Oleh: Jade Irene Linardi
Dokter di RSUD Kefamenanu
Stunting merupakan salah satu persoalan besar yang masih mengganjal kesehatan masyarakat Indonesia, termasuk di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Menurut Riskesdas tahun 2018, prevalensi stunting di Indonesia adalah sebesar 30,8%, di mana prevalensi di Provinsi Nusa Tenggara Timur mencapai 42,6%.
Stunting disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam rentang waktu yang lama, dimana asupan makanan tidak sesuai dengan kebutuhan gizi.
Stunting yang termasuk dalam malnutrisi ini mempengaruhi pertumbuhan linear seorang anak. Anak (usia 0 sampai 59 bulan) disebut stunting atau pendek apabila persentase tinggi badan terhadap usia di bawah minus dua (pendek) dan minus tiga (sangat pendek) berdasarkan kurva standar pertumbuhan anak yang dikeluarkan oleh WHO.
Gejala stunting yang dapat kita cermati yaitu anak berbadan lebih pendek untuk anak seusianya, proporsi tubuh anak cenderung normal namun anak tampak lebih kecil untuk usianya, berat badan rendah untuk anak seusianya, serta pertumbuhan tulang tertunda.
Stunting pada anak bukan hanya sekedar terlihat pendek, namun berdampak pada pertumbuhan dan perkembangannya. Kurangnya nutrisi menyebabkan daya tahan tubuh anak lebih lemah, sehingga berisiko mengalami infeksi berulang. Infeksi berulang juga berdampak pada proses penyerapan nutrisi.
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya stunting meliputi:
(1) Faktor ibu, seperti status gizi buruk ibu selama masa pra kehamilan, kehamilan, dan menyusui, perawakan ibu pendek;
(2) Lingkungan rumah, seperti kurangnya stimuasi dan aktivitas pada anak, praktek pengasuhan anak yang buruk;
(3) Faktor budaya dan norma setempat;
(4) Pemberian ASI yang tertunda atau tidak diberikan sama sekali;
(5) Pemberian makanan pendamping ASI yang tidak mencukupi baik dalam kualitas maupun kuantitas serta aspek higienitasnya;
(6) Akses yang rendah terhadap pelayanan kesehatan; serta
(7) Akses yang rendah untuk memperoleh air bersih dan sanitasi.
Proses Terjadinya Stunting
Proses stunting terjadi pada awal kehidupan, terutama dalam 1000 hari pertama kehidupan, yaitu sejak dalam kandungan (janin) hingga anak berusia 2 tahun.
Dampaknya menimbulkan terjadinya hambatan dalam perkembangan, penurunan fungsi kekebalan tubuh, serta penurunan fungsi kognitif, di mana ketika anak menginjak usia dua tahun, proses tersebut bersifat ireversibel.
Efek jangka panjang pada masa dewasa meliputi timbulnya Penyakit Tidak Menular (PTM) seperti obesitas, hipertensi, penurunan toleransi glukosa, penyakit jantung koroner, dan osteoporosis.
Oleh karena itu, pencegahan stunting harus dilakukan sedini mungkin. Asupan nutrisi yang baik bagi ibu hamil sangat dianjurkan. Asupan tersebut dibutuhkan janin dalam kandungannya.
Saat bayi lahir dan menginjak usia 6 bulan, asupan protein mempengaruhi pertambahan tinggi dan berat badan. Asupan protein harian yang disarankan bagi anak usia 6-12 bulan adalah sebesar 1,2 g/kg berat badan, sedangkan bagi anak usia 1-3 tahun adalah sebesar 1,05 g/kg berat badan.
Pencegahan stunting juga harus dimulai dari keluarga kita. Orang tua harus menyadari ancaman stunting sedini mungkin dan memastikan asupan gizi yang memadai untuk ibu dan anak.
Selain itu, pemerintah harus memastikan ketersediaan air bersih, kecukupan pangan serta layanan kesehatan di tengah masyarakat.
Pada akhirnya masalah stunting di NTT harus diselesaikan secara bersama. Seluruh komponen harus bergotong royong untuk mencegah anak dari bahaya stunting.
Ingat, anak merupakan investasi besar bagi bangsa dan negara. Jika kita gagal memelihara dan merawat anak, kita juga gagal melahirkan peradaban bangsa yang lebih maju di masa yang akan datang.