*Cerpen Riko Raden
Langit menjadi gelap, guntur bergemuruh dan hati menjadi gundah malam itu. Langit menjadi tak berbintang dan gelap sekali. Pekat! Perlahan tapi pasti, rintik-rintik hujan menikam tanah dan menghantam atap rumah ibu Siti. Menggelegar! Pekak!! Hujan malam itu tak mengubah percikan luka pada luka yang basah. Sepertinya hujan tak peduli dengan keadaan ibu Siti yang sedang dirundung duka. Hati ibu Siti seakan terisi sembilu. Sebilah pedang menikam tajam masuk jantungnya, menusuk dan perih sekali. Dalam rumah yang selalu sepi, tanpa ada suara juga bunyian musik, ibu Siti mengingat kembali peristiwa yang sangat menyedihkan dalam hidupnya. Ia seakan tak percaya dengan peristiwa itu. Ketika ia mengingat kembali peristiwa itu, ia seperti tanaman tanpa bunga. Kering dan mati. Dan dunia tidak berarti lagi. Peristiwa itu membuatnya kini menjadi pengalaman pahit sekaligus menyakitkan dalam sejarah hidupnya. Hari-hari hidupnya hanya bergulat dengan diri sendiri dalam rumah yang sepi. Ia setia menemani diri sendiri tanpa peduli dengan situasi di luar dirinya. Ia tidak seperti embun pagi yang tumbuh segar di pagi hari. kini, ibu Siti bagaikan pohon tanpa akar, tumbuh tanpa ada pengarapan untuk hidup lagi.
Ibu Siti adalah seorang janda yang sudah lama ditinggalkan oleh suaminya. Kala itu suaminya meninggal dunia karena sakit. Ia merasakan kehilangan sosok yang sangat dicintainya. Ia ingin tetap bersama suaminya sampai anak mereka menjadi orang yang sukses, namun rencana Tuhan lain. Tuhan telah mencintai suaminya hingga Tuhan sendiri yang memanggilnya. Suaminya meninggal dunia dengan keadaan ibu Siti yang sedang mengandung anak pertama mereka. Ia takut kelak anaknya akan bertanya tentang ayah. Ibu Siti entah jawab seperti apa. Mungkin anaknya nanti berpikir kalau ia dilahirkan sebagai anak ilegal. Lahir tanpa seorang ayah. Mungkin anaknya tidak percaya kalau ayahnya meninggal dunia karena sakit. Selama sembilan bulan ibu Siti mengandung anaknya, ia masih terbawa dengan pikirannya ini. Ia terus mencari jawaban agar anaknya nanti bisa mengerti kalau ayahnya telah meninggal dunia karena sakit. Kini ibu Siti melahirkan anak perempuannya tanpa ditemani sang suami. Ia melahirkan anaknya ini dalam rumah yang sepi, sunyi dan gelap. Ketika anaknya menangis di subuh sunyi, ibu Siti hanya memiliki napas. Tak ada apa-apa yang dipersiapkannya. Ia hanya memiliki kain lampin, popok dan berbagai perlengkapan bayi lainnya. Itu pun karena disantuni para tetangga yang berbelas kasih. Kadang ia merasa pilu dengan semua itu dan merasa berutang budi dengan hati yang penuh cinta itu. Ingin hatinya memeluk suami seperti kupu-kupu bercumbu pada sepucuk bunga, tapi apa daya semua itu hanyalah angan-angan. Hanya doa yang kadang tidak terlalu yakin ia sampaikan menjadi upah bagi mereka yang menaruh perhatian pada nasibnya dan anaknya. Kesedihan menyelimuti diri juga anak perempuan semata wayangnya yang masih kecil. Selepas kepergian sunaminya, ibu Siti masih memikirkan anak perempuan semata wayangnya. Ia berpikir untuk menghidupi anaknya agar kelak menjadi anak yang membanggakan keluarga. Ia menjadi bingung untuk merawat anaknya karena selama suaminya masih hidup, kehidupan mereka sangat baik. Keadaan seperti ini membuat ibu Siti bingung. Ia sempat meminta pendapat kepada kelurga dan tetangganya, beberapa di antara mereka menyarankan agar ia segera mencari suami lagi, namun dengan umurnya yang sudah terlalu tua cukup sulit mendapatkan suami baru, ada juga yang menyarankan agar ia merantau entah keluar kota atau mungkin luar negeri untuk mendapatkan penghasilan dan bisa membiayai anaknya. Namun saran itu tidak diindahkan oleh ibu Siti. Ia sangat mencintai anak semata wayangnya. Ia ingin terus berada di samping anaknya itu hingga ia menjadi dewasa. Akhirnya ibu Siti memutuskan untuk membiayai anaknya ini dengan berharap pada hasil dari kebun mereka. Ia sudah belajar sekian lama untuk menerima semua kenyataan yang harus ia hadapi. Kadang ibu Siti berpikir bahwa mungkin inilah takdirku. Ada dua pribadi dalam diri ibu Siti sekarang. Ia merangkap sebagai ayah dan ibu untuk anaknya.
Anaknya perlahan bertumbuh dalam situasi rumah yang sedemikian susah. Anaknya bertumbuh dalam kemelaratan. Terkadang ibu Siti tak sadar jatuh air mata melihat nasib dalam keluarganya. Dalam hatinya merasa bersalah karena tidak bisa membahagiakan anaknya. Ibu Siti selalu berjuang dan tegar agar tidak kelihatan lemah di hadapan anaknya. “Ende Maria, ata momang keta lami, jaga koe ami ata susa one tana lino ho’o. Dasor ite ka’eng cama agu ami kudut leso-leso mose daku agu anak teing gerak koe lite( Bunda Maria, bantulah aku dan anakku yang dirundung susah dan sedih. Semoga Engkau tetap berjalan bersama kami, mendampingi kami agar hidup kami tetap tenang dan selalu berjalan baik). Itulah doa ibu Siti. Sederhana dan tulus. Setiap kali ia berdoa selalu meminta bantuan ibu Maria, ibu Yesus agar kelurganya tetap aman.
Tak terasa waktu terus berputar. Ibu Siti masih tumbuh menjadi pribadi yang kuat membiayai anak semata wayangnya. Ia seorang janda yang tangguh dan tak pernah kenal lelah menafkahi anaknya ini. Kini, tak terasa anak perempuan semata wayangnya sudah beranjak remaja. Anaknya sudah tumbuh menjadi gadis yang bisa menemai ibu Siti untuk setia mendengar cerita ibunya. Ibu Siti sungguh sangat menyenangkan dengan kecantikan anaknya ini. Ia merasa dialah harta terindah yang Tuhan berikan untuknya.
***
Peristiwa itu tak pernah terbayang dalam benak ibu Siti. Ia dirundung duka ketika anak perempuan semata wayangnya mengakhiri hidup dengan jalan bunuh diri. Ia sendiri tidak mengerti mengapa peristiwa itu terjadi dalam kelurganya. Ia sendiri juga tidak mempersalahkan siapa-siapa apalagi Tuhan. Ibu Siti tahu kalau anaknya itu nekat mau bunuh diri. Berapa kali ia mendapat anaknya ingin bunuh diri tapi selalu gagal karena dia datang pada saat anaknya itu ingin bunuh diri. Pernah satu kali, ibu Siti sedang duduk santai di dapur sambil menikmati kopi di pagi hari, tiba-tiba ia mendengar suara teriakan dari kamar tidur, lalu ia pergi ke sana, ia melihat anaknya sedang berdiri di atas kursi dan lehernya diikat dengan tali entah dia ambil darimana itu tali, tapi ibu Siti melihat anaknya ingin bunuh diri. Karena ibu Siti tidak ingin anaknya mati, ia langsung menghampiri anaknya dan memeluk lalu ia merangkul anaknya itu.
“Anakku, apa yang sedang kau lakukan tadi.” Kata ibu Siti dengan raut wajah agak sedih.
“Ibu, aku ingin lebih baik mati daripada hidup tanpa sosok seorang ayah.”Kata anaknya.
“Anakku. Tangan ibu Siti sambil mengelus rambut anaknya. Kita sudah diberikan Tuhan untuk hidup tanpa ayah. Ayahmu sudah meninggalkan kita sejak engkau masih kecil. Lanjutnya. Ibu Siti sengaja memberitahukan kepadanya bahwa ayahnya telah meninggal dunia. Benarlah apa yang telah ia pikirkan selama anaknya masih dalam kandungan bahwa kelak ia pasti bertanya tentang ayahnya. Tetapi ibu Siti tetap santai dan berusah terus menjawab dengan benar agar anaknya yakin dengan jawabannya.
“Tetapi ibu selama ini tidak memberitahukan kepadaku bahwa ayah telah meninggal dunia.”
“Maafkan aku anak. Ibu sangat bersalah. Tapi jangan lagi berbuat seperti tadi. Aku tidak ingin engkau juga pergi meninggalkan ibu seorang diri.”
“Iya ibu. Aku berjanji tidak akan terulang lagi perbuatan tadi.”
Sebagai seorang ibu yang baik, ibu Siti memeluk dan mencium kepala anaknya. Ia sangat mencintai putrinya ini bak tumbuhan mencintai air dan sinar matahari. Ia ingin agar putrinya bertumbuh menjadi gadis yang selalu dikagumi oleh kaum adam.
Kemudian pada suatau hari, ibu Siti sedang berada di kebun ingin menanam padi. Ia pergi ke kebun tanpa ditemani anaknya itu. Karena ia tahu anaknya sudah besar. Ibu Siti membiarkan anaknya bermain bersama teman-temannya. Ketika ibu Siti sedang asik beristirahat sambil menikmati seteguk demi seteguk kopi Manggarai, tiba-tiba suara batinnya berbisik agar ia cepat pulang ke rumah. Ketika suara batinnya seperti itu, ia bergegas dan kembali ke rumah. Ia melihat rumahnya sangat sepi. Barangkali anakku sedang bermain di rumah tetangga atau mungkin sedang tidur. Katanya dalam hati. Kemudian ia pelan-pelan membuka pintu lalu masuk ke dalam rumahnya. Ia memanggil anaknya dengan nada halus. Tetapi anaknya tidak menjawab.
“Anakku, apa yang kau lakukan?” Tanya ibu Siti yang melihat anaknya sedang berada di dalam kamar tidur ingin melakukan bunuh diri seperti hari kemarin.
Anaknya langsung menoleh. Tak merespon dengan kata-kata ibunya,lalu kembali memandang ke atas melihat tali. Ia menarik napas panjang, mengembuskannya.
“Anakku, jangan lakukan. Itu sangat bahaya sekali.” Kata ibu Siti dengan nada sedih.
“Aku ingin bunuh diri ibu. Aku lebih baik mati daripada hidup tanpa seorang ayah.” Jawab anaknya. Lagi-lagi ia ingin bunuh diri dengan alasan ayahnya tidak ada. Barangkali ia ingin agar ibu dengan jujur kalau ia lahir tanpa seorang ayah.
“Anakku. Suara ibu Siti sangat halus dan pelan. Jangan lakukan itu. Ayahmu meninggal dunia karena sakit. Waktu dia pergi, aku masih mengandungmu. Nak. Jangan lakukan itu. Aku mohon.” Air mata ibu Siti sudah membasahi pipi yang sudah tidak awet lagi.
“Aku tidak percaya sama ibu kalau ayah meninggal dunia karena sakit. Ketika aku pergi bermain di rumah tetangga, mereka cerita kalau aku lahir tanpa seorang ayah. Artinya ibu mengandung aku dengan seorang lelaki anonim, hasil hubungan gelap. Aku merasa diasingkan sekali ketika mereka cerita seperti itu ibu. Apakah ini benar ibu?” Tangannya sambil mengambil tali yang sudah disediakan di depan matanya.
“Anakku. Aku telah membesarkan engkau dengan sederhana. Merawat dirimu hingga tumbuh menjadi putri yang cantik. Aku mohon, jangan percaya cerita dari tetangga kita. Dari dulu mereka ingin menghancuri hidup ibu, tetapi ibu tetap kuat dan terus membesarkan dirimu. Aku mohon, jangan lakukan itu. Anakku, percayalah pada ibu bahwa ayahmu meninggal dunia karena sakit.” Ibu Siti pelan-pelan menghampiri anaknya.
“Tidak ibu. Aku tetap tidak percaya kalau ayah meninggal dunia karena sakit. Aku lebih baik mati daripada terus menjadi bahan olokan tetangga. Maafkan aku ibu.”
“Annnnaaaaaakkkkkkkkkkkuuuu! Teriakan ibu Siti melihat anaknya telah gantung diri pada depan tali yang berada dekat leher anaknya itu. Ia terlambat menghampiri anaknya untuk menyelamatkan anak semata wayangnya ini. Seketika itu ibu Siti pingsan tak sadarkan diri berjam-jam. Ia pun tidak sadar ketika tetangga datang menurunkan anaknya dari atas gantungan lalu pergi bawa ke rumah sakit. Di sana anaknya dimandikan kemudian dibawa pulang menggunakan ambulan.
Ketika ibu Siti sadar, mayat anaknya sudah ada di depan pintu. Ibu Siti mendekati mayat anaknya sembari menangis merasakan kesedihan yang mendalam. “Kenapa kau jadi seperti ini anak. Kau satu-satunya anak ibu yang berharga di dunia ini. Mengapa kau tinggalkan ibu?”. Sedih, menangis tersedu-sedu sambil memeluk mayat anaknya. Tangisan ibu Siti semakin keras ketika dia mengingat kembali perjuangan hingga anaknya tumbuh menjadi seorang gadis yang sangat cantik. kini, dunia ibu Siti terasa gelap dan kosong. Ia hidup seorang diri tanpa ditemani orang-orang yang dicintainya. Barangkali ini rencana Tuhan dalam hidupku. Kata ibu Siti dalam hatinya.