Kupang, Vox NTT – Mahasiswa Jurusan Sosiologi semester III D Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang menggelar kegiatan pentas seni tari untuk merawat dan melestarikan budaya Nusa Tenggara Timur (NTT), Sabtu (07/12/2019).
Kegiatan ini dilakukan atas perintah dosen pengasuh mata kuliah ‘Masyarakat dan Kebudayaan NTT’, Lasarus Jehamat.
Pentas seni ini mendapat dukungan dan apresiasi dari Ketua Jurusan sosiologi Josep E. Jelahut.
Dalam rencananya, pentas seni akan digelar setiap tahun, baik di tingkat jurusan maupun tingkat universitas.
Lasarus Jehamat memberikan apresiasi bagi mahasiswa kelas D karena telah berusaha mempersiapkan diri untuk menggelar pentas tersebut.
“Kegiatan ini terus dilakukan untuk menjaga budaya dan merawat nilai-nilai sosial di dalam kebudayaan tersebut,” ujarnya.
Sebab menurut dia, kebudayaan Indonesia sangatlah beragam, mulai dari bahasa hingga tarian daerah. Kebudayaan ini tentu saja memiliki perbedaan dan ciri khasnya masing-masing.
Masing-masing budaya daerah mencerminkan kondisi sosial dan mengandung nilai-nilai serta norma masyarakat.
Keragaman ini, kata dia, menjadi keindahan tersendiri. Namun di sisi lain keragaman ini bisa menjadi pemicu radikalisme dan intoleransi di masyarakat.
Jehamat menyebut hal itu bisa terjadi, jika keragaman ini tidak dirawat untuk persatuan dan kesatuan bangsa dan negara.
Selain itu, menurut Jehamat eksistensi kebudayaan di masyarakat saat ini dirasa mulai perlahan-lahan tergerus oleh perkembangan teknologi dan masuknya budaya asing.
“Masalah ini tentu menjadi masalah serius karena keberadaan budaya suatu daerah adalah cerminan kehidupan masyarakat dan jika tergerus oleh pengaruh teknologi dan kebudayaan asing akan berdampak pada lunturnya nilai-nilai budaya masyarakat,” ujarnya.
Ketua Jurusan Sosiologi Undana Josep E. Jehalut berharap dengan adanya kegiatan ini, budaya masyarakat NTT terus dilestarikan.
Selain itu, nilai-nilai sosial dalam kebudayaan tersebut dapat diamalkan dalam kehidupan masyarakat, khususnya bagi mahasiswa yang saat ini sedang terperangkap dalam pengaruh teknologi.
“NTT adalah miniatur Indonesia yang memilki banyak keragaman dan hal ini perlu kita pelihara dan kita upayakan agar keragaman ini tidak membuat masyarakat kita menjadi radikal dan dengan sadar dan bertanggung jawab menghargai dan mencintai budaya masyarakat orang lain,” jelas Jehalut.
Salah satu mahasiswa yang enggan menyebutkan namanya mengaku, kegiatan itu sangat berharga baginya sebagai mahasiswa.
Ia berharap kegiatan tersebut mendapat perhatian dari pemerintah dan masyarakat sekitar.
Sehingga mahasiswa bukan hanya mengejar teori di dalam kelas, tetapi mampu menerapkan apa yang diperoleh di luar kelas.
Untuk diketahui, pada kegiatan tersebut sebanyak tujuh etnis tarian kebudayaan yang dipentaskan oleh mahasiswa.
Pertama, etnis Manggarai dengan nama tarian Mbata dan Danding.
Mbata adalah musik tradisisonal yang mengungkapkan kegembiraan dan rasa syukur kepada sang Mori Kraeng (Tuhan Pencipta), kepada alam dan leluhur.
Orang Manggarai menyebut Sang Pencipta dengan sebutan “Mori Jari Agu Dedek” yang berarti melalui tangan Tuhan mencipta manusia dan alam semesta.
Danding dipimpin oleh seorang yang disebut Nggejang yang berdiri di tengah lingkaran untuk mengatur irama gerakan, hentakan kaki dan memulai sebuah syair dengan menggunakan gemerincing.
Danding dinyanyikan dengan irama yang lebih cepat lebih hidup dan bersemangat.
Kedua, etnis Rote dengan nama tarian Teo Renda dan tarian Foti. Teo Renda adalah tarian yang biasanya diperagakan saat acara suka cita panen di kalangan masyarakat.
Tari yang biasa dibawakan secara massal ini diiringi lagu Teo Renda dengan syair yang menggambarkan wujud ucapan syukur kepada Tuhan yang Maha Pengasih.
Tarian ini juga dibawakan saat menyambut para tamu atau pembesar yang berkunjung ke daerah itu. Makna dari tarian itu adalah wujud suka cita masyarakat dalam menyambut para tamu tersebut.
Foti adalah tarian tradisional dari Rote yang hanya ditampilkan oleh penari wanita berbusana cantik dan menggunakan kain selimut sebagai atribut menarinya.
Tarian ini juga merupakan salah satu tarian yang cukup terkenal di Rote.
Ketiga, etnis Bajawa dengan nama tarian Ja’i. Tarian Ja’i merupakan salah satu tarian tradisional masyarakat suku Bajawa yang ditampilkan sebagai bentuk ucapan syukur dan sebagai hiburan.
Tarian ini sering ditampilkan pada acara-acara penting dan diiringi alat musik Go Laba.
Keempat, etnis Timor (TTS) dengan nama tarian Maekat. Tarian Maekat merupakan tarian yang terinspirasi dari kemenangan dalam melawan musuh.
Tari ini adalah tarian yang dibentuk berdasarkan 2 gerak utama dengan menirukan gerakan elang yaitu gerak Kolteme dan gerak Kolisu.
Kelima, etnis Belu dengan nama tarian Likurai. Likurai adalah tarian tradisional Kabupaten Belu.
Tari Likurai digunakan sebagai simbol penghormatan kepada tamu yang datang ke Kabupaten Belu atau menyambut para pejuang pulang dari medan perang.
Tari Likurai juga biasa dilaksanakan pada saat panen raya sebagai wujud rasa syukur.
Keenam, etnis Sabu dengan nama tarian Padoa. Padoa adalah adalah tarian masyarakat Sabu yang biasanya dilakukan secara massal oleh masyarakat di sana.
Baik pria maupun wanita, mereka berkumpul serta menari dengan membentuk formasi melingkar yang menjadi ciri khasnya.
Tarian ini merupakan tarian adat yang sudah diwariskan turun temurun di masyarakat Sabu dan masih sering dilakukan hingga sekarang.
Ketujuh, etnis Sumba dengan nama tarian Woleka dan Saiso. Woleka adalah tarian tradisional sejenis tarian selamat datang atau penyambutan khas.
Tarian ini biasanya ditarikan oleh beberapa penari pria dan wanita dengan gerakan yang sangat khas.
Tari Woleka merupakan salah satu tarian tradisional yang sangat terkenal di Sumba, tarian ini biasa ditampilkan di berbagai acara seperti penyambutan tamu penting.
Penulis: Ronis Natom
Editor: Ardy Abba