Borong, Vox NTT-Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Provinsi NTT angkat bicara terkait penggusuran magrove di wilayah pesisir pantai Borong, Kelurahan Kota Ndora, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur (Matim).
“Kalau kita mau kaji mangrove, sebenarnya salah satu yang dilakukan oleh pemerintah daerah (Pemda) itu pidana lingkungan,” ujar Deputi Walhi NTT, Yuvensius Stefanus Nonga kepada VoxNtt.com, Kamis (24/10/2019).
Dia menjelaskan, apapun alasan yang dipakai oleh Pemda Matim, bahwa sudah ada UKL dan UPL dan lain sebagainya, itu tidak bisa dibenarkan demi membenarkan rencana strategis pemerintah dalam pembangunan jalan itu.
“Kalau bicara dari soal pesisir sebenarnya mangrove diatur dalam ruang lingkup Kementerian. Mulai dari Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Lingkungan Hidup,” jelasnya.
Dari tiga Kementerian ini kata dia, tentunya memilki perspektif masing-masing. Ada yang melihat mangrove sebagai sumber daya perikanan atau berkembangnya perikanan.
Yang paling kuat kata dia, adalah ketika Undang-undang perlindungan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang menetapkan wilayah pesisir sebagai wilayah sepadan.
Menurut Yuvensius, dalam konteks wilayah sepadan, yakni wilayah yang berada 100 meter pada air pasang naik tertinggi, itu hanya diperuntukan untuk dua hal. Pertama, konservasi penanaman kembali mangrove dan kedua akses publik.
Dia menerangkan, akses publik itu tidak bisa dibaca ketika membangun jalan. Artinya kata dia, di dalam wilayah sepadan atau mangrove itu tidak diperkenankan untuk membangun seluruh proyek infrastruktur.
“Karena fungsi mangrove yang pertama selain tempat berkembangbiaknya sumber daya perikanan, juga sebagai sabuk hijau,” pungkas Yuvensius.
Hal itu juga, tegas dia, diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Pada Pasal 1 ayat (4) UU itu, menyatakan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil adalah sumber daya hayati, sumber daya non hayati; sumber daya buatan, dan jasa-jasa lingkungan.
Sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain.
Sumber daya non hayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut.
Sumber daya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan.
Dan, jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi
bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan, serta energi gelombang laut yang terdapat di wilayah pesisir.
“Kalau misalnya alasan mereka (Pemda Matim) mengatakan bahwa itu kepentingan akses masyarakat umum, itu kan perlu dikaji lagi. Apakah memang hanya satu spot saja yang ada di situ dengan menumbang mangrove atau bisa mengambil jalan di area yang lain,” tambahnya.
Menurutnya, fungsi UKL dan UPL itu adalah untuk meminimalisasi kerusakan lingkungan.
Tetapi kemudian dalam pelaksanaan justru membenarkan adanya penebangan mangrove. UKL dan UPL itu dijadikan oleh DLHD sebagai salah satu perisai pembelaan terhadap penebangan mangrove.
“Maka UKL dan UPL itu dipertanyakan. Saya pikir mindset pemerintah dalam nuansa ekologi juga perlu dibenahi lagi,” tukas Yuvensius.
Dia mengatakan, kalau misalnya kepala dinas mengatakan skop-nya kecil, maka harus dipastikan bahwa syarat analisis dampak lingkungan (Amdal) itu ada.
“Maka apabila dia mau lakukan hanya UKL dan UPL, maka harus ada surat rekomendasi dari Kementerian Lingkungan Hidup, yang menyatakan bahwa studi dari DLHD Kabupaten dampaknya kecil,” ujar Yuvensius.
Persoalannya kata dia, apabila UKL dan UPL yang mereka pakai hanya untuk upaya penebangan mangrove, maka itu hal teknis.
“Tetapi ada hal-hal substansi yang tidak bisa dibantah oleh hal-hal teknis,” tukasnya.
Sebelumnya, Kepala dinas (Kadis) Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Matim Yosep Marto angkat bicara terkait proyek pembangunan jalan lingkar luar Kota Borong di Kelurahan Kota Ndora.
“Hutan mangrove wajib hukumnya dilindungi, mau sudah ditetapkan atau belum ditetapkan. Ini sekarang kita dalam upaya membangun rencana detail tata ruang Kota Borong,” ujar Marto di sela-sela kegiatan pemantauan proyek itu, Rabu (23/10/2019).
Dijelaskannya pembangunan jalan itu, dalam rangka mendukung proyek rehabilitasi hutan mangrove yang dicanangkan PDT. Kementrian Desa.
“Sehingga Pemkab mengambil jalan di belakang supaya melindungi mangrove, menghindari ekspansi masyarakat dari belakang yang mengklaim,” ujarnya.
Dikatakannya, selain upaya melestarikan hutan mangrove, juga dalam upaya membangun pariwisata Matim ke depan.
Terkait beberapa pohon mangrove yang digusur jelas dia, ke depan akan diupayakan penanaman kembali.
Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Daerah (DLHD) Matim Donatus Datur mengatakan, pihaknya sudah melakukan analisis terkait proyek jalan yang tengah dibangun itu.
“Kalau soal mangrove yang digusur dari Kampung Ende menuju pantai Borong setelah ditelusuri, itu memang jalan dari dulu, akses masyarakat ke pantai. Waktu dulu mangrove masih besar-besar orang takut jalan lewat itu,” ujar Donatus kepada VoxNtt.com, Rabu (23/10/2019) pagi.
Tetapi sekarang kata mantan Kepala Dinas Pangan itu, sudah dibuka akses dan dampaknya juga tidak terlalu besar.
“Kita sudah analisis UKL (Upaya pengelolaan Lingkungan Hidup) dan UPL (Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup), dampaknya. Dia tidak ke Amdal (Analisis dampak Lingkungan (Amdal) karena skopnya kecil,” jelasnya.
Donatus menjelaskan, langkah yang ditawarkan akibat kegiatan pembukaan jalan lingkar luar Kota Borong itu, yakni melakukan penanaman mangrove yang baru.
“Ke depan harus ada akses air laut yang masuk ke sebelah nanti. Supaya mangrove dan habitat yang ada di bawah mangrove itu bisa hidup kembali,” ujarnya.
Penulis: Sandy Hayon
Editor: Ardy Abba