Kupang, Vox NTT-Kekalahan dalam Pilkada Matim tidak membuatnya antipolitik. Perhelatan itu malah menjadi kawah candradimuka yang membuatnya semakin matang dan mengerti banyak aspek dunia penuh intrik itu.
Sebagai seorang mantan perwira, dia menerima dengan lapang hati kekalahannya. Sebagai seorang karateka dan petarung sejati dia tahu bahwa konsekuensi mengikuti sebuah pertarungan adalah menang atau kalah.
Pengalamannya sebagai seorang patriot di palagan keras seperti Papua, telah mengajarkannya bagaimana menerima kekalahan dengan lapang hati sebagai seorang ksatria.
Itulah mengapa ketika mayoritas masyarakat Matim belum berkenan menyerahkan mandat mereka dalam pilkada baru lalu, dia lebih memilih menepi sejenak untuk mengambil waktu merenung, ketimbang menyalahkan siapa pun.
Itu dilakukannya dengan sadar agar meresapi semua perjalanannya dalam pilkada sambil mengevaluasi diri untuk kemudian mengambil langkah strategis yang pas dalam konstelasi politik matim.
Baginya jelas, “Ketika daun jatuh, jangan pernah salahkan angin.”
Tetapi kini dia kembali. Bukan lagi sebagai seorang mantan perwira dengan lencana melati tergantung di pundak yang baru menapaki dunia politik seperti sebelumnya.
Tapi seorang politisi perwira dengan pengalaman yang lebih matang dan kesiapan yang terukur untuk menghadapi berbagai riakan dan gelombang dalam samudra politik Matim.
Pilkada itu telah mengajarkannya dengan siapa bisa bekerja sama, siapa yang suka bermain di air keruh, siapa yang tulus seperti merpati, dan siapa belut yang kulitnya dibalut oli kendaraan.
Kini dia tahu siapa yang berpotensi menjadi pengkhianat dan siapa sahabat setia seiring jalan dalam setiap pertarungan politik.
Semua pelajaran itu akan menjadi pegangannya dalam menjalankan tugas barunya sebagai Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDI-P Manggarai Timur.
Dalam posisi strategis-politik ini, satu tekad bulat terpatri di hati sanubarinya sebagai seorang politisi patriot perwira.
“PDI-P harus bergerak cepat maju ke depan sebagai partai modern di tingkat politik Manggrai Timur. Citra Banteng Merah yang penuh pertikaian internal sehingga kurang mendapat simpati positif dari masyarakat pada masa lalu, akan tinggal menjadi kenangan saja karena saya dengan seluruh dukungan sumber daya PDIP yang ada, siap, berkomitmen dan penuh hasrat memperbaiki citra dan kinerja partai menuju masa depan yang gilang-gemilang” ungkapnya.
“Dengan kerja dan target yang fokus dan terukur. Kami siap menghadirkan gambaran PDIP Matim masa depan itu dengan kinerja kami beberapa tahun ke depan sambil melap-lap semua gambaran buruk terhadap oknum partai ini dimasa lalu,”
Bila semua yang dikatakan di atas akan menjadi fokus kepemimpinannya pada PDIP ke depan, maka PDIP di bawah kepemimpinannya akan hadir dan siap bergandengan tangan dengan berbagai elite dan elemen politik Matim dari mana pun, dari spektrum ideologi apa pun.
Dengan filosofi “bukan di mana ladangnya, tetapi siapa petaninya“, ia akan terlibat dalam membangun Matim tanpa harus menunggu menjadi seorang Bupat.
Bahkan, menurut dia, membangun Matim tidak bisa dilakukan Bupati sendirian tanpa bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk dengan partai politik sebagai substrate politik utama politik bangsa ini pasca reformasi.
“Saya ingin terlibat dan berkontribusi dalam membangun Matim dengan berpartai; dengan menjadikan PDIP Matim sebagai wahana masyarakat Matim menyampaiakan aspirasi mereka kepada eksekutif” tegasnya.
Politisi itu bernama Marselis Sarimin Karong, putra asli Mukun, Kota Komba yang pernah merantau, menjadi perwira polisi yang sukses. Ia lebih memilih pulang kampung untuk membangun tanah kelahiran yang sangat dicintainya.
Kini dia siap menulis sejarah PDIP Matim dalam setiap langkah dan keputusan strategis yang diambilnya.
Dia berjanji, untuk tanah ini dan masyarakat kabupaten inilah seluruh dedikasinya akan diberikan.
Penulis: M.Arryantho, Ketua Banteng Muda Indonesia (BMI) Cabang Manggarai Timur
BACA Juga Tentang Sosok Marselis Sarimin Di Sini: