Oleh: Ius Laka
(Mahasiswa STFK Ledalero, Pencinta Sepak Bola, Tinggal di Wisma St. Rafel Nita)
Tidak dapat disangkal bahwa sepak bola merupakan olahraga yang paling banyak diminati oleh manusia di seluruh dunia. Bahkan menurut ilmupengetahuanumum.com yang merilis 10 cabang olahraga terpopuler di dunia, sepak bola menempati urutan pertama.
Sepak bola digemari oleh sekitar 3,5 miliar orang atau hampir setengah dari jumlah penduduk di dunia (berdasarkan worldometers, tahun 2019 jumlah penduduk dunia mencapai 7,7 miliar jiwa). Sebagai olahraga yang paling digemari, sepak bola sering menjadi isu yang sensitif.
Tidak seperti bidang-bidang kehidupan manusia yang lain seperti politik (ranah kepemerintahan), hukum, dosen, petani, dan nelayan, sepak bola merupakan suatu kegemaran yang mudah diperoleh dan ‘umumnya’ gratis.
Sepak bola berkaitan dengan permainan rakyat. Tidak jarang sepak bola menjadi pelipur lara di tengah peliknya kehidupan.
Dalam permainan itu (sepak bola) manusia akan menemukan dirinya hilang dalam permainan. Hidupnya saat itu seolah dikendalikan oleh permainan. Tindakannya dalam menendang bola, menangkap, mentekel lawan, wasit yang meniup peluit, semuanya dikonstruksi oleh permainan itu.
Sepak bola menjadi subjek di mana di dalamnya orang bertindak. Hal yang sama juga terjadi dengan para suporter sepak bola. Para suporter itu adalah orang-orang dengan latar belakang profesi yang berbeda-beda. Dalam sebuah permainan sepak bola misalnya, berbagai latar belakang profesi itu ditinggalkan dan mereka kini hanyut dalam permainan yang disebut ‘sepak bola’ itu.
Dalam situasi seperti ini, sensitivitas dalam sepak bola menjadi mungkin dan sangat besar. Wasit yang kurang jeli dalam memberi keputusan akan diprotes oleh pemain dan tidak jarang dikecam oleh para suporter. Pemain yang mencetak gol akan disoraki oleh fansnya. Keputusan pertandingan yang tidak adil dan ada kecurigaan ‘bermain kotor’ akan dikecam oleh para pencinta sepak bola. Dengan demikian sensitivitas dalam permaianan (sepak bola) adalah hal yang lumrah.
Meskipun demikian, sensitivitas (bukan anarki) bukan tanpa dasar. Dasarnya ada dalam permainan itu sendiri. Permainan itu pada dasarnya mengatakan kejujuran dan kepolosan. Ia mengatakan kejujuran dan kepolosan tentang orang-orang yang terlibat dalam permainan. Meskipun orang-orang dapat menipu, tetapi permainan itu sendiri tidak dapat menipu. Permainan itu menelanjangi segalanya, baik itu sisi positif maupun negatif orang-orang yang terlibat dalam permainan.
Maka, melalui permainan biasanya orang saling mengenal dan memahami yang lain. Permainan selanjutnya menjadi sarana perwujudan diri manusia.
Sepak bola di Indonesia sebagai salah satu program kebijakan nasional yang diatur oleh negara dalam wadah Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) merupakan sarana demi perwujudan diri manusia Indonesia yang berkualitas. Tujuannya adalah untuk membentuk generasi muda bangsa yang memiliki kepribadian otentik. Melalui sepak bola nilai-nilai luhur kebudayaan hendak dihidupkan dalam diri kaum muda Indonesia.
Di zaman ini mungkin berbicara tentang nilai-nilai kebudayaan dianggap ganjil, kolot, dan sangat idealis. Sepak bola lebih dikenal sebagai industri sepak bola yang beroperasi condong ke arah kapitalisme. Namun, toh kebenaran itu tidak pernah mati. Ada banyak orang yang masih setia memperjuangkan kebenaran melalui sepak bola (dan olahraga pada umumnya). Prestasi-prestasi ‘anak bangsa Indonesia’ di bidang olahraga telah mengharumkan bangsa Indonesia di kancah dunia.
Demikian pun di daerah, prestasi-prestasi ‘anak daerah’ di bidang olahraga telah mengharumkan ‘nama’ daerahnya. Nama di sini berarti seluruh rakyat dalam suatu daerah. Inilah kebenaran-kebenaran yang tidak dapat ditiadakan. Oleh karena itu, berbicara tentang nilai-nilai yang patut diperjuangkan selalu relevan di segala zaman.
Selamatkan PSN Ngada, Selamatkan Kebenaran
Akhir-akhir ini media sosial (para Ngada Mania dan para pencinta sepak bola tanah air) diramaikan dengan hukuman yang diberikan kepada PSN Ngada dari Komisi Disiplin PSSI yang dinilai tidak adil dan sewenang-wenang.
PSN Ngada sebagai satu-satunya tim dari regio Nusa Tenggara Timur yang berhasil lolos ke Liga 3 Nasional berkat usaha dan kerja keras telah menorehkan prestasi di kancah persepakbolaan nasional dengan mengalahkan kesebelasan-kesebelasan dari daerah lain.
Bahkan salah satu pemainnya yaitu Yoris Nono yang bernomor punggung 9 berhasil menjadi top scorer baik itu di putaran Liga 3 pra-nasioanl maupun setelah lolos ke Liga 3 Nasional hingga keputusan diskualifikasi itu diberikan kepada PSN Ngada. Secara subjektif, hemat saya PSN Ngada menjadi salah satu tim yang ditakuti dalam ajang Liga 3 Nasional.
Keputusan hukuman dan diskualifikasi PSN Ngada dikeluarkan oleh panita lokal pada Selasa (17/12/2019) setelah PSN Ngada bermain imbang dengan kesebelasan Putra Sunan Giri (PSG) dan memastikan diri lolos ke fase berikutnya (Pos Kupang, 18/12/2019). Keputusan itu dikeluarkan dengan alasan PSN Ngada memainkan pemain terlarang atas nama Kiken Wea saat menghadapi PSG.
Dalam keputusan itu, Kiken Wea dinyatakan menerima kartu kuning saat melawan Gaspa 1958 Palopo pada pertandingan sebelum melawan PSG dan itu terekam dalam catatan wasit utama Cahya Sugandi yaitu pada menit ke-60. Dengan demikian, menurut catatan wasit Kiken Wea terakumulasi dua kartu kuning.
Keputusan ini dinilai tidak adil dan sewenang-wenang dengan alasan apa yang ditulis dalam catatan wasit berbeda dengan keyakinan ofisial PSN Ngada dan bukti lapangan yang terekam dalam video live streaming. Logika yang benar dalam membuat setiap putusan adalah apabila terdapat ketidaksesuaian fakta dan informasi, maka keputusan itu ditangguhkan sampai ada bukti-bukti yang adekuat dan meyakinkan bahwa suatu keputusan baik secara faktual dan teoritis tidak dapat dibantah lagi.
Apalagi dalam kasus PSN Ngada, pihak ofisial PSN Ngada telah mengajukan protes atas catatan wasit tersebut. Buktinya dalam pertandingan melawan PSG, matchcom menyatakan Kiken Wea bisa bermain dan hasilnya PSN Ngada vs PSG berakhir imbang 1-1.
Dengan demikian, jalan yang benar yang mesti ditempuh oleh panitia adalah mengecek kebenaran dan menanyai pihak-pihak terkait baik wasit utama, wasit garis, maupun ofisial PSN Ngada. Jalan ini ditempuh untuk mencapai keputusan yang benar dan adil.
Dalam kasus PSN Ngada jalan ini dipotong dan langsung pada keputusan, seolah-olah panitia memiliki kuasa penuh (otoriter) atas penyelenggaraan pertandingan itu. Padahal jelas dalam statuta PSSI (2018), PSSI berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (catatan miring: kutipan langsung dari statuta PSSI pasal 3).
Sekarang ini, surat keputusan dari Komisi Disiplin PSSI juga banyak beredar di media sosial. Saya tidak banyak berkomentar tentang keputusan yang berisi hukuman atas PSN Ngada itu yang menurut saya (jika keputusan yang beredar itu benar) sangat tidak rasional dan di luar akal sehat.
Jika saya berandai-andai, seorang anak kecil akan mengalami luka batin yang mendalam jika diperlakukan sebagaimana keputusan itu oleh orang tuanya. Sangat tidak rasional dan jauh dari unsur-unsur manusiawi.
Maka, menyelamatkan PSN Ngada sama artinya dengan menyelamatkan kebenaran. PSN Ngada (saya akui suatu kebanggaan, harga diri masyarakat Ngada bahkan NTT) adalah wadah di mana kebenaran, kerja keras, doa, dan motivasi berkontestasi. Yang sejati itu adalah kerja keras, doa, motivasi, dan kebenaran.
Oleh karena itu, menyelamatkan PSN Ngada bukan sekadar loyalitas pada PSN Ngada, tetapi lebih daripada itu loyalitas dan kesetiaan kita pada kebenaran.