media Sosial termuat suatu indikasi perembesan masuk iklim digital dalam konteks hidup masyarakat luas. Iklim digital dalam medsos ini mempengaruhi khazanah kehidupan manusia.
Oleh karena penerobosan inilah konsep hidup, dan internalisasi nilai-nilai kehidupan mengalami pergeseran secara amat substansial yang sekaligus berkiblat pada transformasi gaya hidup (life style), karakter (character), dan sikap (attitude).
Secara kritis, generasi zaman sekarang oleh Marc Prensky dinamakan sebagai generasi digital sejak lahir(Born Digital) atau generasi yang fasih berjaringan (Net Savvy).
Media sosial banyak digandrungi oleh khalayak luas dan tentu membawa suatu implikasi besar. Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia merilis sebuah riset tingkat penetrasi digital pemuda pada tahun 2016 dengan hasil yang cukup mencengangkan.
Tingkat paling tinggi pada kelompok umur 16-18 tahun yaitu sebesar 62,32%, disusul kelompok umur 19-24 tahun sebesar 56,88% dan kelompok umur 25-30 tahun sebesar 41,00%.
Lebih lanjut, telepon seluler diketahui sebagai perangkat keras yang paling banyak digunakan untuk mengakses internet, terutama media sosial.
Sebanyak 94,07 % pemuda mengakses internet melalui telepon seluler, diikuti jumlah 35,63 % melalui laptop/notebook/tablet, 26,51 % melalui computer dan 3,16 % melalui media lain.
Dari riset yang diadakan ini, terbukti sebagian besar orang muda mengakses internet dengan tujuan bersosial media (Facebook, BBM, Insttagram, Twitter,dll) yaitu sebanyak 88,35%, sedangkan untuk mendapatkan informasi/berita sebesar 75,2%.
Angka –angka ini dari tahun ke tahun terus meningkat. Adapun dari data ini disimpulkan bahwa sekitar 82% penyebab kepincangan social adalah penggunaan media sosial. Tak dapat disangkal bahwa penetrasi media sosial menggerus tatanan nilai dan mengubah wajah kehidupan manusia.
Selain data empiris di atas, menguatnya penetrsi medsos ini dapat juga kita telaah dari gambaran realitas dewasa ini. Di mana-mana; pasar, jalanan, angkutan, ruang tunggu, bahkan rumah-rumah ibadat, kita selalu mendapati orang sibuk berselancar dalam medsos. Komunikasi lintas ruang inilah menjadi nadi yang memacu penggunanya.
Tampaknya, kepuasan yang diperoleh dalam medsos melampaui hal konkret di sekitarnya. Penetrasi medsos dapat membuat orang mengalami kecanduan (addiction) sehingga perlahan-lahan mereduksi kepekaan dalam merespons dunia sekitarnya.
Tegangan Akselerasi
Dunia yang semakin riuh dalam media sosial menampilkan suatu dinamika kesibukan yang sengit. Orang dikejar oleh hasrat untuk selalu ‘Update’, menjadi baru setiap saat.
Persis, budaya akselerasi menjadi ciri khas dunia. Hal ini karena orang tak ingin disebut ketinggalan zaman. Penggunaan media sosial dapat menentukan kasta interaksi sosial seseorang. Ruang daring menjadi ‘halaman’ pergaulan.
Dalam hal ini, berguru pada arus kecepatan adalah mutlak perlu demi mengatasi ketertinggalan. Media sosial menyentuh kedalaman hasrat untuk berinteraksi tersebut.
Maka tak jarang orang lebih mementingkan relasi jarak jauh ketimbang relasipersonal dengan orang terdekat. Media sosial menimbulkan wabah “menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh”.
Dalam kaca mata kritis, penulis hendak mengupas beberapa bahaya tegangan akselerasi dewasa ini.
Pertama, tegangan akselerasi mempengaruhi khazanah rohani seseorang. Iklim kebatinan sesorang akan mudah terusik. Kedalaman rohani secara implisit identik dengan mengambil jarak baik dalam ruang dan waktu.
Upaya ini tak lain adalah ‘mengintip’ secara jeli setiap makna kehidupan yang mengalir dalam ruang dan waktu. Sebab hanya dalam jarak, individu mampu memandang sesuatu demi prosesnya sebagai pribadi yang terus ‘menjadi’.
Sedangkan akselerasi acapkali disejajarkan dengan problem kedangkalan dan sikap ceroboh. Oleh karena itu, iklim dunia maya dalam medsos secara gamblang menantang kehidupan rohaniah setiap individu.
Dalam realitas maya, orang seakan ‘dipaksa’ memanipulasi dan memformat citranya untuk tampil sedemikian ideal dan trend. Orang lupa menampilkan orisinalitas diri. Maka yang terjadi adalah keintensan relasi antara diri yang fisik dan spiritual mengalami distansi yang amat lebar.
Orang bisa ‘membenci’ dirinya serentak menafikan kebutuhan akan perjumpaan dengan yang ilahi. Praksisnya, manusia bisa mengalami perasaan ‘gelisah’ yang berkepanjangan di setiap waktu karena dorongan untuk tampil sempurna mungkin dalam medsos alih-alih manusia tidak pernah merasa puas dengan penampilannya sendiri.
Kedua, demi pelayanan kecepatan, orang mesti ‘cerewet’ dalam dunia maya. Logika media sosial adalah menggiring orang untuk terus mencipta, membuat kontan-kontan, atau sekedar memposting sesuatu agar tetap ‘update’.
Produk baru mampu menggalang atensi publik secara holistik. Selain untuk memenuhi hasrat narsistik, hal ini pun mendongkrak cara kerja algoritma (mesin penggerak mesin cerdas di balik aplikasi media).
Konsekuensinya, orang terjebak dalam apa yang dinamakan “multitasking”. Fokus pikiran mulai menjalar untuk melakukan beberapa kegiatan sekaligus dalam satu kesempatan.
Menyetir mobil sambil chatting, mengikuti perayaan ekaristi sambil berselancar di facebook, makan sambil membaca berita online atau bahkan buang air sambil menjawab pesan lewat Whatssap/WA.
Ketiga, tegangan akselerasi dapat membuat orang terjerumus dalam sebuah fenomena kronis yang dinamakan “anti-intelektual”. Problematika ini perlu diterawang dari sudut pandang membanjirnya informasi dalam dunia maya.
Informasi diproduk begitu cepat. Kecepatan informasi ini semata-mata bukan karena jumlahnya tetapi karena substansi informasi yang direkah-rekah dan diciptakan secara subjektif. Maka yang terjadi, timbulnya informasi adalah produk pembelotan fakta(hoax).
Dewasa ini, iklim dalam medsos mendongkrak ‘kreativitas’ yang bergejala ‘sesat pikir’. Kasus hoax adalah salah satu indikator anti-intelektual yang paling santer. Zaman ini adalah zaman pasca kebenaran: substansinya ialah bukan pada kebenaran itu melainkan bagaimana orang bertindak atas kebenaran.
Dengan demikian, orang lebih cenderung malas berpikir karena berpikir adalah proses mencari kebenaran. Sejatinya anti-intelektual adalah sebuah sikap apatis terhadap kualitas informasi lalu mengklaim sumber informasi sebagai yang elitis-terpercaya.
Hal ini menimbulkan kesenjangan tafsir terhadap informasi yang pada gilirannya menimbulkan ketimpangan sosial karena mengguritanya tensi-tensi pribadi.
Keempat, tegangan akselerasi bisa menyebabkan apa yang oleh Jean Paul Sartre dinamakan “nausea” yaitu sebuah situasi hampa senyap atau keterasingan. Situasi ini dialami ketika manusia mencoba berhenti dari kesibukan karena faktor-faktor tertentu yang tidak lagi mendukung pamornya.
Rasa hampa, tanpa arti itu muncul mendadak ketika dia menyadari bahwa apa saja yang dikerjakan itu hanya sebatas buat-buatan atau konstruksi semata.
Oleh karena itu, ada indikasi bahwa manusia berusaha menghindarinya terus dengan cara membuat diri sibuk mengkonstruksi terus karena pada dasarnya manusia tidak mampu mengahadapi nausea-nya sendiri.
Tegangan akselerasi di medsos membuat orang terus mengkonstruksi dan berakibat pada kealpaan untuk berziarah ke dalam diri. Pada akhirnya ia bisa mengalami kesepian psikologis yang sulit diatasi.
Tawaran Alternatif
Mengulas dan memeriksa dampak-dampak tegangan akselersi dalam medsos, kira-kira sebuah hipotesis awal bisa diajukan bahwa berhadapan dengan realitas maya dalam medsos manusia kerap tercebur dalam superfisialits minus kemendalaman.
Dunia maya, sebagaimana realitas imajiner manusia menyodorkan semacam tawaran menarik yang terkadang tidak diterima akal sehat.
Manusia tercebur ke dalam konteks yang dikehendaki dunia tersebut sehingga ia bisa “terlempar” jauh dari pijakan realitas yang sesungguhnya.
Dunia maya membawanya pada suatu angan-angan ideal yang berdampak pada “keterapungan” tanpa orientasi hidup yang jelas.
Wajah manusia yang demikin miris ini, memacu kita untuk merenungkan pertanyaan eksistensial ini: bagaimana cara manusia untuk menghadapi “nausea”-nya sendiri dalam zaman yang serba digital ini?
Pertama-tama dengan cara berpikir fenomenologis, kita sepakat bahwa apapun yang ada di luar diri manusia secara mendasar menampakkan eksistensinya sebagaimana ia ada.
Adanya medsos, sejatinya tidak mengandung negativitas yang membawa bahaya bagi manusia, sebaliknya kontaminasi-kontaminasi yang terjadi antar manusialah yang memperkeruh prasangka-prasangka adanya hal yang berbahaya bagi dirinya sendiri.
Oleh karena itu, yang terpenting ialah mempertajam cara pandang manusia untuk menyikapi realitas itu secara bijak ketimbang “menuduh” keberadaan medsos sebagai bentuk resistensi terhadap kemaslahatan hidup.
Atas pemikiran ini maka, penulis menyodorkan beberapa tawaran praktis sehubungan dengan tegangan akselerasi dalam medsos.
Pertama, menggalakkan budaya literasi digital. Dalam konteks medsos, literasi digital berarti sebuah life skill/ keterampilan penting sekaligus sebuah upaya intelektual untuk membaca, menulis, memeriksa, menakar dan mengkritisi informasi yang bersileweran dalam medsos.
Budaya literasi juga dapat dimengerti sebagai gerakan untuk menganalisis informasi secara jeli dan tajam agar tidak mudah terpengaruh oleh ragam informasi yang belum valid kebenarannya.
Literasi menjadi sangat urgen mengingat dewasa ini kesadaran-kesadaran kritis para pengguna medsos kian menumpul. Literasi menjadi lingsir tatkala kerja kinestetis jempol menguasai daya kritis kita.
Jempol bergerak lebih cepat untuk men-share kontan atau informasi melampaui kerja kognisi otak untuk menganalisis secara masak.
Alhasil lanskap medsos dicemari oleh limbah hoax, subordinasi, hate speech dll. Di tengah situasi ini, budaya literasi digital menjadi penangkal paling ampuh untuk mengatasi dampak tegangan akselersi sekaligus menggiring manusi untuk menghayati betapa pentingnya berpikir dan menakar secara mendalam.
Literasi digital niscaya mengasah pikiran manusia untuk bertindak lebih “waras” dan beradab. Keterampilan membaca, menganilisis dan mengkritisi segala bentuk relasi komunikatif dalam medsos perlahan-lahan mengentaskan superfisialitas dari peradaban manusia termasuk penyakit hoax yang kian mewabah.
Kedua, jeda untuk berefleksi. Memang cukup sulit bagi seorang pecandu medsos untuk sejenak “rehat” dari kesibukan online-nya. Sebab jeda hanya akan menimbulkan rasa gelisah, sepi, dan tidak tenang.
Otak seorang pecandu akan terus mentranskip kecenderungn-kecenderungan itu. Persis keutamaan less is more sebagaimana yang diserukkan paus Fransiskus mendapat juntrungnya. Bahwa kita perlu berhenti sejenak dari kesibukan-kesibukan kita untuk mensyukuri setiap detik kehidupan ini kendatipun terlihat remeh, agar kita boleh menimba suatu pengertian dan kepenuhan pribadi yang jauh lebih luas (Bdk. Laidato Si.No. 222).
Tegangan akselerasi medsos pun termasuk sebuah kegelisahan paus Fransiskus. Mau tidak mau, suka tidak suka, kita hanya dapat dikatakan pengguna medsos yang bijak dan bermoral andaikata kita meluangkan waktu sejenak untuk berefleksi; sebuah upaya untuk tidak diperhamba oleh kemajuan IPTEK.
Jeda untuki berefleksi inilah yang menggerakkan kita untuk lebih peka dengan realitas sekitar dan orang di sekitar yang kita jumpai.
Ketiga, dengan mengubah cara pandang bahwa ketenaran dalam medsos tidak serta merta menjadi bukti berkualitasnya seseorang. Perpektif ini, akan membawa manusia untuk mengejar sesuatu yng lebih riil dalam hidupnya, sesuatu yang lebih mempengaruhi eksistensinya sebagai manusia.
Tegangan akselerasi dalam dunia maya kerap disebabkan oleh cara pandang yang keliru ini. Ceruk pemikiran ini akhirnya membuat orang mengejar ketenaran dengan narsisme dan postingan-postingan yang hiperbolis syarat intrik.
Dengan mengubah cara pandang yang demikian maka niscaya orang menjadi lebih sadar akan pentingnya memperjuangkan hidup dalam dunia riil ketimbang dalam dunia maya yang amat bernuansa utopis.
Sumber
Sutrisno, Mudji, 1995. Ziarah Peradaban. Yogyakarta. Kanisius
Rohani No.10. Tahun ke -65, Oktober 2018
Pos Kupang, Jumat 5 Oktober 2018
*Paul Ama Tukan
Sedang Menjalani masa formasi rohani di Novisiat SVD St. Yosef Nenuk. Anggota redaksi Majalah Lentera Novisiat Nenuk. Berasal dari Ritaebang, Solor Barat.