Betun, Vox NTT-Miguel Noronha adalah seorang mantan pejuang (Milisi) NKRI tahun 1999 di Bobonaro, sebuah Distrik di Republik Demokratik Timor Leste.
Pria berpostur tinggi kurus ini adalah putra asli Timor Leste. Namun karena cintanya kepada Indonesia, ia rela meninggalkan tanah leluhurnya, tempat ia lahir dan dibesarkan.
Dulunya Miguel adalah seoarng petani biasa di kampung halamannya, Bobonaro. Awal tahun 90an beliau mulai ikut membantu TNI menyisir hutan-hutan Timor Leste.
Kala itu ia berperan penting sebagai pemandu jalan di hutan rimba Timor Leste. Istilah dalam dunia militer dinamakan TBO (Tenaga Bantu Operasi).
TBO inilah yang membantu militer Indonesia selama beroperasi di sana. Selain membantu operasi Militer, TBO juga dilatih bergerilya di hutan, dengan maksud jika terjadi situasi mendesak, mereka bisa mengangkat senjata membela NKRI.
Miguel saat itu cukup aktif membantu dan sering mendapat latihan tembak dan latihan teknik dasar perang dari TNI.
Alhasil sampai hari ini, jiwa korsa dan semangatnya terus bergelora meski usianya dirundung senja.
Pecah Perang 1999
Referendum 1999, menurut Miguel merupakan saat paling sadis dan dilematis dalam hidupnya. Sadis karena luka kemanusiaan dan dilematis karena harus memerangi saudaranya sendiri.
Yang lebih parah lagi, lanjut Miguel, tanah leluhurnya harus ditinggalkan demi MERAH PUTIH dan NKRI.
Anak istrinya saat itu diberangkatkan duluan oleh pemerintah RI ke kota Atambua kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur.
Sedangkan Miguel sendiri ikut bergabung bersama milisi Merah Putih lainya dan berjuang mengangkat senjata mempertahankan NKRI. Dalam benaknya, nyawa adalah taruhan demi NKRI.
Singkat cerita, hasil referendum menyatakan Indonesia kalah. Miguel bersama milisi lainya harus bertolak mencari suaka ke Republik Indonesia. Republik yang mereka cinta dan rela pertaruhkan nyawa.
Belu, Provinsi NTT adalah pilihan terakhir untuk mereka tinggal. Alasannya karena satu daratan dan punya kesamaan bahasa serta budaya. Apalagi Belu berbatasan langsung dengan Timor Leste.
Karena situasi sangat mencekam saat itu, Miguel terpaksa berjalan kaki menelusuri hutan dan lembah menuju ke kota Atambua, menyusul istri dan anak-anaknya.
Jarak tempuh sekitar ratusan kilo meter dari Bobonaro ke Atambua. Tapi saat itu, jarak tidak menjadi suatu masalah besar. Intinya sampai dengan selamat.
Hidup dan menjadi pengungsi saat itu adalah saat paling kejam dalam Hidup Miguel. Bayangkan, mau tinggal di mana dan harus makan apa.
Harta benda tidak satu pun mereka bawa dari Bobonaro (RDTL). Sebuah kesulitan hidup yang sangat memprihatinkan.
Beberapa bulan di Atambua, Miguel bersama keluarganya bertolak ke selatan, tepatnya di Kecamatan Malaka Tengah (Kab.Malaka sekarang).
Mereka bergeser ke Malaka demi menyusuli sanak keluarga yang sudah mendahului mereka. Katanya, di sana masih banyak tanah kosong dan cocok untuk bertani.
Tahun 2000
Miguel dan keluarga berjalan kaki menuju Malaka. Di sana mereka tinggal di camp pengungsian yang sudah disediakan pemerintah dan PBB.
Hidup bertahun tahun dari satu camp ke camp yang lain, Miguel pun memutuskan untuk bekerja dan menyambung hidup.
Tapi apa boleh buat, hidupnya tak sebaik saat masih di Bobonaro. Di Malaka, Miguel tidak mempunyai rumah dan tanah sendiri untuk bisa melanjutkan hidupnya.
Terletak di dusun Wemalae (Tubaki), Desa Wehali, Kecamatan Malaka Tengah, Kabupaten Malaka, Miguel hidup dan mengasingkan diri di kebun milik Dinas Kehutanan.
Ia hidup dalam gubuk reyot bersama istri dan 7 anaknya yang masih sangat kecil. Sungguh sebuah pemandangan yang mengharukan di tengah gaya hidup hedonis kaum elit negeri ini.
Seorang pejuang NKRI, bertaruh nyawa demi Merah Putih, meninggalkan tanah kelahiran tapi kesejahteraan hidupnya tidak diperhatikan negara.
Miguel saat ditemui VoxNtt.com pada 20 Agustus 2019 lalu berharap, pemerintah mengingat jasanya dan teman-temanya yang saat itu ikut berjuang.
Beliau juga berharap, pemerintah kabupaten Malaka membantu menyekolahkan anak-anaknya.
Terakhir beliau berpesan untuk kaum muda NKRI, “Tetap semangat mempertahankan ideologi Pancasila dan berjuang terus memerangi korupsi oleh elit-elit politik”. SALAM HORMAT PEJUANG.
Penulis: Frido Raebesi
Editor: Irvan K