Kupang, Vox NTT-11 Cabang Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) se-Indonesia menggelar aksi unjuk rasa di Kupang, Senin (23/09/2019).
Aksi tersebut dilakukan demi menolak revisi UU KPK yang resmi disahkan dalam rapat paripurna DPR RI, 17 September 2019 lalu.
Selain itu, 11 cabang PMKRI juga menolak revisi Rancangan Kitab Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dinilai sarat kontroversi.
Aliansi kesebelas cabang PMKRI ini terdiri dari PMKRI Cabang Kupang, Maumere, Ruteng, Alor, Kefa, Atambua, Tambolaka, Mataram, Tondano, Yogyakarta dan Merauke.
Koordinator lapangan aksi, Yoseph S. Momao yang juga sekretaris Jenderal PMKRI Cabang Yogyakarta mengatakan, publik hari ini ramai melakukan perlawanan atas dua produk hukum yang dinilai cacat baik secara formil maupun materil.
Ia menegaskan, substansi revisi Rancangan Kitab Undang Hukum Pidana (RKUHP) berpotensi membunuh sistem demokrasi yang telah bertumbuh subur di Republik ini sejak diperjuangkan reformasi tahun 1998.
“Kami menilai dalam rancangan Kitab Undang Hukum Pidana terdapat pasal-pasal yang dapat mengekang dan memberangus kebebasan berserikat dan berpendapat di republik ini,” tegasnya.
Ia juga menilai revisi KUHP ini terkesan negara dapat mengintervensi terlalu jauh urusan privat warga negara.
Hal ini kata dia, terlihat dalam draf revisi Kitab Undang Hukum Pidana (RKUHP) pasal 219 tentang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden bakal dipidana penjara paling lama 4 tahun 6 bulan.
“Pasal 241 tentang penghinaan terhadap pemerintah dipidana penjara 4 tahun. Pasal 247 tentang hasutan melawan penguasa dapat dipidana penjara paling lama 4 tahun. Pasal 262 tentang penyiaran berita bohong diancam penjara paling lama 6 tahun, ” jelasnya.
Pasal 354 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana penjara paling lama 2 tahun.
“Pasal – pasal ini kami nilai sangat berpotensi menutup keran demokrasi yang telah diperjuangkan oleh generasi 1998,” tegasnya.
Koordinator Umum aksi, Presidium Gerakan Kemasyarakatan PMKRI cabang Kupang, Alexius Easton Ance menilai upaya untuk merevisi UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Pemberantasan Korupsi adalah upaya gerakan yang tersistematis, struktur dan masif.
“Hal ini ditunjukkan di tengah semakin genjar dan maraknya penangkapan pelaku praktik korupsi oleh KPK, di saat yang bersamaan lembaga Legislatif maupun Eksekutif terus bermanuver untuk merevisi UU KPK ini, hingga disahkannya pada tanggal 17 September lalu oleh DPR RI,” ungkap Alexius kepada VoxNtt. Com, Senin sore.
Ia mengatakan, Substansi dari revisi UU apapun itu mestinya merujuk pada upaya penguatan bukan pelemahan. Apalagi kata dia, UU yang berwenang untuk memberantas praktik korupsi yang selama ini menjadi salah satu persoalan laten bangsa ini.
“Secara materill revisi UU KPK ini, berpotensi dapat melemahkan dan merusak sistem pemberantasan korupsi yang sudah mulai berkembang baik di republik ini, ” ujarnya.
Upaya pelemahan terhadap kewenangan dan tugas KPK dalam agenda pemberantasan korupsi ini terlihat dalam draf revisi UU KPK.
“Misalnya pada pasal 1 ayat 3 KPK berstatus sebagai lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif, hal ini tentu sangat bertentangan dengan prinsip teori lembaga independen yang memisahkan lembaga penegak hukum dari cabang kekuasaan lainnya, ” katanya.
Pasal 1 ayat 6 yang mengatur pegawai KPK berstatus ASN, pasal ini tegas dia, sangat berpotensi mengganggu independensi pegawai KPK dalam menangani perkara.
“Lebih ekstrimnya lagi muatan pasal 37 yang mengatur tentang pembentukan Dewan Pengawas. pembentukan Dewan Pengawas bagi kami sesuatu yang sangat tidak diperlukan dan hanya menghambur-hamburkan uang negara,” jelasnya.
Menurutnya, KPK selama ini sudah berjalan baik dengan diawasi secara internal lewat kedeputian pengawas internal dan pengaduan masyarakat (PIPM) dan secara eksternal KPK mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada Badan Pemeriksa Keuangan, DPR, Presiden, institusi kehakiman dan publik.
“Pasal 37 B ayat b, yang mengatur penyadapan harus seizin dewan pengawas, tentu sangat berpotensi memperlambat penanganan kasus korupsi dan membuka peluang intervensi dari pihak yang tidak bertanggungjawab, ” tegasnya.
“Hingga kewenangan KPK untuk bisa menerbitkan surat perintah penyidikan (SP3) yang diatur dalam pasal 40, dengan kewenangan ini, penanganan perkara besar berpotensi dihentikan setelah 2 tahun berjalan, padahal setiap perkara memiliki perbedaan kompleksitas penanganan, ” tambahnya.
Sementara itu, Ketua PMKRI cabang Kupang, Adrianus Oswin Goleng mengatakan, bagi PMKRI revisi UU KPK nomor 30 tahun 2002 bukan solusi yang tepat untuk menjawab keresahan beberapa pihak yang menilai kehadiran lembaga KPK tidak mampu mencegah indeks korupsi di Republik ini.
Ia mendorong pemerintah dan DPR untuk memperkuat lembaga Kepolisian dan kejaksaan dengan merevisi UU Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 tahun 1999.
“Sehingga ketiga lembaga ini bisa bersinergi memberantas dan mencegah praktek korupsi di Negara ini, ” tegasnya.
Ia juga menilai, ada ketakutan di dalam tubuh lembaga eksekutif dan legislatif sehingga kemudian membuat mereka berupaya membentengi diri dari KPK dengan cara merevisi UU KPK nomor 30 tahun 2002.
“Tercatat sampai Juni 2019 KPK mengusut sebanyak 255 kasus yang menjerat anggota DPR dan 110 kasus dari kalangan pemerintah, ” katanya.
Tak hanya itu, ia juga mengecam dan mengutuk keras sikap Presiden Jokowi, yang terkesan pro terhadap Koruptor dengan ditandatanganinya hasil revisi UU KPK.
Hasil revisi UU KPK ini kata dia, sangat kontraproduktif dengan program Nawacita Jokowi jilid 2 yaitu memperkuat lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi.
“Oleh karena itu kami PMKRI Se-Indonesia dengan tegas menolak hasil revisi UU KPK dan mendesak presiden Jokowi Segera Mengeluarkan Perppu terkait, ” tegasnya.
Pernyataan Sikap
Berikut pernyataan sikap Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Se-Indonesia yang diterima VoxNtt.Com:
Pertama, Menolak rancangan Kitab Hukum Acara Pidana (RKUHP) yang berpotensi dapat memberangus sistem demokrasi di Republik ini.
Kedua, Menolak Hasil revisi UU KPK nomor 30 tahun 2002 tentang KPK. Kami menilai produk hukum hasil revisi terlalu premature baik Formill maupun Materil.
Ketiga, Mendesak Presiden Republik Indonesia untuk segera mengeluarkan Perppu terkait hasil revisi UU KPK nomor 30 tahun 2002.
Keempat, Mendesak DPR RI untuk memperkuat lembaga kepolisian dan kejaksaan, sehingga dapat bersinergi dengan KPK untuk mencegah korupsi dengan cara merevisi UU Tipikor nomor 31 tahun 1999.
Kelima, Kami mengecam atas upaya pemberangusan dan pengekangan demokrasi serta upaya pelemahan terhadap KPK. Revisi UU KPK berbenturan dengan salah satu semangat reformasi yaitu menumpas segala macam bentuk praktik korupsi di NKRI.
Beda Sikap dengan Pengurus Pusat
Sikap ke-11 cabang PMKRI ini berbeda tajam dengan Pengurus Pusat (PP) yang mendukung revisi UU KPK.
Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Indonesia (PMKRI) Yuventus Prima Yoris Kago, sebelumnya menyebut revisi UU KPK perlu dilakukan mengingat lembaga antirasuah itu sudah memasuki usia 17 tahun.
“Sudah 17 tahun. Sudah harus direvisi. Ada beberapa poin yang perlu dimasukkan. Selama ini masih ada penegakan hukum yang tebang pilih. Belum menyasar dikasus kasus besar. Masih bermain di kasus kasus kecil,” tutur Yuven usai seminar Nasional PMKRI di Milenium Kupang, Rabu (18/09/2019).
Terkait dewan pengawas KPK, Yuven juga ikut mendukung keberadaan unit tersebut.
“Jangan sampe semau dia. Paling tidak kalau untuk KPK lebih baik perlu ada revisi. Di dalamnya manusia-manusia bukan malaikat,” tuturnya. (VoN).