Oleh: Marsel Robot
Dosen, Kepala Pusat Studi Kebudayaan dan Pariwisata LP2M Undana
Beberapa tahun lalu (2010), ketika rapat berkaitan dengan Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) di sebuah perguruan tinggi di Kupang, saya menganjurkan begini, “Sebaiknya Mata Kuliah Agama diganti nomenklaturnya menjadi Mata Kuliah Agama- Agama atau Mata Kuliah Ilmu Agama. Seluruh isi (materi) perkuliahan pun diubah tidak an sich agama yang dianut oleh mahasiswa, tetapi semua agama diajarkan sebagai ilmu kepada semua mahasiswa. Seumpama, mahasiswa beragama Katolik dan Protestan diajarkan juga agama Islam, agama Hindu, Agama Budha, Agama Kong Huchu, bahkan Marapu (kepercayaan asli orang Sumba). Sebaliknya demikian.”
Terhadap usulan itu, tidak banyak dosen yang menanggapi, cuek. Ada yang malah tertawa lucu, dianggap usulan sekadar lajang kolo (dalam bahasa Manggarai Timur) meramaikan rapat.
Bagi saya, sikap dosen (baca kampus) demikian mengingatkan kita dua hal. Pertama, kampus yang penduduknya kaum cendikia belum sepenuhnya inklusif untuk hal agama. Artinya, di kalangan dosen pun masih sangat eksklusif terhadap masalah yang satu ini.
Kedua, keadaan demikian menjadikan kampus sebagai lahan paling subur tempat membibitkan dan membobotkan paham radikalisme. Tak heran, bila belakangan ini banyak kampus di NTT terpapar radikalisme, karena kampus belum diurus serius, terutama dalam bidang penangkalan radikalisme.
Aransemen pemikiran saya sesungguhnya sederhana. Pertama, mahasiswa merupakan generasi cendikia yang kerja utamanya membaca, menganalisis, dan menulis. Membuka ventilasi kognitif bagi mahasiswa untuk mengelaborasi ilmu agama-agama. Artinya, pada level mahasiswa, agama diajarkan sebagai ilmu pengetahuan. Ia berhak untuk mendapatkan ilmu atau pengetahuan agama lain, terutama mengenai perbedaan dan kesamaan agama.
Dengan demikian, mahasiswa sebagai calon pemimpin masa depan mampu mendalami perbedaan dan sanggup hidup bersama dalam perbedaan secara tulus. Kedua, membangun sikap inklusifisme di kalangan warga kampus (dosen, mahasiswa, dan karyawan). Kampus menjadi model cara hidup bersama dalam perbedaan. Bukan sebaliknya, kampus menjadi ruang indoktrinasi klaim-klaim kebenaran yang justru memunculkan prasangka sosial dan berpotensi polarisasi atau konflik.
Etika Emas
Mendagri Tito Karnavian merencanakan membentuk tim terpadu hingga level kecamatan untuk menangkal radikalisme. Kebijakan serupa diambil Menteri Agama Fachrul Razi. Ia akan membentuk satgas untuk menangkal radikalisme di lembaga negara serta kementerian untuk memberantas PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang terpapar radikalisme. Kebijakan Tito dan Fachrul mengindikasikan bahwa radikalisme agama begitu endemik dan masif di kalangan masyarakat.
Sebagai paham atau aliran, radikalisme adalah produksi kognitif (pengetahuan) melalui pengendapan dengan indoktrinasi secara sistematis dan metodis. Indoktrinasi dan cuci otak dilakukan melalui lembaga pendidikan formal (tingkat pendidikan semua level), informal (pendidikan di lingkungan keluarga, dan lingkungan masyarakat), dan nonformal (melalui lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan).
Ketiga institusi ini sudah menjadi wadah paling subur dalam penyebaran virus radikalisme. Kurikulum Pendidikan formal, terutama pada sekolah-sekolah eksklusif keagamaan harus dievaluasi dan direvisi. Demikian pula pada sekolah-sekolah inklusif seharusnya kurikulum memberikan porsi pada nilai-nilai multikultural.
Materi dan isi kurikulum Pendidikan nonformal cenderung lebih sulit dievaluasi dan dikritisi. Misalnya, tausiah dan kotbah menjadi Pusat kegiatan Belajar Masyarakat, Majlis Ta’lim, yang diselenggarakan oleh masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan keagamaan, kelompok Yasinan, pengajian, Salfiah dan lain-lain.
Hal yang sama pada lokus pendidikan informal, keluarga dan masyarakat sebagai basis pendidikan informal harus dinormalisasikan melalui kurikulum berbasis kebangsaan atau multikultural. Usaha-usaha ini lebih bersifat kognitif dan membangun dari dalam guna pembentukan sikap positif dalam menghargai perbedaan.
Salah satu faktor dibutuhkan kurikulum pluralisme agama adalah kode etik yang sama-sama dimiliki oleh berbagai tradisi keagamaan. Menurut John D. Caputo (2003:134): “Agama-agama, dalam bentuk plural, bersifat unik dan merupakan oase praktik-praktik etis dan narasi-narasi religius yang khas.
Kurikulum kebangsaan (pluralisme) berbasis pada semua tradisi agama. Semua agama mengajarkan moral yang ideal tentang berkehendak baik, cinta, dan kasih sayang yang terkandung dalam Kitab Suci. Aslan (2004:164) membeberkan bahwa dalam berbagai agama, aturan emas itu ditegaskan sebagai suatu prinsip etika. Dalam kitab suci Hindu Mahabrata dikatakan bahwa: “Seseorang tidak boleh melakukan sesuatu kepada orang lain yang dipandangnya melukai dirinya sendiri.”
Dalam kitab suci Jaina, Sutra Kritoga dikatakan: “Seseorang harus memperlakukan semua mahkluk di dunia sebagaimana dirinya ingin diperlakukan”.
Dalam Taoisme, Tha Shang, dikatakan: “ Orang baik akan menganggap keuntungan orang lain seolah-olah miliknya sendiri, dan kerugian mereka sebagai kerugiannya”. Dadistan-i dini zoroaster menyatakan: “Watak itu bagus selama ia tidak melakukan sesuatu bagi orang lain yang bagi dirinya sendiri tidak baik”.
Yesus mengatakan: “Sebagaimana kamu menginginkan orang lain memperlakukanmu, maka perlakukan mereka seperti itu”.
Dalam sebuah hadits Nabi Muhammad menyatakan: “Seseorang tidaklah disebut Mukmin sejati, kecuali jika menginginkan bagi saudaranya apa yang diinginkan oleh dirinya”.
Inilah etika emas yang harus menjadi karakter kebangsaan. Dengan demikian perbedaan merupakan rahmat yang membahagiakan.
Akan tetapi, sebagai organisasi sosial, agama selalu muncul dengan potensi pretensi. Pada satu sisi agama berusaha memperjuangkan akidah yang mendasarkan diri pada kitab suci masing-masing, sekaligus pada sisi lain dari sanalah klaim kebenaran tumbuh dan merimbun.
Pada tingkat tertentu klaim kebenaran memproduksi sensitivitas dan memberikan watak fundamentalis. Charles Kimball (2003:84) mengatakan, dalam setiap agama, klaim kebenaran merupakan fondasi yang mendasari keseluruhan struktur agama.
Namun, ketika interpretasi tertentu atas klaim tersebut menjadi proposisi-proposisi yang menuntut kebenaran tunggal dan diperlakukan sebagai doktrin kaku, kecenderungan terhadap agama ini muncul dengan mudah.
Kecenderungan tersebut merupakan tanda-tanda awal kejahatan yang menyertainya. Kadang, untuk memupuk simpati dan fanatisme, cenderung tokoh agama mengajarkan agama dengan cara menjelekan atau menyalahkan agama lain.
Tipikal di Indonesia, organisasi politik (partai politik) menjadi pemantik pembiakkan intoleransi. Partai politik cenderung mengeksploitasi emosi massa tradisional dengan isu agama.
Sindhunata (2004) menulis, sejarah membuktikan, agama sering tidak bisa menjadikan dirinya sendiri, karena diperalat dan dibelenggu oleh kekuasaan dan politik.
Hermann Haring (2003:168) mengatakan, agama hanya mendorong kekerasan ketika ia terkait dengan faktor-faktor lain. Faktor-faktor tersebut bisa kepentingan nasional atau tekanan politik; terdapat masa-masa ketidakpastian sosial atau pergolakan budaya.
Sangat boleh jadi, agama terlampau diformalistis sehingga unsur instansi dipandang lebih penting daripada unsur substansi. Stephan Batchelor seperti dikutip Goenawan Muhammad mengatakan, “Salah satu akibat dari proses formalisasi dan pelembagaan agama adalah agama jadi tersedot kembali ke dalam dimensi punya. Artinya, kehidupan beragama lebih digerakkan oleh hasrat to have (punya) ketimbang mencari keteduhan beragama yang digerakkan oleh hasrat to be (ada).
Ignas Kleden mengatakan, pelajaran yang kita dapat, baik dari studi-studi kebudayaan maupun dari pengalaman politik di Indonesia adalah bahwa etnisitas di Indonesia sering mempunyai implikasi politik yang kuat, seperti juga perubahan politik selalu mempunyai dampak terhadap posisi etnisitas. Entah, sampai kapan belati di tangan menjadi melati di hati sehingga aromanya menyatukan kita semua.